Mohon tunggu...
Allesia Putri
Allesia Putri Mohon Tunggu... Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akuntansi Manajemen Berkelanjutan: Jalan Tengah antara Laba dan Tanggung Jawab Sosial

10 Juni 2025   18:30 Diperbarui: 13 Juni 2025   20:26 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Allesia Putri Wijaya Sutikno, Fernianda Wahyu Ramadanthy

Dosen Pembimbing: Dra. Cholis Hidayati, AK., M.B.A

Di tengah perubahan lanskap bisnis global yang semakin kompleks, tuntutan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan kian menguat. Perusahaan tidak lagi dinilai hanya dari seberapa besar laba yang mampu dicetak, melainkan juga dari bagaimana cara mereka meraih keuntungan tersebut. Publik, regulator, hingga investor kini menaruh perhatian yang serius pada praktik-praktik bisnis yang berkelanjutan. Dalam konteks inilah, akuntansi manajemen berkelanjutan menjadi kunci strategis yang dapat menjembatani antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai keberlanjutan sosial serta lingkungan.

Akuntansi manajemen berkelanjutan atau sustainable management accounting merupakan pendekatan dalam pengelolaan informasi keuangan yang tidak hanya menitikberatkan pada efisiensi biaya dan profitabilitas, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis dari setiap keputusan bisnis. Dalam sistem ini, perusahaan tidak cukup hanya bertanya “berapa untungnya?”, tetapi juga harus mempertanyakan “apa dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan?”. Pendekatan ini pada dasarnya memperluas peran tradisional akuntansi yang selama ini lebih fokus pada laporan keuangan, menuju pengambilan keputusan strategis yang bertanggung jawab.

Sebagai contoh konkret, ketika perusahaan memutuskan untuk mengganti bahan baku dengan opsi yang lebih ramah lingkungan, meskipun biaya awal lebih tinggi, pendekatan akuntansi berkelanjutan akan menghitung potensi penghematan jangka panjang dari sisi pengurangan limbah, peningkatan efisiensi energi, serta manfaat reputasi perusahaan yang meningkat di mata konsumen dan investor. Dengan demikian, akuntansi berkelanjutan bukan sekadar alat pelaporan, melainkan bagian dari strategi bisnis yang proaktif dan visioner.

Paradigma ini muncul seiring dengan berkembangnya prinsip triple bottom linepeople, planet, profit—yang menempatkan aspek sosial dan lingkungan sejajar dengan keuntungan finansial. Dunia bisnis mulai menyadari bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar tanggung jawab moral, tetapi sebuah kebutuhan strategis untuk mempertahankan eksistensi dan daya saing jangka panjang. Perusahaan yang mengabaikan isu-isu keberlanjutan berisiko kehilangan kepercayaan publik, terkena sanksi regulasi, hingga mengalami kerugian akibat bencana lingkungan atau konflik sosial.

Sayangnya, penerapan akuntansi berkelanjutan masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Minimnya kesadaran manajerial, terbatasnya kapasitas SDM akuntansi yang memahami prinsip keberlanjutan, serta belum meratanya regulasi yang mewajibkan pelaporan non-keuangan menjadi hambatan tersendiri. Di sisi lain, pendekatan ini menuntut data yang lebih luas dan kompleks, seperti jejak karbon, tingkat kesejahteraan pekerja, atau dampak program CSR terhadap masyarakat—data yang belum tentu tersedia atau terukur dengan baik.

Namun, peluangnya jauh lebih besar. Dengan semakin meningkatnya tekanan global terhadap praktik ESG (Environmental, Social, Governance), investor dan lembaga keuangan mulai mengarahkan dananya pada perusahaan yang memiliki jejak keberlanjutan yang baik. Dalam jangka panjang, akuntansi manajemen berkelanjutan justru dapat meningkatkan efisiensi operasional, membangun loyalitas konsumen, dan memperkuat daya tahan bisnis terhadap krisis.

 Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan tantangan sosial yang besar, justru memiliki urgensi yang tinggi untuk mengadopsi akuntansi berkelanjutan. Jika tidak, kita hanya akan terus menambang laba dari kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang kian menganga. Dunia akademik dan profesi akuntansi harus lebih progresif dalam merespons tantangan ini, mulai dari kurikulum pendidikan tinggi, pelatihan profesional, hingga integrasi standar keberlanjutan dalam audit dan pelaporan.

Otoritas keuangan seperti OJK juga perlu memperkuat kebijakan pelaporan keberlanjutan dan memberikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan praktik akuntansi ramah lingkungan dan sosial. Dengan begitu, kita dapat menciptakan ekosistem bisnis yang sehat, berintegritas, dan tahan banting terhadap gejolak global. Akuntansi manajemen berkelanjutan bukanlah utopia yang hanya cocok bagi perusahaan multinasional atau industri besar. UMKM sekalipun dapat memulainya, misalnya dengan mengelola limbah secara efisien, memastikan kesejahteraan pekerja, atau menggunakan bahan baku lokal yang berkelanjutan. Yang dibutuhkan adalah kemauan dan dukungan kebijakan yang tepat.

Di masa depan, laporan keuangan tidak akan cukup untuk menggambarkan kinerja suatu perusahaan secara utuh. Dunia membutuhkan akuntansi yang tidak hanya menghitung angka, tetapi juga menghitung dampak. Dalam hal ini, akuntansi manajemen berkelanjutan adalah jalan tengah yang elegan—mengintegrasikan logika ekonomi dengan etika sosial dan kepedulian ekologis. Karena pada akhirnya, keberhasilan bisnis yang sejati adalah ketika perusahaan tidak hanya tumbuh, tetapi juga turut menumbuhkan kehidupan di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun