Mohon tunggu...
LeeNaGie
LeeNaGie Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Writer

Hobi menulis, membaca dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)

4 Juni 2022   18:48 Diperbarui: 4 Juni 2022   18:49 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ARINI

"Gimana sama teman kamu itu?" bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.

"Biasa aja," sahut gue.

Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!

"Masih ganggu kamu?"

Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.

"Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin," pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.

"Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah."

Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.

"Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?" Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.

"Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas," sahut Donny teriak dari kamar.

"Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu," tegur Mama begitu Donny keluar dari kamar.

"Tahun depan kamu sudah masuk sekolah yang sama dengan Ari loh. Kalau masih begini repot nanti, mana sekolahnya jauh. Apa mau masuk sekolah negeri yang dekat sini saja?" omel Mama sambil geleng-geleng kepala lihat kelakuan si Bontot.

Gue sama Uda David hanya senyam-senyum mendengar omelan Mama. Si Bontot memang suka keterlaluan sih. Tidur larut malam, jadinya pagi bangun kesiangan. Belum lagi kadang suka lupa bawa buku catatan dan PR.

"Iya, Ma. Nanti kalau udah sekolah di sana, aku tidur lebih awal deh," sanggahnya.

"Ya tidak bisa nanti-nanti. Harus mulai dari sekarang, Don. Lihat tuh Uni kamu. Dari dulu sampai sekarang sudah disiplin." Ternyata Mama masih belum berhenti.

"Donny cowok, Ma. Mana bisa disamakan dengan Uni?!" Donny masih berusaha membela diri.

"Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut?" Papa keluar dari kamar lengkap dengan seragam kantornya.

"Ini, Pa. Si Donny. Mau jadi apa nanti kalau tidak disiplin?" Mama mulai mengadu kepada suami tercinta.

Gue sama Uda David hanya bisa berbagi pandang sambil memberi kode. Sebaiknya kami segera berangkat daripada mendengar keributan pagi ini. Setelah mengangguk, gue mengambil tas dari samping kaki kursi lantas menyandangnya.

"Ari pergi dulu, Ma, Pa," pamit gue sambil bersalaman satu per satu.

Bukan bermaksud nggak sopan, tapi kalau Mama ngomel ceritanya bisa panjang dan melebar ke mana-mana. Bisa telat juga nanti.

"Hati-hati di jalan ya, Nak," sahut Mama.

"Pastikan Ari masuk ke sekolah, Vid," cetus Papa takut gue bolos.

Ya Tuhan, seumur-umur mana pernah gue bolos sekolah? Papa ada-ada saja. Mungkin dampak dari mendengarkan percakapan kemarin lusa, jadinya rada over protective deh sekarang.

"Iya tenang, Pa. Kalau main-main di luar pagar biar David jewer kupingnya," tanggap Uda cekikikan.

"Dah Donny," ucap gue melambaikan tangan ke arah si Bontot yang tersungut sekarang.

Kami bertiga lahir dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Gue dan Uda David hanya selisih tiga tahun, sementara si Bungsu lahir satu tahun tiga bulan setelah gue lahir. Yup, Mama kecolongan, langsung hamil lima bulan setelah melahirkan.

Sebenarnya kami bertiga cukup kompak, hanya saja Donny sering berpikir kalau Uda David pilih kasih dan lebih sayang sama gue. Wajar sih ya, karena bagaimanapun juga diri ini satu-satunya anak perempuan di keluarga. Jadi jangan heran jika penampilan gue jauh dari kesan feminin.

Setelah menaiki motor, kami langsung meninggalkan pekarangan rumah yang tidak besar ini.

"Jadi gimana? Masih digangguin nggak?" teriak Uda David agar bisa mengalahkan suara deru kendaraan.

"Udah nggak sih. Malah kemarin dia sempat bantuin Ari."

"Oya? Emang bantu kenapa?"

"Adalah something gitu, trus dia tolongin."

"Jangan-jangan dugaan Uda beneran, Ri. Dia suka sama kamu," goda Uda David terdengar jelas dari nada bicaranya.

Gue mencubit pinggangnya keras-keras hingga membuat Uda meringis.

"Kebiasaan kamu kayak gini dihilangin dong, Ri. Kasihan nanti kalau punya pacar atau suami dicubitin terus."

"Bodoh amat ya. Siapa yang mau pacaran?" cibir gue walau nggak kelihatan sama Uda.

"Emang mau jomlo sampai kapan? Nggak iri lihat teman-teman kamu pulang sama pacarnya?"

Gue hanya manyun di belakang mendengar perkataan Uda David.

"Udah ah, ganti topik. Masih kelas satu SMA, ngapain pacaran? Sendirinya juga masih jomlo. Weks!" ledek gue.

"Eh, beda dong ya. Uda sekarang fokus kuliah dulu, biar bisa dapat kerja yang benar. Cowok itu harus matang sebelum menikah, jadi pacaran nomor ke sekianlah. Nggak penting-penting banget sekarang."

Benar juga ya. Uda David bakalan jadi kepala rumah tangga, tentu butuh bekal yang banyak untuk menuju ke sana. Gue dukung 100% deh, biar dia settle dulu baru cari istri.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di depan gerbang. Seperti biasa gue melambaikan tangan dulu dan menunggu Uda pergi, setelah itu baru memasuki pekarangan sekolah. Kaki ini melangkah menuju pintu masuk gedung dengan senyuman terukir di wajah.

Hari ini gue berharap nggak ketemu sama geng Chibie dan juga si Kunyuk. Semoga Tuhan berbaik hati untuk nggak pertemukan dengan salah satu dari mereka. Apalagi hari ini bukan jadwal latihan basket, jadi bisa lebih tenang nggak ketemu cowok menyebalkan itu.

Embusan napas lega keluar di sela bibir ini ketika nggak lihat motor CBR biru si Kunyuk terparkir di sana. Dia belum datang, jadi gue harus segera naik ke atas sebelum lihat muka tengilnya. Geng Chibie juga nggak kelihatan, mungkin belum datang. Akhirnya gue sampai di kelas tanpa hambatan dan tanpa kehadiran geng yang meresahkan itu, sehingga bisa fokus belajar pagi ini.

***

"Sekian pelajar hari ini, sampai jumpa minggu depan," pungkas guru Biologi sebelum kelas berakhir.

Hari ini berjalan sesuai dengan harapan. Nggak ada geng Chibie dan nggak ada si Kunyuk yang mengganggu ketenangan. Gue juga bisa belajar seperti biasa, nggak kayak kemarin terpaksa bolos satu jam pelajaran gara-gara seragam basah akibat ulah geng sialan itu.

Desahan pelan keluar dari bibir ketika ingat jaket si Kunyuk masih di laundry dan baru bisa diambil besok. Gue terpaksa membawanya ke jasa pencucian, khawatir jaket mahalnya itu rusak kalau dicuci sendiri.

"Sebelum pulang ke toilet dulu yuk, Rin. Gue mau pipis," ajak Lova.

"Yuk! Sekalian gue mau benerin rambut juga. Kayaknya berantakan nih," sahut gue sambil menyandang tas.

Kami berdua melangkah menuju toilet perempuan. Biasanya jam pulang begini pada rame tuh di toilet lantai dua. Apalagi di lantai ini ada enam lokal, kelas satu semua.

"Gue masuk dulu ya. Tungguin loh, jangan pergi duluan," ujar Lova begitu melihat toilet kosong.

Gue memalingkan wajah melihat cermin yang ada di area wastafel, berniat membuka ikat rambut. Tiba-tiba dua orang cewek datang dan menyeret tubuh ini meninggalkan toilet.

"Lepasin gue!" sergah gue namun satu tangan lagi langsung menutup bibir ini rapat.

Banyak siswi yang ada di sini, tapi nggak ada satupun yang berani bantu gue lepas dari cewek-cewek badung ini. Mereka terus menyeret gue naik ke atas hingga tiba di area atap. Sialan, beraninya keroyokan.

Tubuh ini didorong hingga terjatuh di lantai. Salah satu di antara mereka tersenyum miring melihat gue. Dia yang paling cantik di antara anggota lain, mungkin ketuanya.

"Bisa nggak sih lo menjauh dari Brandon?" bisiknya membungkukkan tubuh sehingga wajahnya kini berada tepat di depan gue.

"Gue nggak pernah dekat-dekat sama dia," kilah gue jujur. Emang faktanya gitu, siapa juga yang mau dekat-dekat sama si Kunyuk?

Cewek gila itu malah tertawa keras.

"Nggak pernah dekat-dekat? Kemarin apa? Ngapain dia nolongin lo?" sergahnya menatap gue nyalang.

"Tanya aja sendiri kenapa tolongin gue? Gue nggak pernah minta bantuan dia kok," sahut gue dengan pandangan menantang.

"Besar juga nyali lo. Nggak takut sama kita-kita?" Cewek cantik psycho itu menempelkan telunjuk di kening, lantas mendorong kepala ini ke belakang.

"Emang kalian Tuhan bisa bikin gue takut?" tantang gue nggak gentar.

Lama-lama habis juga kesabaran, tapi .... kalau lima orang begini, mana bisa gue lawan?

"Kasih pelajaran aja, Pril," cetus salah satu di antara mereka yang paling nggak banget.

"Benar. Kunci aja di sini, biar tau rasa," sahut yang lain.

What? Mereka mau kunci gue di atas atap ini? Seketika air ludah menggenang di rongga mulut.

"Keren juga ide kalian. Biarin aja cewek nggak tahu diri ini bermalam di sini," tanggap leader geng Chibie ini sambil berdiri.

"Kalian mau ke mana?" teriak gue waktu melihat mereka berjalan mendekati pintu.

Takut juga kalau beneran ditinggal sendirian di sini. Mana semua sudah pulang, 'kan? Gue langsung berdiri dan berniat mendekat, namun dua orang di antara mereka maju ke depan, mencoba menghalangi jalan.

Cewek tadi mengarahkan telunjuk ke arah gue. "Mundur dua langkah!" serunya.

Gue bergeming nggak mau mundur.

Cewek itu malah mengerling sama dua orang anggotanya. Dalam hitungan detik, dua orang itu mendorong tubuh gue lagi hingga terduduk di lantai.

BRAAK!!

Pintu langsung ditutup setelah mereka menghilang.

Tubuh ini langsung gemetar membayangkan berada di atas atap sendirian hingga larut malam. Nggak! Gue masih bisa menelepon Lova agar bisa minta bantuan. Tapi apa dia masih ada di sekolah? Jangan-jangan dia berpikir gue sudah pulang duluan.

Gue langsung melepaskan tas dan mengambil ponsel dari saku depan dengan jantung berdebar kencang. Tangan ini gemetar saat memegangnya. Apes, gue lupa charge hp tadi pagi dan sekarang baterainya tinggal satu garis. Nggak bisa telepon juga karena sudah ada tanda peringatan ponsel akan mati.

Minta tolong sama siapa ini? Kalau kirim pesan apa dibaca dalam waktu cepat? gumam gue dalam hati.

Come on, Ri. Pikirkan satu orang yang bisa menolong lo dalam situasi ini, batin gue lagi.

Mata terpejam sesaat.

"Kalau lo diganggu lagi sama mereka, langsung call gue." Perkataan si Kunyuk melintas seketika di pikiran ini.

Gue langsung mencari kontaknya di grup basket. Tangan mulai nggak focus bergerak memencet tombol hp Blackberry ini. Embusan napas lega meluncur begitu menemukan kontak si Kunyuk.

Langsung saja dikirimkan pesan sebelum ponsel benar-benar mati.

Brandon H: SOS, gue dikurung Chibie di atap.

Akhirnya jari ini berhasil mengetik pesan dengan benar, setelah salah berkali-kali memencet keyboard 'qwerty'. Ponsel langsung mati tepat setelah gue menekan tombol kirim.

Perlahan gue berdiri dan beranjak ke dekat dinding samping pintu berada. Semoga saja si Kunyuk membaca pesan yang dikirimkan tadi kalau nggak diri ini bakal terjebak di atap semalaman.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun