Mohon tunggu...
Lenterasenja berpijar
Lenterasenja berpijar Mohon Tunggu... Novelis - Wiraswasta

Penulis novel, Editor, Penerbit Indie

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sepotong Hati untuk Prasasti

27 Februari 2024   08:08 Diperbarui: 27 Februari 2024   08:10 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 1. Janji Abadi

"Om, dompetnya jatuh."

Seorang gadis kecil menggamit tangan Pras sambil menyerahkan benda pipih berwarna hitam padanya. Usianya sekitar lima tahun. Rambutnya tertutup kerudung mungil yang lucu.

Prasetyo menoleh. Pemuda dua puluh sembilan tahun itu tertegun sejenak melihat sepasang mata bersinar bak bintang kejora yang sedang menatapnya. Sungguh, lelaki itu terpesona pada pandangan pertama.

"Om!" panggil gadis itu lagi sambil menggoyang lembut tangan Pras.

"Eh, iya, terima kasih. Siapa namamu, adik kecil?" tanya Pras terkesiap.

"Namaku Prasti, Om." Gadis itu menjawab riang sambil tersenyum ceria.

"Nama yang cantik, secantik orangnya," jawab Pras sambil mencubit gemas pipi gembul gadis lima tahun itu.

"Om, jangan gitu. Kata Umi, gak boleh puji orang sembarangan. Gak boleh pegang-pegang juga," kata gadis bernama Prasti itu dengan raut sedikit tidak senang.

"Oh, Maaf. Om tidak bermaksud jahat. Om hanya gemes lihat Prasti yang lucu dan imut ini," jawab Pras merasa bersalah.

Ia lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan memberikannya pada gadis itu sebagai ucapan terima kasih.

"Gak boleh, Om. Prasti gak boleh terima uang sembarangan. Tadi Prasti ikhlas, kok, nolongin Om."

Sekali lagi, Pras terkesiap.

"Rupanya ia bukan gadis sembarangan. Orang tuanya pasti sangat luar biasa," pikir Pras.

"Prasti ... Prasti ...." Terdengar suara lembut seorang wanita memanggil-manggil.

"Itu umiku. Permisi, ya, Om."

Gadis kecil itu langsung melesat. Tak jauh dari tempat mereka, beberapa orang tampak celingak-celinguk. Rupanya mereka sedang mencari keberadaan Prasti yang mungkin tersesat. Salah satunya adalah seorang wanita mungil dengan gamis dan kerudung agak lebar. Wajahnya tidak begitu jelas karena wanita itu membelakanginya.

"Umi ...."

Gadis kecil itu langsung menghambur dan memeluk wanita berkerudung itu dari belakang, kemudian berpindah posisi di depan wanita itu. Tak lama kemudian, seorang pria berbaju koko menghampiri mereka. Dari jauh, keluarga kecil itu tampak bercakap sejenak lalu beranjak dari tempat itu.

Tidak ada yang istimewa, tetapi entah mengapa kejadian yang baru saja dialami itu menimbulkan kesan yang sangat mendalam di benak Pras.

"Gadis kecil yang lucu dan menggemaskan," pikirnya.

Pras lalu meneruskan langkah, melihat-lihat kondisi daerah itu. Rencananya, ia ingin membangun sebuah sekolah untuk anak-anak dengan kualitas bagus, tetapi dengan biaya yang cukup terjangkau sehingga tidak memberatkan warga. Itu adalah cita-citanya dulu bersama dengan seseorang yang sangat berarti untuknya. Sekarang, ia ingin sekali merealisasikannya.

***

Sore itu angin bertiup semilir. Hujan baru saja berhenti membuat udara di sekitar terasa segar. Pras sedang menikmati secangkir teh hangat bersama ibunya di teras.

"Pras, Ibu ingin mengenalkanmu pada putri sahabat Ibu. Namanya Sasa. Selain cantik, ia juga terpelajar," kata Bu Iren mencoba membuka percakapan.

"Bu, tidak usah capek-capek mencarikan jodoh buat Pras. Ibu tahu sendiri, tanggung jawab di perusahaan semakin besar sekarang. Biarkan Pras fokus di sana dulu. Ibu tidak ingin perhatian Pras terpecah kemudian berakibat buruk pada perusahaan kita, kan?" sanggah Pras lembut.

Ini adalah kali ketujuh sang ibu berusaha mencarikan jodoh untuknya. Itu sebabnya, pemuda itu tidak mau gegabah. Ia tidak ingin menyakiti perasaan ibunya.

"Tapi sampai kapan, Pras? Usiamu sudah tidak muda lagi, bahkan, dua bulan lagi sudah genap tiga puluh tahun. Kamu betul-betul ingin menjadi bujang lapuk? Gak kasihan sama ibu dan ayah yang sudah tua ini?" cerocos Bu Iren kecewa.

"Bu, Ibu yang sabar, ya. Kalau sudah waktunya, jodoh itu pasti ada. Ibu tidak ingin Pras menikah karena terpaksa, kan? Pernikahan tanpa perasaan ikhlas itu hasilnya pasti tidak baik. Ibu tidak ingin, kan, pernikahan Pras nanti berakhir dengan mengenaskan?" jelas Pras panjang lebar.

"Mengenaskan? Mengenaskan apa? Alasan! Lagipula, mana boleh menyumpahi diri sendiri seperti itu? Itu sama saja dengan doa!" gerutu Bu Iren kesal.

Kalau sudah seperti itu, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu hanya bisa diam kesal. Entah apa yang ada di benak putra semata wayangnya itu, ia sendiri tidak tahu.

Terkadang, terbersit dalam benaknya, apa iya, yang dikatakan orang-orang itu benar, bahwasanya putranya yang ganteng itu tidak menyukai perempuan?

"Ah, tidak mungkin."

Bu Iren segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Ia tidak bisa membayangkan dan tidak akan pernah mau memikirkan. Jujur ia takut kalau-kalau yang melintas dalam benaknya itu akan jadi kenyataan.

Namun, melihat kegigihan Pras dan betapa kukuhnya anak itu menolak perjodohan, mau gak mau pikiran itu kadang mampir juga di otak tuanya. Mau tanya sendiri ke anak itu, rasanya tidak mungkin. Bisa-bisa pemuda ganteng itu marah atau tersinggung. Iren tidak ingin hal buruk itu terjadi.

***

Malam harinya Pras sangat gundah. Di depannya ada tumpukan berkas yang harus ia periksa dan tanda tangani. Tadi di kantor ada rapat mendadak, sehingga kerjaannya menumpuk dan terpaksa ia bawa pulang.

Namun, malam itu, ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Tak satu pun dari dokumen itu bisa ia periksa. Pikirannya masih dipenuhi dengan permintaan ibunya tadi.

Sungguh, Pras tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih. Ia paham, betapa mereka berdua sangat mengkhawatirkannya.

Siapa sih, yang tidak ingin berumah tangga? Siapa yang tidak ingin menghabiskan setiap detik waktunya dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya? Pras juga ingin, bahkan sangat menantikan saat-saat itu. Ia juga ingin bahagia, tetapi bukan dengan gadis yang dipilihkan ibunya. Ia ingin mencari dan menemukan sendiri jodohnya.

"Apa kau masih berharap berjumpa dengannya?" tanya Totok suatu ketika. Saat itu, mereka sedang berada di sebuah cafe.

"Kau sudah tahu jawabannya, kenapa masih bertanya?" jawab Pras santai.

"Tapi sampai kapan? Lihatlah, berapa usiamu sekarang? Bahkan, cindilku saja sudah mau tiga," gerutu Totok, sahabatnya.

"Sejak kapan kau berubah jadi emak-emak yang cerewet seperti ini?" dengus Pras tak kalah kesal.

"Tapi ini sudah lama sekali, Pras. Bagaimana kalau ia sudah menikah dan hidup bahagia? Penantian dan pencarianmu selama ini akan sia-sia." Totok masih mencoba untuk meyakinkan Pras.

"Kalau itu terjadi, aku akan menjadi orang yang sangat bahagia. Selama belum bisa memastikan dia baik-baik saja dan hidup bahagia, aku tidak akan pernah menikah," tegas Pras.

"Tapi, kenapa?"

"Karena itu adalah janjiku padanya. Janji yang tidak akan pernah bisa kulupakan begitu saja, karena ada banyak konsekuensi di dalamnya."

Totok terdiam, begitu juga dengan Pras. Dua pemuda itu hanyut dalam pikirannya masing-masing.

#Bersambung#

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun