Mohon tunggu...
Latif Nur Janah
Latif Nur Janah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis dan membaca

Banyak makan, banyak tidur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Haji Barus

22 April 2020   11:02 Diperbarui: 22 April 2020   11:11 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

/1/

Haji Barus memandang langit yang perlahan jatuh. Seekor burung kacer nampak begitu kecil, lantas menjelma satu titik ditelan rona senja yang semakin menguning. Haji Barus duduk di bale-bale rumahnya dengan gelisah. Dua jam yang lalu, Jumadil, anaknya, baru saja meneleponnya.

Haji barus tertegun. Ia pandangi beduk yang teronggok di emper musala. Beberapa detik lamanya, ada sedih yang riuh merayapi hatinya. Ia rindu pada senja yang bertabur suara anak-anak di musala. Ia rindu dengan azan yang lantang berbunyi menjemput malam. Begitu juga kedatangan Jumadil.

Jumadil memang telah menetap di Jakarta. Sudah lebih dari lima belas tahun ia tinggal di sana, bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Haji Barus benar-benar bangga. Betapa anaknya telah menggenggam karir yang mapan dan mentereng. Ia tersenyum, hambar. Dalam kepalanya, teringat Jumadil kecil yang nakal. Jumadil sering ikut ia ke ladang. Namun bukan membantunya, melainkan untuk mengejar burung-burung kacer yang ada di sepanjang pematang.

Tahun ini, Jumadil tak akan pulang. Seperti aturan yang sudah ditetapkan, setiap orang di Jakarta tak dibolehkan pulang ke kampung halaman. Apalagi jika bukan karena covid-19. Mata Haji Barus nanar. Ada yang berlesatan di dadanya, terasa sesak dan ngilu.

"Tahun depan kalau saya pulang, Pak." ucap Jumadil setahun yang lalu.


Ketika itu, mereka tengah duduk bersama di bale-bale sehabis berbuka. Angin dari arah ladang yang bertiup membawa aroma ilalang sehabis ditebang.

"Semua biaya akan saya tanggung. Bapak tinggal mengurusnya."

"Baiklah. Bapak akan cari tukang terbaik di kampung ini."

Setahun hampir saja berlalu. Sejak dua bulan setelah obrolan itu mengalir, Haji Barus lantas mencari tukang terbaik di kampung. Ia tak mau pembangunan musala dengan tenaga abal-abal. Oleh karenanya, kepada seorang tukang di kampungnya, Haji Barus akan membayar dengan upah di atas wajar.

"Tak usah berlebihan, Pak."

"Biar saja. Biar orang-orang senang dengan musala baru."

"Yang penting kan jamaahnya, Pak."

"Kalau musalanya mentereng kan lebih nyaman."

"Ya sudah kalau Bapak maunya begitu." Jumadil menutup telepon.

Lewat telepon itu, Jumadil juga mengabarkan tak akan pulang. Itu artinya, pembangunan musala tak bisa dilakukan. Haji Barus bisa saja memulainya tanpa kehadirannya, namun karena situasi saat ini yang kurang pas, ia tak mau. Lagipula, uang pembangunan itu sepenuhnya dari Jumadil. Haji Barus tak enak hati melewatkannya.

Meski begitu, kepada setiap orang yang ditemuinya, Haji Barus memang telah mengabarkan pembangunan itu. Beberapa orang bahkan telah menyumbangkan dana.

"Itulah anakku. Aku bangga padanya." kata Haji Barus pada semua orang. Beberapa memang memuji, namun tak sedikit yang mencaci di belakang. Sebagai seorang haji yang dituakan di kampung, orang-orang tentu segan padanya.

/2/

Pembangunan musala menang sudah kubicarakan dengan Bapak setahun yang lalu. Aku tak tahu mengapa Bapak begitu bersemangat dengan pembangunan itu, karena sebetulnya, musala memang layak diperbaiki. Beberapa atap di pojokan memang sering bocor. Belum lagi, lantainya yang retak dan kontur tanahnya naik turun. Saat pulang kampung, kulihat anak-anak kecil bermain dengan pasir yang menyembul dari retakan lantai.

Akan kuusahakan meminjam di bank karena kebutuhanku banyak sekali akhir-akhir ini. Jika covid-19 tak sampai Indonesia, tentu saja semua uang pembangunan sudah kukirimkan pada Bapak. Namun, setengah uang itu, sudah kugunakan untuk keperluanku selama WFH. Lama-lama di rumah, membuat kepalaku pusing juga. Apalagi, istriku yang sehari-hari berdagang makanan di kantin sekolah, kini libur.

Aku sudah mengubur dalam-dalam keinginanku untuk pulang. Sedih tentu saja, sebab aku telah berjanji akan memulai pembangunan musala Bapak. Aku tak menampik, meskipun setiap tahun selalu pulang kampung, rasa rindu dengan semua yang ada di sana terasa menancap-nancap.  

Dua hari yang lalu, istriku menangis membaca surat dari perusahaanku. Ada pengurangan beberapa karyawan karena pandemi yang terjadi saat ini. Aku salah satunya. Tentu saja aku mengerti kegelisahannya. Kami harus bertahan dengan keuangan yang pas-pasan. Jatah THR yang telah kualokasikan untuk membayar utang bank, telah raib sebelum terwujud.

Dua jam yang lalu, aku menelepon Bapak. Kukatakan padanya aku tak akan pulang karena aturan yang telah ditetapkan.

"Pak," kataku terbata.

"Ya,"

Aku hendak mengatakan sesuatu, namun kalimatku seperti tertahan di tenggorokan.

"Ayo, ngomong saja, Mas. Bapak pasti maklum."

Dengung telepon masih terdengar.

"Pak,"

"Ya, ada apa?"

"Uang yang aku kirimkan, boleh kupinjam dulu? Kami sedang kesulitan di sini, aku harap Bapak bisa memaklumi."

"Ya," suara Bapak lirih terdengar. Kututup telepon dengan mata sembap.

Aku terduduk di teras rumah, memandang jauh ke arah matahari tenggelam. Kuyakin saat ini, Bapak pun melakukan hal yang sama. Bayangan musala Bapak tiba-tiba muncul di pelupuk mata. Mengecil, mengecil, dan hilang ditelan senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun