Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Menulis Mutiara Sani Kakaknya Ratna Sarumpaet Syuting "Bulan di Atas Kuburan"

19 Oktober 2018   18:55 Diperbarui: 20 Oktober 2018   07:16 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kenangan menulis di masa remaja)

Usiaku kala itu masih remaja tinting. 16-17 tahun. Aku sudah gemar menulis. Bahkan berani mengirim naskah ke suratkabar yang terbit di Medan. Di antaranya koran Analisa, Sinar Indonesia Baru (SIB) dan Sinar Pembangunan (belakangan ganti nama jadi Medan Pos). Tak disangka naskah artikel berupa cerpen,puisi, atau tulisan ringan yang meski pun kutulis tangan banyak yang dimuat dan cuma sedikit yang gagal terbit.

Masa remajaku memang susah mendapatkan mesin tik. Aku buta mesin tik sama sekali. Menyentuhnya pun tak pernah. Tapi tak menyurutkan niat untuk menulis apa saja. Ya tentu dengan ballpoint. Terasa plong juga. Modal kertas folio bergaris, aku siap menulis apa yang terlintas di benak.

Rasa senang berbaur bangga membuncah. Betapa tidak. Hampir setiap tulisan yang kukirim - waktu itu via surat kilat kantor pos - diterbitkan harian SIB miliknya GM Panggabean almarhum.

Hebatnya lagi kebanyakan dimuat di halaman pertama. Jarang diselipkan ke halaman dalam kecuali kalau itu puisi dan cerpen. Di balik rasa bangga terselip juga rasa heran. Karena waktu itu aku menyadari kemampuanku menulis biasa-biasa saja dibanding penulis lain yang sering kubaca di suratkabar. 

***

Waktu itu sekitar tahun 1974-1975. Sosok yang namanya wartawan masih begitu hebat dalam pandanganku. Jumlah wartawan di daerahku juga terbilang sedikit. Bisa dihitung cepat dengan jari. Dalam pandangan masyarakat,yang namanya jurnalis itu "maha hebat", orang terhormat dan disegani. Itu membuatku jadi ambisius ikutan jadi jurnalis. Tapi bagaimana caranya aku tidak (belum) tahu. Aku beranggapan untuk menjadi wartawan itu pasti sulit.

ITU DULU. Tentu berbeda dengan sekarang. 

Yang kemudian akan kutulis sedikit di sini bukan tentang kewartawanan. Aku cuma mengenang secuil pengalaman masa remaja tentang pernak-pernik kepenulisan tempo dulu dengan sekarang. 

Suatu ketika aku sedang duduk di kedai kopi di Tarutung. Ada empat atau lima orang kulihat turun dari mobil. Tiga di antaranya perempuan dan dua pria. Satu di antara pria itu bertubuh gemuk dan berkumis. Salah seorang perempuan muda itu berwajah cantik berkacamata hitam dengan rambut terurai sebahu. Dari kedekatannya dengan pria gemuk itu kusimpulkan mereka suami isteri. Dua gadis lainnya duduk bareng mengelilingi meja. Mereka memesan teh manis dan kopi.

Kudengar mereka cerita dengan ceria. Topik pembicaraan mereka rupanya tentang film. Aku tertarik mendengarnya. Aku menduga mereka itu bintang film. Tapi ngapain mereka di kota ini,pikirku. Tak lama kemudian aku memberanikan diri mendekat. Kusebut namaku saat berjabat tangan. Meski masih muda usia aku ikut ngobrol dengan mereka berlima. Beberapa pria lainnya yang sedang minum di kedai ikutan nimbrung ngobrol.

Dari percakapan itu kemudian kuketahui nama pria gemuk berkumis itu Asrul Sani. Belakangan baru kuketahui dia salah satu sastrawan Indonesia terkenal seangkatan dengan Mochtar Lubis. Sedangkan perenpuan cantik berkacamata di sampingnya adalah Mutiara Sarumpaet yang belakangan namanya lebih dikenal Mutiara Sani di dunia artis layar lebar.

"Saya juga boru Batak marga Sarumpaet berasal dari Tarutung ini. Ibu saya boru Hutabarat", kata Mutiara tersenyum kepada orang-orang yang ada di kedai. Lalu ia memberi isyarat memberitahu pria gemuk itu adalah suaminya. "Dia bukan orang kita Batak tapi orang Padang," imbuhnya. Pria bernama Asrul Sani itu senyum manggut-manggut.

Mutiara mengatakan kalau rombongannya sudah dua hari berada di Tarutung dalam rangka pembuatan film brrjudul " Bulan di Atas Kuburan". Mutiara sendiri salah satu pemeran utama dan suaminya sebagai penulis cerita sekaligus sutradara.

Dari beberapa lokasi syuting sebagian diopname di kawasan desa Hutabarat Tarutung. Selain di kawasan Danau Toba. Kawasan Hutabarat jadi pilihan karena cocok dengan tuntutan cerita film. Mutiara juga menyebut daerah Tanah Batak memiliki lokasi-lokaski strategis untuk pembuatan film action dan film bertema sejarah.

***

Aku mengambil secarik kertas dan pulpen dari kantong. Aku punya ide untuk menulis sesuatu terkait percakapan itu.

" Lho kenapa dicatat. Apa adek itu wartawan ya," ujar artis berparas cantik itu melihat aku mencatat.

Aku menggeleng tertawa. "Oh bukan kak. Aku bukan wartawan. Tapi aku suka menulis", jawabku.

Mutiara tersenyum menatapku. Dia terkesan wanita yang lemah lembut.

"Apa yang mau kamu tulis dan untuk apa", tanya artis itu lagi.

Kujawab spontan: " Aku mau menulis ada pembuatan film di daerah ini. Itu pasti menarik kak, kalau ditulis di suratkabar."

Mutiara tertawa diikuti tawa suaminya Asrul Sani. "Oh apa nanti diterbitkan itu kalau kamu kirim ke suratkabar".

"Ya tak taulah dimuat atau tidak. Tapi apa salahnya kucoba kak."

Perbincangan santai itu pun berlanjut terus. Orang makin ramai berkerumun setelah tahu ada bintang film ada di situ. Ada saja yang nimbrung bertanya ini dan itu. Bahkan tentang perkawinannya dengan Asrul Sani. Perempuan cantik itu menjawab semuanya dengan lugas.

Sementara,aku terus mencatat bagian'bagian yang kuanggap perlu.

***

Sore itu juga kubeli beberapa lembar kertas folio bergaris  dengan sebuah ballpoin yang baru. Aku naik ke kamarku di loteng rumah kami untuk mulai menulis. 

Tanpa oretan konsep aku menulis sesuai pembicaraan dan apa yang sempat kucatat. Awalnya ada keraguan apakah mungkin itu akan diterbitkan koran SIB yang waktu itu sedang melejit dengan tiras terbesar di Sumatera. Keraguan karena aku belum pernah atau belum pengalaman menulis berita, apalagi berupa laporan wawancara. Toh aku bukan wartawan koran itu walaupun beberapa tulisanku sudah pernah dimuat berupa cerita pendek dan artikel tentang remaja.

Akhirnya tulisan tangan itu siap. Kubaca ulang sekali sebelum kumasukkan ke amplop kilat. Pagi esoknya kukirimkan ke alamat redaksi Harian SIB di Jalan Katamso Medan.

Esok harinya di hari kedua apa yang terjadi. Hampir tak kupercaya ketika koran SIB tiba di Tarutung sekitar pukul 10.00. Biasanya koran itu diturunkan di sebuah kios di simpang empat kota. Para pengecer dan pembeli setiap pagi sudah bergerombol menunggu di sana saking ngetopnya koran SIB waktu itu. Aku minta uang sama ibuku untuk membeli selembar. Dengan menaiki sepeda aku langsung membeli satu eksemplar. 

Begitu kubuka koran berlipat itu mataku tertuju ke bagian headline utama di kanan atas. Bah! Tak salah lagi. Itulah berita artikel yang kukirim kemarin via pos. Lama kutatap judul dan subjudul serta foto yang kukirim.

Semua sesuai yang kutulis tak ada yang berubah. Rupanya begitulah dulu. Rasa senang bangga campur aduk..apalagi tulisan itu pakai by name. Ada namaku tercantum sebagai penulis.

Rasa bangga dan senang itu memuncak karena banyak temanku sebaya memuji tulisanku muncul sebagai berita utama. Aku juga heran. Saat kuperiksa semua dari A sampai Z satu kata pun tak ada yang berkurang atau kena sunting dari apa yang kutulis.

Itu yang membuatku menulis lagi sisi lain dari Mutiara Sani Sarumpaet di hari berikutnya. Eeh,itu pun dimuat juga di halaman utama. Tulisan berupa opini itu mendapat gayung bersambut dari pembaca di Bandung dan Pekanbaru.

Aku tak tahu apakah Mutiara membaca koran itu sejak terbit. Tetapi kira-kira sebulan kemudian ada sanak keluarganya di Desa Hutabarat memberitahu kalau Mutiara membaca tulisanku di koran SIB. " Dia kirim salam pada kamu. Dia tertawa melihat fotonya ada di koran", ujar perempuan yang masih keluarga dekat Mutiara.

***

Kenapa aku teringat momen pertemuan dengan Mutiara Sani Sarumpaet dan suaminya sastrawan kesohor Asrul Sani. 

Ketika kasus hoax Ratna Sarumpaet viral di medsos dan media cetak, aku baru tahu jelas kalau RS itu adalah adik kandung dari Mutiara Sarumpaet ( belakangan nama artisnya adalah Mutiara Sani).

Di medsos disebutkan kalau RS itu kelahiran Tarutung dan ibunya bernama Yulia Hutabarat. Aku teringat saat bertemu Mutiara dulu ada dua gadis temannya ketika minum di kedai kopi.

Satu diantaranya kureka sebagai Ratna yang tersandung kasus hoax sekarang. Aku tak begitu perhatikan. Saat percakapan di kedai, gadis yang kureka sebagai RS itu kelihatannya pendiam kalau tak menyebut cuek. Berbeda sekali dengan kakaknya Mutiara yang ramah,terbuka,dan ceria. Tapi entahlah kalau itu adalah

Ratna Sarumpaet ( sumber https://www.viva.co.id)
Ratna Sarumpaet ( sumber https://www.viva.co.id)
Ratna. 

Aku mendapat informasi bahwa ibunya Ratna berasal dari Desa Parbaju salah satu bagian dari Desa Hutabarat di Tarutung. Ibunda Ratna masih keturunan dari Asisten Demang Renatus Hutabarat, seorang tokoh terkenal di kalangan marga Hutabarat. 

Ayahnya Saladin Sarumpaet juga tergolong tokoh partai masa penjajahan dan pasca kemerdekaan RI. Marga Sarumpaet dalam silsilah marga Batak adalah bagian dari marga Sibarani. Menurut data biografi Ratna,ayahnya bahkan disebut pernah menjadi menteri pada masa Orde Lama. Orangtua Ratna adalah pemeluk agama Kristen yang taat. Bahkan Saladin Sarumpaet pernah jadi voorganger di salah satu gereja di Jakarta. Begitu juga ibunya Ratna adalah seorang aktivis organisasi wanita Kristen.

Nalom Hutabarat salah satu anak dari paman kandung Mutiara/Ratna ketika berbincang dengan kompasianer di gereja HKBP Parbaju dua minggu lalu membenarkan kalau ibunya Ratna adalah saudara kandung ayahnya bernama Washington Hutabarat. Kalau orang Batak menyebutnya "namboru" ( panggilan untuk saudara perempuan dari ayah).

Demang Renatus Hutabarat kakeknya Ratna dari garis ibu mempunyai keturunan dua anak laku-laki dan tujuh anak perempuan. Paman Ratna yang satu lagi bernama Willem Hutabarat lama bekerja sebagai sekretaris Wakil Presiden Mohammad Hatta. Salah satu dari saudara ibunya Ratna yang bungsu bernama zuster Bonaria masih hidup dan turut aktif dalam pembinaan gereja HKBP Parbaju saat ini.

" Ratna pernah juga beberapa kali datang ke kampung ini,begitu juga dengan kakaknya Mutiara. Tapi sejak pembuatan film Bulan di Atas Kuburan dulu di desa ini, Mutiara sangat sibuk dan jarang mengunjungi keluarga," papar Nalom Hutabarat.

Dia dan keluarga yang ada di Hutabarat terkejut setelah mengetahui kabar terakhir tentang Ratna yang heboh dengan kasus kebohongannya. "Sebenarnya kami bangga dengan karir Ratna selama ini di bidang teater. Dia dan kakaknya Mutiara sana-sama punya talenta seni akting yang membanggakan. Tapi belakangan Ratna terjun menjadi seorang aktivis yang sepakterjangnya sering mengagetkan. Kami menyesalkan peristiwa yang menimpanya sekarang," kata Nalom.

Itulah secuil pengenalan tentangMutiara Sani dan Ratna Sarumpaet, bertolak dari ingatan saya menulis lebih 20 tahun silam.

Ternyata,pengalaman menulis di masa silam itu terasa indah dikenang. Lebih indah lagi manakala ada bagian dari kenangan itu bisa terdokumentasi. Rasanya harga sebuah dokumentasi begitu mahal, seperti koran kumal  masih bisa kutemukan dalam perputaran waktu yang begitu panjang.

*Tarutung 19 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun