Mohon tunggu...
Lesterina Purba
Lesterina Purba Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Hidup hanya sebentar perbanyaklah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Warung Kopi Keliling Pak Budiantoro

15 Februari 2021   10:59 Diperbarui: 15 Februari 2021   11:32 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita di warung kopi.

Hidup ini tidak ada yang sempurna, dibalik ketidaksempurnaan itu ada kebahagiaan dan ada juga keputusasaan. Seperti secangkir kopi hitam pekat. Kehidupan kadang bisa sepekat itu. Tapi dalam pekat itu ada keteguhan, kekuatan untuk bertahan hidup. 

Halte yang ada di perumahan Harvest City. Tempat bus dan angkot menunggu penumpang. Seperti biasa aku duduk di halte yang dekat dengan cafe roti bakar dan Toko Narma. Sambil menunggu angkot. Saya melihat bapak yang selalu mangkal di halte ini. Beberapa bulan ini, sudah tidak asing lagi wajah mereka. Sesesap kopi di sore ini ada kisah dari Pak Budiantoro.

Pak Budiantoro berusia 60 tahun. Punya istri yang setia, serta masih punya tanggungan anak dan cucu.

Mereka tinggal di Kampung Sawah gang Sawo RT 5 RW 2, untungnya sudah rumah sendiri. Sebelum jualan kopi keliling beliau pernah menjadi tukang odong-odong. 

Odong-odong perhari setoran seratus ribu. Kalau sebelum pandemi banyak langganan sekarang sepi. Karena tidak kuat bayar setoran mahal. Beralih haluan ke pedagang kopi keliling. Biasanya saya melihat pedagang kopi keliling pakai motor tapi beliau hanya punya sepeda. 

"Dikuatkan saja Bu, goes sepeda jauh-jauh demi anak istri," ujarnya.
Sebelumnya malah lebih jauh ke daerah Jonggol, setiap pagi dan malam goes sepeda.

Semenjak mangkal di perumahan Harvest City beliau berangkat dari jam 6 pagi pulangnya sampai mahgrib. Punya anak dua perempuan. Salah satunya tinggal di daerah kota Bekasi. Kemudian yang kedua tinggal bersama mereka ditinggal suami ketika hamil. Sekarang cucunya berumur dua tahun. Terkadang mereka ikut berjualan dengan pak Budiantoro. Pernah sekilas saya lihat, beliau asyik menggendong cucunya yang sedang tidur sambil menunggu pembeli kopi serta jajanan miliknya.

Penhuni halte semenjak pandemi sangat sepi. Paling-paling tukang ojek yang sering mangkal di sana langganannya. Kemudian sopir angkot dan bus ketika menunggu penumpang. Bus saja sudah jarang mangkal ketika pandemi ini. Bisalah kita tebak penghasilannya berapa bila keadaan sepi seperti itu.

Penghasilannya perhari paling banyak 40 ribu terkadang 30 ribu. Bagaimana dengan istri? Apakah punya penghasilan juga? Saya bertanya lagi. Apakah cukup uang segitu perhari dengan tanggungan cucu juga. "Dicukupkan Bu," katanya lagi.

 "Istri suka menanam di sekitar rumah, berupa sayuran, cabe untuk selang seling, makanan perhari.  
"Bagaimana dengan anak perempuan Bapak?" Saya masih penasaran, sanggupkah menjalani hidup bila setiap hari berkekurangan.
"Anak perempuan saya kurang jeli menghitung Bu, dia tidak bisa menghitung uang kembalian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun