Mohon tunggu...
Leonard Hazel Widjaja
Leonard Hazel Widjaja Mohon Tunggu... Pelajar biasa

Sedang belajar untuk merangkai kata dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Refleksi Sosial dan Politik Melalui Sastra

21 September 2025   23:13 Diperbarui: 21 September 2025   23:13 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tulisan opini dan artikel jurnalistik sering kali hadir bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menawarkan refleksi yang lebih dalam terhadap fenomena sosial dan politik. Tiga artikel yang dianalisis, yakni "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" karya F. Rahardi, "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" oleh Tempo, dan "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo, menampilkan sudut pandang berbeda namun sama-sama berakar pada kritik sosial serta tanggung jawab moral. Ketiganya dapat dibaca sebagai cermin yang memperlihatkan bagaimana masyarakat, pemerintah, serta elit politik saling berkaitan dalam pusaran persoalan publik.

Artikel pertama karya F. Rahardi menggunakan pendekatan metaforis untuk membicarakan ketakutan dan keresahan masyarakat. Ulat bulu dijadikan simbol ketakutan berlebihan, tidak hanya terhadap fenomena alam tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik. Gaya penulisan yang satir membuat pembaca diajak melihat persoalan sederhana sebagai refleksi dari masalah besar dalam kehidupan berbangsa. Ketakutan terhadap ulat bulu, misalnya, disejajarkan dengan kepanikan politik dan ketidakmampuan masyarakat menghadapi realitas sosial. Dengan bahasa yang hidup, penulis mengajak pembaca memahami bahwa persoalan bangsa sering kali dibesar-besarkan hingga menimbulkan keresahan kolektif. Namun, kelemahan artikel ini terletak pada pengantar yang kurang memberikan arahan jelas mengenai maksud metafora, sehingga berpotensi menimbulkan tafsir subjektif bagi pembaca.

Berbeda dengan Rahardi yang bermain dengan metafora, artikel kedua yang diterbitkan Tempo tampil lugas dan argumentatif. Isu pagar laut ilegal diangkat sebagai bentuk kritik tajam terhadap pemerintah yang dinilai tidak konsisten dalam penegakan hukum. Penulis menyoroti adanya perbedaan pandangan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan TNI Angkatan Laut, yang menggambarkan lemahnya koordinasi di tubuh pemerintah. Fakta-fakta seperti kronologi tanggal kejadian dan panjang pagar laut ilegal yang mencapai 30,16 kilometer memperkuat argumen yang disajikan. Dengan gaya penulisan yang faktual, artikel ini menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh abai terhadap kasus yang merugikan masyarakat dan kedaulatan negara. Kekuatan artikel terletak pada penyajian data konkret, meski tetap akan lebih kaya bila melibatkan suara masyarakat yang terdampak langsung. Hal ini penting agar kritik tidak berhenti pada tataran elite, tetapi juga menghadirkan wajah korban yang merasakan akibat nyata dari kebijakan atau kelalaian pemerintah.

Sementara itu, artikel ketiga karya Budiman Tanuredjo membawa pembaca pada refleksi etis. Kritik diarahkan pada para elit politik yang kerap mengabaikan sumpah jabatan dan menyalahi prinsip etika publik. Penulis mengontraskan sumpah anggota DPR tahun 2019 dengan perilaku politik mereka di tahun 2024, termasuk upaya merevisi UU Pilkada yang justru bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan menghubungkan peristiwa reformasi 1998, penulis mengingatkan bahwa cita-cita luhur reformasi belum sepenuhnya diwujudkan. Artikel ini menjadi peringatan moral bahwa sumpah jabatan bukanlah formalitas seremonial, melainkan janji moral yang harus dipegang teguh oleh pemimpin bangsa. Kelebihannya terletak pada kemampuan mengaitkan masa lalu dengan situasi kontemporer, sehingga pembaca dapat melihat kesinambungan persoalan politik Indonesia. Meski begitu, artikel akan lebih kuat apabila menampilkan suara masyarakat yang dirugikan oleh praktik politik tidak etis, agar kritik terasa lebih membumi.

Ketiga artikel ini, bila dibaca bersama, menunjukkan spektrum kritik yang luas: mulai dari metafora sosial, analisis faktual kebijakan, hingga seruan etis terhadap moral politik. Rahardi mengingatkan tentang absurditas ketakutan kolektif yang bisa mencerminkan keadaan bangsa. Tempo menegaskan pentingnya konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum demi kepentingan rakyat. Tanuredjo menyuarakan urgensi integritas dan etika dalam kepemimpinan publik. Meski menggunakan pendekatan berbeda, ketiganya memiliki benang merah yang sama: perlunya kesadaran kolektif, transparansi, dan tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari segi metode penulisan, terlihat adanya keragaman gaya yang memperkaya wacana publik. Rahardi menekankan kreativitas bahasa melalui metafora; Tempo mengutamakan fakta dan data untuk menguatkan argumentasi; sementara Tanuredjo menghadirkan refleksi moral dengan menautkan sumpah jabatan pada sejarah reformasi. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa kritik sosial dan politik dapat hadir dalam berbagai bentuk, namun tetap memiliki tujuan sama: membangun kesadaran masyarakat sekaligus menegur mereka yang berkuasa.

Dengan demikian, ketiga artikel tersebut secara kolektif menegaskan pentingnya keterhubungan antara masyarakat, pemerintah, dan elit politik dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Kritik yang disampaikan melalui metafora, data faktual, maupun seruan etis memiliki peran vital untuk membangkitkan kesadaran bersama. Kehadiran tulisan-tulisan semacam ini bukan hanya untuk mencatat peristiwa, tetapi juga sebagai pengingat bahwa tanggung jawab publik harus dijalankan dengan penuh integritas dan keberanian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun