Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ocean of Love - Terjebak Banjir dan Benci Soccer

25 April 2010   11:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[caption id="attachment_185937" align="alignleft" width="127" caption="Sumber:www.google.com"][/caption] Ada cerita menarik tentang ayahku. Ini mungkin terasa lebih mudah menceritakan bagaimana sebenarnya sosok ayahku yang mengaku sebagai pembaharu itu karena sekarang beliau telah berpulang ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa. Seorang temanku mengaku menyaksikan ayahku terjebak banjir di tengah sungai Jeram. Sungai itu tidak terlalu lebar hanya 25 meter. Dinamakan demikian karena sungai itu di wilayah yang masuk Desa Teffs memiliki jeram-jeram yang memiliki nama sesuai nama korban yang tenggelam disitu. Ada jeram Ahmed, Jeram bayi, dan jeram Samantha. Aku sendiri meski tergolong berani untuk urusan mandi di sungai namun hanya satu kali mandi di jeram. Aku mengatakan aku berani karena saat akan datang banjir aku justru mengambil pakaianku yang aku letakkan di batu yang ada di tengah sungai bukannya telanjang langsung lari ke pinggir sungai.Untungnya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup. Aku mandi di jeram karena mengikuti perempuan-perempuan kecil yaitu Sarah dan teman-temannya. Tidak biasa karena aku dan teman-temanku lebih sering mandi di tempat orang-orang mencuci. Tandanya adalah batu-batu disitu berwarna putih karena sering terkena busa sabun. Saat mandi dengan Sarah di jeram itu aku hanya berada di pinggiran jeram sambil membuat boneka dari tanah liat merah yang memang banyak disitu. Sarah dan teman-temannya naik ke atas tebing yang lumayan tinggi untuk ukuran anak seusia itu. Mereka satu per satu melompat, meliuk, berputar lalu menukik menghujam permukaan sungai. Padahal dalam bayanganku di dalam jeram itu ada ulat sebesar bantal yang akan menarik korban ke lubang tempat tinggalnya, menghisap darah korban, dan kalau sudah tidak bernyawa dibiarkan mengapung. Ngeri aku membayangkan itu. Langit cerah tidak ada tanda-tanda akan datang banjir, ayah mulai masuk ke sungai. Sungai ini memang memiliki sejarah mengerikan. Setiap siklus 20 tahun, menurut orang-orang tua selalu datang banjir bandang yang menelan banyak korban. Siklus 20 tahun itu yang rutin masih dimungkinkan datang banjir insidental. Beruntung antara Desa Teffs dengan sungai ada tebing , meski landai namun tebing itu mampu menghalangi luapan air. Setidaknya telah dua kali aku menyaksikan korban banjir dari desa hulu yang terseret sampai ke desaku. Posisi jenazah bermacam-macam,ada yang sangat mengenaskan, kemungkinan besar ia tengah tidur sambil menyusui anaknya. Ada yang seperti superman akan take off, ada juga jenazah yang seperti orang sedang membaca majalah. Malamnya aku tidak berani tidur dengan posisi seperti itu. [caption id="attachment_185945" align="alignright" width="225" caption="Kucing adalah binatang kesayangan Ayah. Foto:Dok.Pribadi"][/caption] Ayah tidak pernah lepas dari do'a. Pasti Ia telah berdo'a untuk keselamatannya sebelum masuk ke dalam sungai. Ketika telah sampai di tengah sungai, kerikil-kerikil sudah mulai bergerak karena dorongan air arus sungai yang semakin besar. Aku sudah pernah merasakan kerikil-kerikil berjalan itu tepatnya ketika aku berlari ke tengah sungai untuk mengambil pakaianku. Arus sungai makin besar dan air telah berwarna coklat. Tidak mungkin kembali ke pinggir sungai. Ayah dengan yakin menuju ke arah batu yang sangat besar. Batu itu selalu disana. Ayah naik ke atasnya. Air menggelegak dan banyak batu-batu yang bergeser. Para petani di seberang sungai yang melihat ayahku terkepung luapan air menjerit-jerit histeris. Dua orang ibu petani pingsan. Air sungai hanya mencapai setengah tinggi batu. Perlahan-lahan air surut. Ayah dan para petani masih di posisi semula menunggu air sedikit lebih jernih. Ketika keadaan sudah memungkinkan, tergopoh-gopoh para petani itu menyusul ayah dan membantunya turun dari atas batu besar. Semua diam hanya air mata yang bicara. Ayah masih terlindungi. Tidak terhenti aku bersyukur ketika mendengar cerita itu. Ada cerita lain lagi yang menunjukkan sikap ayah. Entah ini dalam konteks sebagai pembaharu atau justru kemunduran. Aku suka menonton siaran Piala Dunia. Memang rumah kami, tepatnya ayah melarang ada televisi di rumah. Itu sama tegasnya dengan larangan My Mom untuk tidak makan makanan yang mengandung MSG sampai lulus SMU. Untungnya ayah memiliki radio dan masyarakat saat itu masih sangat komunal. Sering menonton bersama sampai agak lupa dengan kegiatan ibadah. Nah, mengetahui kejadian itu ayah berkomentar, " Pemain bola itu kemungkinan besar kurang taat beragama..". Hatiku tertusuk, dibanding Josh atau Jonas aku yang paling excited menonton Piala Dunia. Dalam hati aku menjawab," Sok tahu !". Namun itu tidak sampai keluar dari mulutku. Berdosa aku kalau sampai mengucapkan itu. Ketika aku menceritakan itu pada Josh. Ia justru bertanya.... " Kamu nggak tahu, Ann ?" " Apa ?" " Ayah.." " Apa?" " Saat piala desa kemarin.." " Kenapa ?" " Melintas di tengah lapangan saat masih pertandingan.." " Hahh? Terus..?" " Pertandingan dihentikan beberapa menit.." " Oh...!" Aku menahan napas. " Iya, katanya dari pada berjalan melingkari lapangan lebih baik lewat jalan pintas. Yaa, ditengah lapangan itu...". Aku tidak bisa membayangkan kejadian itu. Aku menutup wajahku. Mengenai radio Ayah ini ada cerita menarik yaitu tentang siaran pertandingan bulu tangkis. Reporter radio pemerintah sangat detail melaporkannya termasuk berapa inch jarak dari garis ke shuttle cock yang jatuh.Pada suatu pagi ada teman perempuan sekelasku mengomentari kekalahan tim kesayangannya yang hanya ketinggalan 1 poin dari lawan. " Aghh, semua terjadi sangat cepat. Aku tidak tahu apakah itu memang benar-benar keluar atau wasit yang tidak fair". " Memang benar keluar, 3 inch dari garis". Sahutku spontan. " Kamu tahu ?" Tanyanya dengan wajah berseri-seri seakan-akan menemukan temannya yang hilang bertahun-tahun. " Emmm....." Aku tidak berkomentar. " Kamu menontonnya juga ?" Dia terus mengejar sambil tersenyum lebar. " Nggak....," Kataku sambil menggeleng cepat.Aku tidak mau mengaku memperhatikan perkembangan bulu tangkis di negeri ini karena di belakang Sekolah Dasar kami ada lapangan bulu tangkis milik sekolah kami. Rasanya lucu kalau aku mengaku sebagai penggemar tapi tidak mampu melakukan dengan baik. Di Sekolah Dasar aku lebih suka bola volley atau minimal berlari mengelilingi lapangan sepak bola selain kegiatan seni. " Oh, Ann.... Aku menemukanmu. Mengapa baru sekarang aku tahu kamu juga fanatik dengan bulu tangkis ?" Dia memelukku. Wah, memang sulit menjelaskan kenyataan kalau seseorang sudah a priori begitu. Di SMU aku tidak bersama dia. Sekarang ia telah menikah. Mudah-mudahan suaminya juga fanatik dengan bulu tangkis atau seganteng pemain bulu tangkis Cina, Lin Dan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun