Matahari sore menyusup lembut ke ruang tamu kecil milik Francisca, memantulkan cahaya hangat pada vas berisi mawar merah segar di atas meja. Bunga itu bukan sekadar hiasan---ia adalah sebuket doa dan harapan, sebuah pesan cinta dan penghormatan dari Francisca kepada Ibu Marsya, mentor yang telah membentuknya menjadi pribadi tangguh dan berintegritas.
Beberapa bulan sebelumnya, Francisca menerima kabar yang mengguncang: Ibu Marsya didiagnosis menderita kanker ginjal stadium lanjut. Berita itu menghantamnya seperti badai, menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan rapuhnya hidup. Namun, di tengah ketidakpastian, Francisca memilih untuk percaya. Ia percaya bahwa semangat dan kebijaksanaan Ibu Marsya akan menjadi cahaya dalam proses pemulihan---bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi banyak jiwa yang pernah disentuhnya.
Setiap minggu, Francisca mengirimkan mawar merah ke alamat Ibu Marsya. Ia tidak tahu apakah bunga-bunga itu sampai, atau apakah mentornya masih mengingatnya di tengah perjuangan melawan penyakit. Tapi ia tetap mengirimkannya, selalu disertai catatan kecil berisi doa, harapan, dan rasa terima kasih atas jejak kebaikan yang telah ditinggalkan Ibu Marsya dalam hidupnya.
Di luar itu, Francisca mulai menanam benih kebaikan di tempat lain. Ia menyisihkan sebagian gajinya untuk mendukung organisasi yang membantu pasien kanker. Ia menjadi sukarelawan dalam kegiatan komunitas yang mendukung kesehatan mental. Ia hadir sebagai pendengar yang tulus bagi teman-teman yang sedang berjuang. Semua itu ia lakukan bukan untuk pencitraan, melainkan sebagai bentuk kepemimpinan yang berakar pada empati dan harapan.
Di ruang tamu itu, Francisca sering duduk menatap bunga mawar dan merenung. "Harapan bukanlah kepastian,"Â pikirnya suatu sore, "tapi harapan adalah kekuatan yang membuat kita terus melangkah, terus memberi, dan terus percaya pada kemungkinan baik."
Hari-hari berlalu. Francisca terus mengirim bunga, terus berdoa, dan terus menebar kebaikan kecil. Ia tidak menuntut balasan. Ia hanya ingin Ibu Marsya tahu bahwa ia diingat, bahwa ia dicintai, dan bahwa warisan kebaikannya telah membentuk generasi baru yang lebih bijak dan peduli.
Suatu pagi, saat Francisca bersiap mengirim bunga mingguan, sebuah pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal:
"Francisca, terima kasih untuk bunga-bunga cantik dan doa-doa tulus. Saya baik-baik saja, masih berjuang dengan cinta dan harapan. ---Marsya."
Air mata bahagia mengalir di pipi Francisca. Ia tersenyum, memegang vas bunga yang siap dikirim---seperti ritual kecil yang menyimpan makna besar. Di dalam hatinya, ia tahu: harapan dan kebaikan bukanlah sekadar gestur, melainkan keputusan sadar untuk hadir, untuk bertahan, dan untuk mempercayai bahwa setiap tindakan tulus memiliki daya ubah.
Ia tidak tahu seberapa jauh pesan-pesan itu menjangkau, atau seberapa dalam bunga-bunga itu menyentuh hati. Tapi ia percaya, bahwa dalam dunia yang sering sunyi dari perhatian, kebaikan adalah bentuk kepemimpinan yang paling jujur. Ia percaya bahwa harapan, meski tak menjanjikan hasil, selalu membuka ruang bagi kemungkinan-kemungkinan indah untuk tumbuh.
Dan di ruang tamu kecil itu, di antara cahaya sore dan aroma mawar merah, Francisca menyadari satu hal: bahwa menjadi pemimpin bukan selalu tentang panggung besar, melainkan tentang keberanian untuk mencintai dalam diam, memberi tanpa syarat, dan tetap percaya meski dunia tak memberi jaminan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI