Aku dan Bantal Bayiku
Kini usiaku 48 tahun.
Lucu rasanya, tapi aku masih punya dia ,bantal bayiku.
Bentuknya?
Jangan tanya. Lebih mirip kain perca daripada bantal. Warnanya? Sudah seperti peta sejarah. Tapi anehnya, aroma kain usang itu seperti obat penenang alami. Satu peluk, semua beban hidup , dari cicilan sampai kerjaan , terasa... ya, sedikit lebih ringan.
Orang rumah sudah terbiasa. Anak-anakku suka menggoda,
"Bu, itu bantal apa fosil warisan nenek moyang?"
Aku cuma nyengir sambil memeluk erat.
Bantal itu bukan sekadar benda. Ia saksi bisu dari tangisanku waktu bayi, mimpiku waktu remaja, hingga gelisahku di usia dewasa.
Kadang kupikir, mungkin dia satu-satunya "teman" yang tak pernah pergi , diam, tapi setia.
Pernah coba ditinggalin? Pernah. Rasanya malah susah tidur.
Lucu ya? Tapi itulah aku.
Bantal kecil, usang, penuh lubang...
Tapi bagiku, dia seperti pelukan masa lalu yang menenangkan ---
Dan malam ini, sambil menyandarkan kepala di ujung bantal lusuh itu, aku tersenyum.
Karena di tengah dunia yang terus berubah, ada satu hal yang tetap sama:
aku, dan bantal bayiku  yang tak pernah benar-benar pergi dari pelukanku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI