Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kecerdasan Orang Baduy Dibalik Diplomasi “Teu Wasa”-nya

21 Agustus 2016   00:18 Diperbarui: 21 Agustus 2016   09:31 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tengah kepolosan wajah anak-anak Baduy Dalam (Foto: Dokpri)

Sebuah kehormatan bagi saya mendapat undangan dari PT Telkom Indonesia Tbk, guna menghadiri peluncuran program “Kampung UKM Baduy Goes to Digital” di Ciboleger, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (19/8) kemarin.

Selaku penggiat UKM, saya diundang dalam kapasitas menjadi saksi kesuksesan Telkom merealisasikan program membangun 300 kampung digital. Dan, Ciboleger adalah kampung ke-300 dari sekian banyak kampung digital yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dipilihnya Ciboleger sebagai tonggak Kampung UKM Digital ke 300, karena kampung ini istimewa, demikian sambutan Direktur Enterprise & Business Service Telkom Muhammad Awaluddin. Ciboleger mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda, yakni masyarakat modern dan suku Baduy.

Foto bersama Direksi PT Telkom Indonesia Tbk dan Tokoh Masyarakat Baduy (Sumber foto: Dokpri)
Foto bersama Direksi PT Telkom Indonesia Tbk dan Tokoh Masyarakat Baduy (Sumber foto: Dokpri)
Suku Baduy terkenal dengan kearifan lokalnya, dengan program ini, Telkom bercita-cita agar semakin terbukanya Baduy ke dunia Global. Kearifan Baduy akan semakin dikenal dan menjadi tujuan wisata, atau untuk pembelajaran kehidupan bagaimana masyarakat Baduy tetap teguh menjaga kearifan lokal di lingkungan kehidupannya di era global ini. Kebetulan saya memang sudah lama sekali ingin mempelajari langsung tentang keunikan suku ini. Sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui, batinku.

Bersama Tokoh Baduy Dalam, Ayah Mursyid (Sumber foto: Dokpri)
Bersama Tokoh Baduy Dalam, Ayah Mursyid (Sumber foto: Dokpri)
Perjalanan menuju Ciboleger kami tempuh hampir tiga jam dari kota tempat saya tinggal. Beruntung saya ditemani seorang sahabat yang tahu betul jalan menuju kesana. Bahkan sahabat saya ini paham betul tentang kebudayaan masyarakat Baduy. Lumayan, ada driver sekaligus merangkap guide. “Nanti Bu Laura disana akan saya perkenalkan dengan orang Baduy yang tau persis tentang Baduy,” ujarnya.

Selesai acara, sahabat saya itu memenuhi janjinya mempertemukan saya dengan orang yang dimaksud. “Beliau dulu Baduy dalam dan punya kedudukan tinggi di dalam suku. Hanya saja karena melanggar adat, dia dihukum harus keluar dan menjadi Baduy Luar,” jelas sahabat saya.

Untuk sampai ke rumahnya, kami harus berjalan kaki sejauh hampir 1 kilometer karena transportasi modern tidak diperbolehkan masuk. Sungguh sebuah perjuangan yang melelahkan. Hidup memang berat, tapi demi sebuah ilmu pengetahuan apa artinya berjalan-kaki sepanjang 1 kilometer. Yang jelas, kaki pada lecet-lecet dan pegel semua. 

“Oh ya, jangan sekali-kali memanggil mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Rawayan. Mereka gak suka. Panggil saja Urang Kanekes ya,” sahabat saya mengingatkan. Lama-lama bawel juga nih guide. Mirip ibu-ibu deh...

Orang yang kami temui itu bernama Pak Sakmin. Umurnya sekitar 70-an. Seperti kebanyakan Orang Baduy yang saya temui di acara tadi, Pak Sakmin lebih banyak diam tak banyak omong. Ada sebuah sikap dalam tradisi budaya Orang Baduy, yakni menutup diri atau sengaja tutup mulut apabila ditanya. Kalau pun harus menjawab pertanyaan mereka biasanya hanya mengatakan: “teu wasa” (tidak memiliki kuasa). Tapi berkat “kepintaran” si Guide lah yang membuat beliau mau bicara tentang Baduy.

Menurut Pak Sakmin, Orang Baduy adalah orang Sunda yang sesungguhnya. Dalam keyakinan Sunda Wiwitan tertanam sebuah pemikiran bahwa mereka Orang Sunda yang sesungguhnya, dibandingkan dengan Orang Sunda di luar Kanekes yang telah beralih menjadi penganut Islam. Dalam mitologi Kanekes, di Bumi Kanekes lah awal kelahiran mandala Sunda.

Sesuai strata sosialnya, Baduy Dalam (yang lebih suka disebut dengan “Urang Kanekes”) mendiami tiga kampung yang disebut Telu Tangtu (tiga kepastian),  yaitu Cibeo sebagai Tangtu Parahiyang; Cikartawana sebagai Tangtu Kadu Kujang; dan Cikeusik sebagai Tangtu Pada Ageung. Telu Tangtu inilah yang menjadi sistem sosial kemasyarakatan Urang Kanekes. Penduduk Tangtu adalah kelompok elite sesuai kasta dalam strata sosial mereka. Dari kalangan mereka pula diambil para pejabat inti pemerintahan tradisional.

Di luar Telu Tangtu tersebut terdapat kampung Panamping (Baduy Luar). Kata panamping berasal dari tamping yang menurut Urang Kanekes artinya “buang” (panamping=pembuangan). Tempat bagi UrangTangtu yang dikeluarkan karena melanggar adat. Akan tetapi di Panamping juga banyak menetap keturunan Urang Tangtu, bahkan banyak kerabat keluarga dari Pu’un (kepala suku) tinggal disini. Hubungan kekerabatan diantara mereka tidak terganggu oleh status strata sosial, hanya saja kerabat di Panamping kerap “tahu diri” membatasi pergaulannya dengan kerabat yang tinggal di Kampung Tangtu.

Ada ciri yang membedakan pada pakaian Urang Kanekes Dalam dengan Kanekes Luar, khususnya kaum laki-lakinya. Kanekes Dalam selalu mengenakan baju dan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan Kanekes Luar mengenakan ikat kepala bermotif batik dengan warna dasar biru. Baju yang dikenakannya pun berwarna hitam.

Selain berladang dan bercocoktanam, kegiatan sehari-hari Urang Kanekes adalah menenun dan berdagang. Mereka membuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang dianyam. Kemudian hasil kerajinan tangan dan tenunan dijual di wilayah Kanekes Luar dan Kanekes Dalam. Terkadang mereka untuk mencari sesuatu harus pergi keluar Desa Kanekes. Mereka biasa naik turun gunung berjalan tanpa alas kaki. Perjalanan sejauh apapun menurut adat mereka harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Luas areal hutan atau tanah adat masyarakat Baduy hingga kini seluas 5136,8 hektare. Areal hutan dan lahan tersebut didiami oleh hampir kurang lebih 12000-an penduduk , terdiri Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baik Baduy dalam maupun Luar di dalam aktifitas kehidupannya berpedoman kepada Pikukuh (rukun ajaran agama Sunda Wiwitan), yakni:  ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka. Ajaran itu teguh dilaksanakan dan dipatuhi dengan dipimpin seorang Pu’un (kepala suku). Orang Baduy mempercayai bahwa Pu’un adalah keturunan dewa mereka.

Ada yang menarik dari penuturan Pak Sakmin mengenai Pu’un ini. Tak ada seorangpun bisa bertemu dengan Pu’un, bahkan kalangan Baduy Dalam sendiri pun tak gampang bertemu dengan Pu’un. Dari sekian presiden yang pernah menjabat di negeri ini, tak seorang pun berhasil menemui sang Pu’un. Pu’un selalu menolak bertemu presiden atau siapapun pejabat daerah yang sedang berkuasa, dengan alasan “teu wasa.” Biasanya Pu’un hanya mengutus perwakilannya saja. Konon, ini merupakan sebuah strategi diplomatik yang cerdas dibalik kalimat “teu wasa”, bahwa mereka sebenarnya hanya mengakui satu pemerintahan, yakni pemerintahan Urang Kanekes.  

Orang Baduy sangat mematuhi Pu’un dan ajaran adatnya. Apabila mereka melanggar larangan, mereka akan kena tulah (kuwalat) dan dihukum. Hukuman terberat adalah diusir dari strata sosial Baduy Dalam menjadi Baduy Luar. Saya penasaran dengan Pak Sakmin ini, kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga harus menerima hukuman menjadi Baduy Luar.

Sepulangnya dari rumah Pak Sakmin, saya mencoba menanyakan ini pada sahabat saya. “Pak Sakmin dulunya kerabat terdekat salah seorang Pu’un. Dia menduduki jabatan tinggi di dalam suku Baduy. Sampai kemudian dia menolak untuk dijodohkan dengan seorang perempuan oleh Pu’un. Dia memilih menikahi perempuan yang ia cintai yang berasal dari luar, walaupun untuk itu dia tahu akan mendapatkan hukuman pembuangan dari Pu’un,” demikian penjelasannya.

Oh, so sweet-nya kisah cinta Pak Sakmin. Bak kisah cinta Siti Nurbaya dalam novel saja.

Kami pun meninggalkan perkampungan Orang Baduy dengan sejuta makna yang tercerahkan. Makna dari sebuah kesederhanaan hidup mempertahankan nilai-nilai prinsip. Dengan atau tanpa perangkat modern, Baduy tetaplah Baduy, kelompok masyarakat yang setia mempertahankan keluhuran budaya mereka.

Setiap kita mendengar kata Baduy, kita akan teringat tentang keteguhan dalam kesetiaan. Setiap kita mendengar kata Baduy, kita akan teringat tentang kesunyian yang menyatu dengan alam. Kesunyian sering kali menjadi rahim yang melahirkan berjuta inspirasi kehidupan.  

“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu enya ku dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun.” (panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung, yang benar dilakukan, yang tidak benar jangan dilakukan).

Terima kasih Urang Kanekes, terima kasih Pak Sakmin, terima kasih Telkom. Dan untuk sahabat yang telah setia menjadi driver sekaligus guide, hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun