Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Kartini, Perempuan Jawa Progresif, dan Liberal yang Tak Kunjung Kita Kenal

21 April 2019   01:52 Diperbarui: 17 September 2019   17:49 2796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
R.A Kartini | Sumber: tribunnews.com

Pahlawan dalam Ingatan Semua Anak Indonesia
Coba tanyailah anak-anak kecil di Indonesia tentang siapa nama pahlawan perempuan yang mereka kenal? Saya menduga "Ibu Kartini' adalah jawabnya.

Ia memang pahlawan perempuan, yang mungkin diperkenalkan pertama kali oleh para guru TK kepada murid di Indonesia.

Coba saja lihat di tanggal 21 April, setiap tahun kita lihat anak-anak kecil, perempuan dan laki laki berpakaian daerah merayakan kelahiran Kartini. Ini tidak hanya terjadi di TK lokal dan di tingkat nasional, tapi juga di sekolah internasional di kota-kota besar.

Perkenalan pada Kartini akan terus berlanjut sampai ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ke SD, SMP dan SMA. Lalu, kita akan 'dihibur' dengan segala macam pakaian adat seluruh Nusantara, plus lomba-lomba yang lintas gender.

Misalnya, perempuan ikut lomba balap karung dan sepak bola. Laki laki ikut lomba masak nasi goreng. Ya, kan? 

Di kalangan perempuan menengah ke atas, Kartini kemudian dimanifestasikan melalui modifikasi dan komodifikasi model Kebaya Kartini dan Kebaya Encim. Yaaah, kalau sedikit beruntung, kita akan mendengar perkenalan Kartini sebagai pahlawan emanisipasi perempuan.

Namun, selanjutnya, tak ada cerita soal apa itu emansipasi dan apa isu yang diangkat Kartini. Paling banter, perempuan turut serta dalam nganu dan nganu. (ini bahasa tarzan yang saya pinjam dari pak Prof Pebrianov).  Gitu kan? 

Marjinalisasi Sejarah Kartini
Saya alami kekecewaan yang luar biasa, tentang bagaimana guru-guru saya, dan mungkin bagaimana pemerintah sejak Orde Baru memperkenalkan Kartini.

Kartini diperkenalkan via rangkuman kisah 'Habis Gelap Terbitlah Terang' atau Door Duistermis tot Licht, sebuah buku tentang kumpulan surat Kartini yang diterjemahkan oleh Armijn Pane. Bahkan, saya tidak pernah mengingat satupun guru yang mendorong muridnya untuk membaca buku itu. 

Saya sempat malu ketika bertemu dengan seorang sahabat, Guru Besar di Manila yang selama hidupnya belajar di Kanada dan Amerika,  yang menyodorkan kepada saya buku "Letters of a Javanese Princess', karangan Hildred Geerts, dengan kata pengantar oleh Eleanor Roosevelt.

Biografiku.com
Biografiku.com
Buku ini dipublikasikan oleh WW.Norton & Company New York pada tahun 1964. Kawan saya mendapatkan buku ini dari ibunya dan buku itu bertandantangan atau terdapat otograph dari Eleanor Rosevelt.

Mau menangis rasanya karena iri pada apa yang ia miliki. Sekaligus saya malu bahwa saya atau mungkin kita sangat terlambat membaca buku penting itu.

Kemudian, kawan saya tersebut menantang saya untuk menulis tentang Kartini. Kami berencana menulis tentang pandangan-pandangan besar dari tokoh dunia timur, misalnya Nehru, Jose Rizal, dan Kartini. Sayangnya, proyek itu tidak pernah terselesaikan. 

Dari situ, saya mencoba mencari tahu dan mencoba membaca e-book dari "Letters to Sartre', Siome de Beauvior, and Kartini: Sebuah Biografi, oleh Siti Soemandari Soeroto, dan satu buku favorit saya 'Panggil Aku Kartini Saja" oleh Pramoedya Ananta Toer. Itulah buku-buku yang membangunkan tidur lama saya tentang Kartini.

Dari buku-buku itu dan dari Pramoedya, saya akhirnya sedikit kenal Kartini.

Memang karya Pramoedya merupakan karya sastra, namun saya bisa mengenal perempuan istimewa ini dari sisi yang berbeda-beda. Buku Pramoedya adalah dua dari empat jilid yang tersisa karena jilid ketiga dan keempatnya dibinasakan pada tahun 1965. Suatu pembinasaan yang bodoh.

Bukan Hanya Soal Emansipasi Perempuan
Mari kita mulai mengenal Kartini dalam emansipasi. Apa itu?

Bagi Kartini, di suratnya kepada Ms Zeehandelaar pada 25 Mei 1899, emansipasi adalah tujuan-tujuan kuat untuk bebas dan untuk mampu menentukan arah tujuan hidup sendiri. Di sini, aspek pemberdayaan dan kemampuan menentukan kepentingan sendiri menjadi kritikal. 

Ketika Kartini menulis kepada Ms Van Kool di bulan Agustus 1901 tentang betapa berbedanya Indonesia bila perempuan berpendidikan, saya melihat Kartini tidak hanya memasukkan pendidikan perempuan. Tetapi ia menyadari bahwa dibandingkan dengan laki laki, perempuan adalah kelompok yang perlu mendapat perhatian.

Ia percaya peran perempuan penting dan pendidikan bisa menjadi pintu keluar dari ketertinggalan. 

Untuk itu saya tidak terlalu melihat bahwa fokus Kartini hanya pada emansipasi perempuan. Ini yang saya lihat menjadi salah kaprah di kalangan kita. Kita salah memahami tentang Kartini. Kita akan segera tahu, mengapa kita telah salah mengenal Kartini. 

Pada suratnya kepada Stella Zeehandelar pada 18 Agustus 1899, Kartini secara keras melawan feodalisme. Ia melihat feodalisme dan aristokrasi adalah cara paling bodoh untuk melihat dan mengukur orang untuk menentukan posisinya.

Kartini katakan, "Di masa depan orang akan dilihat bukan dari posisi dan latar belakang aristokrat, tapi oleh kemajuannya. Bisa ilmu pengetahun. Bisa ekonomi". 

Kartini juga mengkritisi betapa kompleksnya budaya Jawa yang mengharuskan dia dan saudara-saudara perempuannya, juga perempuan dan laki-laki yang berada pada status yang lebih rendah darinyanya, untuk 'laku ndodok', jalan jongkok dan berbicara pelan sehingga bahkan orang di sebelah kita tidak mendengar suara kita. Itu aturan priyayi Jawa.

Kartini merasa terganggu pada kenyataan bahwa saudara-saudara perempuannya hanya boleh berbicara dalam suara yang rendah dan dengan 'Kromo Inggil', standar bahasa Jawa yang tidak memperbolehkan ia berbicara dengan 'kamu dan saya'.

Juga ia jengah ketika adik-adiknya harus melakukan 'sembah' kepada Kartini sebagai saudara perempuan tua mereka.

Kartini katakan bahwa bulu kuduknya berdiri, hanya dengan mendengar bagaimana orang berbicara kepada mereka yang berstatus lebih tinggi.

Dia menanyakan melalui suratnya kepada Stela, apakah orang dengan sebutan atau panggilan aristocrat 'Baron' atau 'Graaf' akan memberi garansi akan bertindak dan berkarakter seperti pada panggilan itu.

Dari pertanyaan Kartini saja, saya menjadi paham bahwa Kartini marah bukan pada pada feodalisme yang ada di depan matanya tapi juga feodalisme yang ada di dunia yang pelajari, yaitu Eropa.

Kartini mengatakan, bahwa budaya tempat ia tinggal dan dibesarkan seharusnya bisa diubah.

Di suratnya kepada Stela, Kartini menulis tentang kemarahannya pada feodalisme "Mulai sekarang, kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tak perlu punya aturan aristokrat'.

Adalah kita sendiri yang menentukan batasan tentang bentuk bentuk tindakan yang bebas kita lakukan".

Bagi Kartini, status seseorang harus dilihat dari pikirannya dan karakternya. Ia juga menolak dan melawan ketidakadilan. Dan, ia melawan ketidakadilan bukan hanya pada apa yang dihadapi perempuan, tetapi masyarakat 'Hindia' secara umum, serta mereka yang ia temui dan mereka yang ia temukan dari bacaannya.

Ia melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang ada di antara orang Hindia/Indonesia dan orang-orang Belanda. Ia sangat kecewa ketika menemukan peraturan baru yang mengatur pendidikan orang Indonesia, sehingga hanya keluarga aristokrat yang dapat mengirim anaknya ke sekolah berkualitas.

Sementara, anak orang kebanyakan hanya bisa sekolah 'Sekolah Ongko Loro' yang mengajarkan baca tulis dasar saja. Ini ia ketahui ketika pemerintah Belanda meminta para bupati di Jawa, termasuk ayahanda Kartini untuk menetapkan persyaratan agar anak yang diterima di sekolah dasar Belanda adalah mereka yang telah fasih berbahasa Belanda.

"Adalah gila untuk meminta anak umur 6 tahun untuk bisa fasih berbahasa Belanda untuk lolos dan memasuki sekolah dasar dengan standard Belanda, dan pada saat yang sama anak anak itu harus belajar bahasa ibunya".

Kartini memahami betapa sulitnya anak anak Hindia bisa lolos ke pendidikan berstandard Belanda itu.

Ia membayangkan betapa anak anak di Belanda dapat belajar dan memiliki buku-buku yang sangat beragam, di luar buku pelajaran.

Kartini ekspresikan hal ini dalam suratnya kepada Ms Van Koln di tahun 1902.

Perempuan Berkemajuan Cikal Bakal Pergerakan Nasional yang Putus Sebelum Berkembang
Rasanya sedih membaca bahwa Kartini sebetulnya sangat bersemangat dengan menempuh pendidikan dengan beasiswanya ke Belanda. Ini ada pada surat Kartini kepada Ms Ovink Soer, pada 1990:

"Saya akan menempuh pendidikan saya di Belanda, karena Belanda akan mempersiapkan dan memberikan ilmu untuk peran dan tanggung jawab yang telah saya tentukan. "

Ini nampaknya menakutkan bagi pemerintah Belanda dan politisi di Belanda. Belanda takut bahwa bila seorang Kartini jadi berangkat sekolah ke Belanda, kemerdekaan Indonesia menjadi makin dekat 'gara-gara' perempuan Indie yang memberontak, yaitu Kartini.

Niatnya melanjutkan pendidikannya ke Belanda rontok dengan diterimanya lamaran Bupati Rembang untuk menjadikannya sebagai istri kedua.

Saya tak dapat membayangkan kesedihan Kartini yang harus menghentikan mimpinya. Ia akhirnya memberikan haknya untuk menempuh pendidikan di Belanda kepada seseorang yang akhirnya kita kenal sebagai H Agus Salim. 

Kartini sebetulnya bukan hanya berpikir soal pendidikan anak perempuan, tetapi ia berpikir jauh soal kesetaraan dan kemerdekaan bangsanya.

Kartini memikirkan soal kemerdekaan, kemandirian dan penentuan diri bangsa Indonesia. Ia memang dipingit, tetapi ia tak berpikir untuk dirinya. 

Di sinilah, saya merasa kecewa tentang apa yang saya pelajari di sekolah kita. Kita hanya diperkenalkan kepada keluhan Kartini soal posisi dirinya yang dipingit. Yang menangis lalu mendirikan sekolah untuk perempuan. Itu saja. Sesuatu yang jauh berbeda.

Bagaimana saya tidak terkesima dan sekaligus marah bahwa pandangan pandangan Kartini ini dimiliki oleh perempuan muda berusia 25 tahun. Kita tidak kenal Kartini. 

Memang, sepeninggal Kartini yang meninggal hanya lima hari setelah melahirkan bayinya, cita cita Kartini dilanjutkan oleh keempat adiknya, Kardinah, Rukmini, Kartinah dan Sumantri. Selama ini kita lebih sering mendengar tentang 2 adiknya. 

Keempatnya merupakan anggota pertama Stovia, bersama Dr Wahidfin Sudiro Husodo, yang kemudian kita pahami sebagai penggerak kemerdekaan. Ini menguatkan bahwa Kartini merupakan cikal bakal pergerakan nasional di Indonesia.

Kalau boleh saya berharap kepada Presiden terpilih, mohon jadikan dan posisikan Kartini sebagai apa adanya. Dengan pemikirannya. Dengan kekuatannya.

Mohon juga setop sekolah sekolah yang berpikiran sempit, menjadikan Kartini hanya sebagai sepotong kebaya encim dan sarung kain saja. Boleh kita pertahankan budaya tapi bukan melalui hari Kartini. 

Juga, jangan biarkan anak sekolah hanya mengenal Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan (saja). Ia pahlawan emansipasi perempuan dan warga Hindia serta cikal bakal pergerakan nasional pertama, yang digagalkan oleh kematiannya. Selamat ulang tahun, Ibu Kartiniku. Saya bangga luar biasa pada Ibu. 

Terima kasih, Pramoedya, karena engkau menuntunku untuk melihat Kartini dengan mata berbeda. Karena buku Pramoedya, saya menggali buku buku lain tentang Kartini. Terima kasih juga untuk kawan lama saya yang membuat saya malu karena terlambat membaca buku tentang Kartini. 

***) Tulisan ini saya dedikasikan dan berikan untuk anak saya semata wayang, Mutiara Anissa pada tahun 2011, yang olehnya ditayangkan di Facebooknya. "Kartini, a Progressive and Liberal Javanese Princess -- Unknown among her Country Fellows di sini. Kalau tidak Mutiara simpan, saya tidak punya lagi dokumen itu. 

 Pustaka : Kartini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun