Mohon tunggu...
Darwis Kadir
Darwis Kadir Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya ingin bercerita tentang sebuah kisah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Pabbarasanji sampai Politik Kue

16 Maret 2018   12:48 Diperbarui: 17 Maret 2018   15:55 1620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: sajiansedap.grid.id

Tahun 1990-an jumlah jamaah haji di kampung kami meningkat. Setiap jamaah haji itu memiliki tradisi ritual barsanji setiap malam jumat. Jadi hari Kamis para keluarganya sibuk menyiapkan kue-kue untuk acara sebentar malam. Tujuannya untuk mendoakan keselamatan para jamaah yang melaksanakan ritual haji di Tanah Cuci Makkah. Itu berlangsung sampai jamaah tadi kembali ke toddang angin, atau tanah air.

Dengan maraknya acara barasanji itu membuat para orang tua pintar barasanji harus dengan rela mengunjungi panggilan para keluarga jamaah tadi. Diurut mulai terdekat sampai terjauh. Rata-rata mereka yang fasih baca barsanji sudah sepuh. Karna sudah capek naik tangga maka hanya sebagian yang meneruskan sampai rumah terakhir.

Maka oleh salah satu guru mengaji saat itu berinisiatif mengajarkan anak-anak laki-laki untuk belajar barasanji. Anak-anak ini juga yang sudah khatam Al-quran. 

Setelah anak-anak dianggap mampu, mereka pun diikutkan dalam acara yang menggelar barasanji. Anak-anak ini pun senang, mereka dapat menikmati aneka jenis kue setiap malam Jumat. Terkadang mereka membawa pulang kue-kue dan songkolo sebagai oleh-oleh.

Mereka pun mulai dikenal sebagai kelompok barasanji yang akan menggantikan para tetua itu kelak. Tak ada yang mencela bahkan mendapat apresiasi dari masyarakat kampung. Mereka saling membutuhkan.

Hingga persaingan itu mulai muncul. Menimbulkan rasa cemburu antar golongan tua dan golongan muda. Ha.ha.ha .... seperti kronologi peristiwa Proklamasi dan Rengasdengklok saja.

Pemicunya pun sepele saja. Berawal dari anak-anak yang iseng menyantap kue yang lembek-lembek semisal barongko, dan agar-agar saat itu.

Mereka kompak menghabiskan makanan lembek duluan dan menyisakan yang keras. Untuk kue keras itu disantap kemudian. Dan para orang tua yang giginya mulai kalah hanya dapat pasrah mendapati kenyataan ini. Dasar anak-anak, sepertinya mereka ingin mengakhiri dominasi generasi tua dalam acara barsanji. Secara halus lewat politik kue.

Golongan tua semakin gerah dengan invasi politik kue golongan muda. Muncullah keluhan dari mereka yang intinya bahwa kehadiran mereka hanyalah sekadar menghabiskan kue-kue yang empuk dan menyisakan kue keras bagi gigi para sesepuh itu.

Kue kemudian menjadi komoditi politik pertentangan. Bagai api dalam sekam itu terus berlanjut. Pada puncaknya akan ada selalu pemenang. Berbekalkan pengalaman dan kharisma para tetua meredupkan semangat golongan muda. Satu per satu anggota kelompok golongan muda mulai menghilang satu per satu seiring selintingan berita bahwa mereka hanyalah kelompok penikmat kue saja.

Kemudian harapan untuk menumbuhkan generasi barasanji di kampung pun pupus. Mereka membubarkan diri. Tinggallah para sesepuh itu kembali menikmati kue-kue lembek pada momen barasanji. Tak heran kalau sekarang yang kelihatan dalam acara barasanji hanya beberapa orang dan rata-rata mereka sudah beruban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun