Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kecerdasan Orang Baduy Dibalik Diplomasi “Teu Wasa”-nya

21 Agustus 2016   00:18 Diperbarui: 21 Agustus 2016   09:31 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tengah kepolosan wajah anak-anak Baduy Dalam (Foto: Dokpri)

Di luar Telu Tangtu tersebut terdapat kampung Panamping (Baduy Luar). Kata panamping berasal dari tamping yang menurut Urang Kanekes artinya “buang” (panamping=pembuangan). Tempat bagi UrangTangtu yang dikeluarkan karena melanggar adat. Akan tetapi di Panamping juga banyak menetap keturunan Urang Tangtu, bahkan banyak kerabat keluarga dari Pu’un (kepala suku) tinggal disini. Hubungan kekerabatan diantara mereka tidak terganggu oleh status strata sosial, hanya saja kerabat di Panamping kerap “tahu diri” membatasi pergaulannya dengan kerabat yang tinggal di Kampung Tangtu.

Ada ciri yang membedakan pada pakaian Urang Kanekes Dalam dengan Kanekes Luar, khususnya kaum laki-lakinya. Kanekes Dalam selalu mengenakan baju dan ikat kepala berwarna putih. Sedangkan Kanekes Luar mengenakan ikat kepala bermotif batik dengan warna dasar biru. Baju yang dikenakannya pun berwarna hitam.

Selain berladang dan bercocoktanam, kegiatan sehari-hari Urang Kanekes adalah menenun dan berdagang. Mereka membuat kerajinan tangan seperti tas koja yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang dianyam. Kemudian hasil kerajinan tangan dan tenunan dijual di wilayah Kanekes Luar dan Kanekes Dalam. Terkadang mereka untuk mencari sesuatu harus pergi keluar Desa Kanekes. Mereka biasa naik turun gunung berjalan tanpa alas kaki. Perjalanan sejauh apapun menurut adat mereka harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Luas areal hutan atau tanah adat masyarakat Baduy hingga kini seluas 5136,8 hektare. Areal hutan dan lahan tersebut didiami oleh hampir kurang lebih 12000-an penduduk , terdiri Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baik Baduy dalam maupun Luar di dalam aktifitas kehidupannya berpedoman kepada Pikukuh (rukun ajaran agama Sunda Wiwitan), yakni:  ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka. Ajaran itu teguh dilaksanakan dan dipatuhi dengan dipimpin seorang Pu’un (kepala suku). Orang Baduy mempercayai bahwa Pu’un adalah keturunan dewa mereka.

Ada yang menarik dari penuturan Pak Sakmin mengenai Pu’un ini. Tak ada seorangpun bisa bertemu dengan Pu’un, bahkan kalangan Baduy Dalam sendiri pun tak gampang bertemu dengan Pu’un. Dari sekian presiden yang pernah menjabat di negeri ini, tak seorang pun berhasil menemui sang Pu’un. Pu’un selalu menolak bertemu presiden atau siapapun pejabat daerah yang sedang berkuasa, dengan alasan “teu wasa.” Biasanya Pu’un hanya mengutus perwakilannya saja. Konon, ini merupakan sebuah strategi diplomatik yang cerdas dibalik kalimat “teu wasa”, bahwa mereka sebenarnya hanya mengakui satu pemerintahan, yakni pemerintahan Urang Kanekes.  

Orang Baduy sangat mematuhi Pu’un dan ajaran adatnya. Apabila mereka melanggar larangan, mereka akan kena tulah (kuwalat) dan dihukum. Hukuman terberat adalah diusir dari strata sosial Baduy Dalam menjadi Baduy Luar. Saya penasaran dengan Pak Sakmin ini, kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga harus menerima hukuman menjadi Baduy Luar.

Sepulangnya dari rumah Pak Sakmin, saya mencoba menanyakan ini pada sahabat saya. “Pak Sakmin dulunya kerabat terdekat salah seorang Pu’un. Dia menduduki jabatan tinggi di dalam suku Baduy. Sampai kemudian dia menolak untuk dijodohkan dengan seorang perempuan oleh Pu’un. Dia memilih menikahi perempuan yang ia cintai yang berasal dari luar, walaupun untuk itu dia tahu akan mendapatkan hukuman pembuangan dari Pu’un,” demikian penjelasannya.

Oh, so sweet-nya kisah cinta Pak Sakmin. Bak kisah cinta Siti Nurbaya dalam novel saja.

Kami pun meninggalkan perkampungan Orang Baduy dengan sejuta makna yang tercerahkan. Makna dari sebuah kesederhanaan hidup mempertahankan nilai-nilai prinsip. Dengan atau tanpa perangkat modern, Baduy tetaplah Baduy, kelompok masyarakat yang setia mempertahankan keluhuran budaya mereka.

Setiap kita mendengar kata Baduy, kita akan teringat tentang keteguhan dalam kesetiaan. Setiap kita mendengar kata Baduy, kita akan teringat tentang kesunyian yang menyatu dengan alam. Kesunyian sering kali menjadi rahim yang melahirkan berjuta inspirasi kehidupan.  

“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu enya ku dienyakeun, nu henteu kudu dihenteukeun.” (panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung, yang benar dilakukan, yang tidak benar jangan dilakukan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun