Mohon tunggu...
Lestari Silalahi
Lestari Silalahi Mohon Tunggu... GMNI FISIP USU

Seorang pejuang kata dan pemimpi yang (masih) percaya kalau tulisan bisa jadi peluru perubahan. Mahasiswa Kesejahteraan Sosial by status, tapi pemikir bebas by soul. Kadang nulis pakai hati, kadang pakai emosi—depends on the vibe. I write what I feel, I feel what I write.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemaksaan Vasektomi demi Bansos, Kekerasan Struktural Atas Nama Kesejahteraan

12 Mei 2025   23:00 Diperbarui: 12 Mei 2025   21:54 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh praktik kebijakan yang mengaitkan akses masyarakat miskin terhadap bantuan sosial (bansos) dengan kesediaan mengikuti program tindakan permanen seperti vasektomi. Vasektomi, sebagai prosedur medis, pada dasarnya adalah bentuk kontrasepsi sukarela yang harus dilandasi persetujuan bebas, sadar, dan tanpa tekanan. Ketika negara atau lembaga sosial mengaitkannya dengan pemberian bansos yang dalam banyak kasus adalah kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup maka tidak ada lagi kebebasan. Ini bukanlah pilihan bebas, melainkan bentuk pemaksaan terselubung, nyaris setara dengan pemerasan terhadap tubuh yang tak berdaya. Kebijakan semacam ini, jika benar dijalankan, bukan hanya bermasalah secara etika, tetapi juga mencerminkan bentuk kekerasan struktural yang membungkus dirinya dalam narasi "penanggulangan kemiskinan". Alih-alih menjadi pilihan bebas, tindakan seperti vasektomi berubah menjadi syarat transaksional demi mempertahankan hak dasar atas hidup layak. Ini jelas bentuk pemaksaan yang tidak bisa dibenarkan dalam negara hukum dan demokrasi yang menjunjung tinggi martabat manusia.

Masyarakat miskin yang menjadi sasaran kebijakan ini berada dalam posisi tawar yang sangat lemah. Ketika kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan anak, atau pengobatan bergantung pada bansos, maka pilihan mereka untuk menolak kebijakan ini praktis lenyap. Dengan kata lain, kebijakan ini tidak menawari pilihan, melainkan ultimatum yang memanfaatkan kerentanan sosial sebagai alat kontrol. Lebih parah lagi, kebijakan ini menggambarkan kegagalan negara dalam memahami akar kemiskinan. Dengan menjadikan jumlah anak sebagai penyebab utama kemiskinan, negara seolah lepas tanggung jawab atas ketimpangan struktural, ketidakadilan distribusi sumber daya, hingga buruknya layanan publik. Bukannya memperbaiki struktur ekonomi-politik yang timpang, negara justru menempatkan tubuh rakyat miskin sebagai objek kebijakan yang bisa diintervensi secara sepihak.

Di titik ini kita patut bertanya: mengapa justru kelompok masyarakat miskin yang ditarget? Mengapa kebijakan tak menyasar kelas menengah atas atau elit yang justru punya jejak ekologis dan konsumsi sumber daya jauh lebih tinggi? Jawabannya ada pada cara pandang struktural negara terhadap kemiskinan: bukan sebagai konsekuensi dari sistem ekonomi-politik yang timpang, melainkan akibat "terlalu banyak anak". Narasi ini mengaburkan akar kemiskinan yang sesungguhnya yakni eksploitasi, ketimpangan distribusi aset, dan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan merata.

Lebih dari itu, pendekatan seperti ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak untuk menentukan sendiri pilihan reproduksi. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang berhak menentukan sendiri jenis dan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Maka, pemaksaan secara halus (coercion by conditionality) melalui syarat bansos merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum nasional itu sendiri.

Ada juga dimensi psikososial yang luput dari perhatian para perancang kebijakan: bagaimana dampak psikologis pria yang menjalani vasektomi karena tekanan ekonomi? Bagaimana pengaruhnya terhadap relasi keluarga, martabat diri, hingga ketimpangan gender yang makin mengeras, karena peran pengendalian kelahiran kembali dibebankan sepihak kepada kaum miskin laki-laki? Tak hanya itu, program seperti ini membuka ruang luas bagi penyalahgunaan wewenang di lapangan. Dalam sistem birokrasi yang kerap minim pengawasan, tekanan terhadap masyarakat untuk menjalani vasektomi bisa menjadi alat represif baru dari aparat lokal yang ditugasi "menekan angka kelahiran" demi capaian statistik.

Paradoksnya, negara yang semestinya hadir melindungi kelompok rentan, justru mengkonstruksi kebijakan yang melukai harkat dan martabat mereka. Alih-alih memberikan pendidikan seksualitas yang komprehensif, memperluas akses kontrasepsi sukarela, serta menciptakan lapangan kerja yang layak, negara memilih jalan pintas: mengendalikan angka kelahiran, bukan memberdayakan rakyat.

Pengendalian penduduk bukanlah dosa. Namun ketika ia dijalankan dengan pendekatan koersif terhadap kelompok paling lemah dalam masyarakat, maka ia kehilangan legitimasi moral dan kemanusiaan. Kita harus melawan praktik-praktik kebijakan yang merampas hak tubuh rakyat miskin dengan iming-iming perut kenyang. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan demografi, melainkan integritas kita sebagai bangsa yang menghormati manusia sebagai manusia bukan sebagai angka belaka.

Negara yang tak mampu mengangkat martabat rakyatnya, lalu malah memaksa mereka mengebiri diri demi sesuap bantuan, bukan sedang membangun masa depan melainkan sedang memelihara ketakutan dan mensterilkan harapan. Jika tubuh orang miskin harus dikorbankan agar negara terlihat berhasil, maka sesungguhnya yang perlu disterilkan adalah mental penguasa yang tega menindas demi angka statistik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun