"Ini, Mas, dawetnya." Gadis itu menyodorkan dawet ireng buatannya. Tak perlu menunggu lama, segera kumasukkan ke dalam mulut dan melewati kerongkongan yang tandus bagai gurun pasir. "Segarnya."
"Dek, nambah lagi," pintaku, rasanya segelas besar tidak cukup mengobati dahaga ini. Kuberikan gelasku agar diisi kembali. Kali ini, aku melihat cara membuatnya. Pertama, sang gadis mengambil dawet yang ada di gentong berisi campuran dawet, santan dan es batu. Setelah itu, ia memasukkan air gula jawa yang telah dipanaskan hingga mengental, kalau bahasa Jawanya namanya juruh.Â
"Ini, Mas."
"Terimakasih. Ngomong-ngomong, Mbak namanya siapa?" Iseng aku bertanya, siapa tahu bisa jadi pacar.Â
"Namaku Lastri, Mas." Hmm, nama khas Jawa.Â
"Boleh minta nomor hp? Siapa tahu kalau pas lewat sini terus mau beli dawetnya lagi, terus lupa tempatnya, bisa telepon, hehe." Mulai ngebucin
"Kan gampang, Mas, tinggal cari jembatan Butuh, lalu sebelah timurnya," ucapnya sembari tersenyum. Sungguh, gadis berlesung pipit penjual dawet itu terlihat sangat manis semanis dawet Ireng yang ia buat.
"Hehehe."Â
Baru saja aku selesai minum dawet gelas kedua, datang seorang pria dengan badan sedikit gemuk dan berkumis tebal.Â
"Monggo silakan duduk," ucapku sok ramah karena kukira pelanggan. Kebetulan di sampingku masih ada kursi kosong.
"Oh, nggak perlu, dienakin saja," balas pria itu.Â