Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Memasuki Ramadan: Dari Nyadran sampai Rumah Cahaya

9 Maret 2024   08:30 Diperbarui: 9 Maret 2024   08:33 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Nyadran di Kebonrejo/Foto: Dunik Prabowo

Banyaknya budaya dan tradisi di Indonesia mencerminkan kekayaan dan keragaman yang memperkaya kehidupan masyarakat, termasuk tradisi menyambut datangnya bulan penuh berkah dan pengampunan, bulan Ramadan.

Di Semarang, misalnya, ada tradisi  gebyuran Bustaman yang konon sudah ada sejak tiga ratus tahun lalu (Marshanda/Kompas.com). 

Dalam tradisi tersebut masyarakat mencoret-coret wajah mereka dengan berbagai warna, melambangkan ragam  dosa manusia yang kemudian dibersihkan dengan ritual perang air. 

Tradisi ini serupa dengan tradisi padusan di Yogyakarta-dari kata adus atau mandi-dilakukan di sungai atau sumber mata air dengan maksud menyucikan diri, sehingga saat ramadan  umat muslim dapat menjalankan ibadah dalam keadaan suci lahir  batin.

Di samping itu, masyakat Jawa mengenal dan melakukan tradisi nyadran  sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Makna nyadran mencakup rasa syukur, penghormatan, dan pemeliharaan hubungan spiritual dengan nenek moyang.

Tradisi Nyadran di Dumpoh/Foto: Dunik Prabowo
Tradisi Nyadran di Dumpoh/Foto: Dunik Prabowo
Masyarakat di Pedukuhan Dumpoh, Kebonrejo, Temon, Kulonprogo, mengadakan acara nyadran (3/3/2024) di jalan masuk makan Gunung Joyo dengan berdoa bersama dan membagikan apem. Sebelum pelaksanaan nyadran, dilakukan gotong royong membersihkan kompleks makam.

Masyarakat yang melakukan tradisi nyadran percaya, membersihkan makam merupakan simbol  pembersihan diri memasuki ramadan, dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur.

Sewaktu kanak-kanak, menjelang ramadan pada tahun 1970-an, tradisi yang dilakukan masyarakat Kuala Tungkal, Jambi, adalah "bersih-bersih rumah".  

Wilayah pasang surut dengan dominasi masyarakat Islam itu, seakan-akan mencari uang hanya akan "dihabiskan" demi perayaan ramadan (idul fitri). 

Hampir setiap rumah, sebelum memasuki ramadan, memperbarui penampilan, entah memperbaiki pagar, mengecat ulang dinding, membeli perabot baru,  mencuci lantai rumah biar terlihat bersih, atau mengganti atap baru. 

Perlu dicatat bahwa rumah-rumah di Kuala Tungkal saat itu terbuat dari kayu dan papan, beratap daun nipah. Tanaman nipah hanya bisa tumbuh di perbatasan antara air laut dengan air payau,  banyak tumbuh di Tungkal Ilir dan Sabak.

Atap nipah/Foto: Raudhah Aje
Atap nipah/Foto: Raudhah Aje
Secara sederhana,   status sosial masyarakat dapat ditandai dengan rumah loteng (tingkat) dan atapnya seng atau bukan. Atap seng digunakan bangunan milik instansi pemerintah, pabrik, dan rumah orang berada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun