Mohon tunggu...
Lenterasenja berpijar
Lenterasenja berpijar Mohon Tunggu... Novelis - Wiraswasta

Penulis novel, Editor, Penerbit Indie

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sepotong Hati untuk Prasasti (4)

14 Maret 2024   06:08 Diperbarui: 14 Maret 2024   07:02 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Sepotong Hati untuk Prasasti

Bagian ke 4 (Pengecut Itu, Aku)

Saat ilalang tersibak
Beribu batu tiba-tiba bergelayut manja
Menimbun dengan kejam
Hitamnya segumpal darah
Mengurung jiwa-jiwa nelangsa
Sang surya pun kini seolah enggan menyapa

Oh, angin ....
Kenapa keraguan itu kini menggila?
Alam hayal dan nyata sungguh berbeda
Binar itu ... entah kini milik siapa?
Harap dan cemas pun tak ada yang mau mengalah

Oh, angin ....
Tolong tanyakan pada ilalang
Bisakah ia tumbuh di padang gersang?
Yang tak pernah bosan menunggu tetesan air hujan
(Pras)

***


Pras terbelalak. Untuk sesaat jantungnya seolah berhenti berdetak. Wajah itu .... Dilihat  dari sisi mana pun, dengan dandanan seperti apa pun, tidak akan pernah berubah.

Setiap hari, setiap detik, wajah cantik itu selalu membayang, memenuhi ruang hayalnya. Jadi, dia tidak mungkin salah mengenali orang.

Tidak ada kuncir ekor kuda. Pun tidak ada rambut legam panjang tergerai indah, apalagi celana jeans panjang kesukaannya. Namun, kecantikan unik khas Asia itu tetap menjadi miliknya.

Gamis panjang, kerudung lebar, tampak pas membungkus tubuh mungil itu, membuat jantung Pras berdetak semakin kencang. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya, senyum di bibir lelaki muda itu mengembang. Tak terkira, betapa bahagia itu menyeruak tanpa diundang.

Sedetik kemudian, kaki kanan Pras sudah mengayun selangkah, siap untuk berlari menyongsong kekasih hatinya.

"Umiiii ... Tunggu Prasti!"

Teriakan bocah berpipi gembul itu membangunkan pikiran sadar Pras. Lelaki itu tersentak. Untungnya, pebisnis muda yang sukses itu memiliki pengendalian diri yang sangat kuat sekarang. Kalau tidak, mungkin ia sudah berlari memeluk wanita cantik dan anggun yang berada beberapa meter di depannya itu.

Tiba-tiba Pras merasa malu. Malu pada dirinya sendiri, malu pada kata hijrah yang dengan bangga pernah ia sandang, malu pada gamis dan kerudung lebar wanita yang ada di depannya, juga malu pada Tuhannya.

Pras merasa seperti linglung seketika. Dia yang sudah bersiap untuk terbang di atas awan, tiba-tiba dihempaskan angin topan dengan keras, hingga jatuh terjerembab tanpa daya.

Umi? Dia uminya? Dan Prasti, gadis kecil itu ... anaknya? Milik siapa? Miliknyakah, atau milik orang lain yang kini sedang berbahagia dengannya?

Namun, pikiran lain kembali menyeruak. Apakah Laras memang sudah bahagia sekarang? Adakah lelaki baik yang dengan rela menerima gadis itu apa adanya setelah segelnya dirusak olehnya?

Andai gadis itu sudah bahagia, Pras pasti akan merelakan? Namun, bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana?

"Astaghfirullah!"

Pras menjerit, tetapi jeritan itu tertelan kembali, membuat tenggorokannya tercekat, seolah menelan sekarung pasir kwarsa.

Tiba-tiba peristiwa lucnut itu kembali terekam. Gambaran biru film itu kembali berputar di benaknya, membuat lelaki itu semakin merasa bersalah.

"Astaghfirullah!"

Ribuan, bahkan jutaan kali kalimat thayyibah itu terucap, tetapi hingga kini rasa berdosa itu tidak mau sirna. Bahkan, satu kata maaf pun tidak bisa ia ucapkan pada wanita itu sekarang.

Jangankan satu kata maaf, untuk bertemu pun, saat ini Pras belum memiliki keberanian. Ini sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan selama bertahun-tahun dalam penantian. Bahkan, ia sendiri tidak percaya, betapa pengecutnya dirinya saat ini.

Sejak peristiwa itu, berbagai dugaan sudah muncul di benak Pras. Bagaimana kalau benihnya tumbuh di rahim mungil gadisnya? Sungguh, ia tidak pernah bermaksud menyakitinya. Ia tidak pernah bermaksud untuk meninggalkannya. Keadaanlah yang memaksanya bersikap seperti itu dulu.

"Pras, ayahmu terkena serangan jantung dan sedang koma sekarang."

Begitu mendapat kabar itu, Pras langsung terbang ke Australia, bahkan saking paniknya, ia tidak sempat berpamitan pada Laras. Ia tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya itu adalah awal perpisahan panjang mereka.

"Tinggalah di sini, Pras, Ibu sudah mendaftarkanmu di UNSV," kata ibunya.

"Tapi, Bu, Pras sudah ...."

"Pras, lihatlah keadaan ayahmu seperti apa. Ibu tidak sanggup mengurusnya seorang diri. Perusahaan juga membutuhkan tenagamu. Kamu sendiri tahu, persaingan di dunia bisnis seperti apa. Ibu tidak bisa menangani keduanya seorang diri," potong ibunya.

Saat itu, Pras hanya bisa menghela napas. Ia tidak punya pilihan. Sungguh, tidak ada maksud untuk mengorbankan Laras. Memang saat itu ia lebih fokus mengurus keluarganya, tetapi ia juga tidak ingin mengabaikan gadis itu.

Namun, mungkin saking fokusnya, sampai-sampai selama beberapa waktu, Pras belum kepikiran untuk menghubungi Laras sama sekali.

Beberapa bulan, ketika kondisi keluarganya sudah cukup stabil, ia bermaksud menghubungi Laras, tetapi rupanya sudah terlambat. Gadis itu sudah hilang tanpa jejak sedikit pun, seolah lenyap ditelan bumi.

Sejak saat itu, bumi tempat Pras berpijak seolah melesak. Langit di atas kepalanya seolah runtuh. Antara sedih, khawatir, perasaan berdosa, semua bercampur jadi satu. Semua pikiran buruk tentang gadis itu terus berkecamuk. Baru bisa ia bayangkan, penderitaan seperti apa yang sudah ia tinggalkan. Bisa ia bayangkan, betapa terpuruk dan tidak berdayanya gadis itu menanggung semua beban dari dosa yang ia tinggalkan.

Dan sekarang, saat binar itu kembali terang, mungkinkah dirinya dimaafkan. Prasti, gadis kecil itu, mungkinkah dia adalah satu jejak dari dosa yang pernah ia tinggalkan?

"Astaghfirullah!"

Meski sudah terlambat, tentu dengan senang hati Pras bersedia untuk menebusnya? Namun, apakah wanita itu bersedia memaafkan? Mungkinkah ia masih mau membukakan hati untuknya, dengan kunci yang sudah ia patahkan?

Melihat kenyataan sekarang, bagaimana kalau ia sudah bahagia dengan orang lain? Dan Prasti ... apa gadis kecil itu betul-betul miliknya?

Kalau diperhatikan dengan seksama, gadis kecil itu sama sekali tidak mirip dengan Laras. Mungkinkah dia bukan anaknya? Atau ... mungkinkah gadis lucu itu lebih mirip ayahnya? Konon, anak perempuan memang lebih banyak menyerap gen ayah. Eh, kalau dilihat-lihat lagi dengan seksama, wajah itu sangat familier. Sepertinya Pras pertama bertemu, tetapi ia lupa.

"Astaghfirullah!"

Pras berpikir, seperti inikah silat pikiran dari sang pendosa seperti dirinya. Beribu alibi selalu saja tersedia untuk membenarkan ambisinya. Padahal, semua itu menunjukkan, betapa pengecutnya dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun