Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

He is My Everything

31 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 31 Mei 2020   06:08 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

He's My Everything


Pisau di tangannya terlempar. Secepat kilat Jose merenggut kerah baju penyerang ayahnya. Siapa pun pria bermasker hitam itu, jangan harap ia akan mendapat maaf.

"KAU MENYERANG AYAHKU!" teriak Jose.

"KAU MEMBUATNYA TERLUKA!"

Kemarahan menyebar seperti racun di tubuh Jose. Tidak, dia tidak akan tenang sebelum pria bermasker hitam ini mendapat ganjaran atas kejahatannya. Sesaat Jose melupakan tubuh rapuh bersimbah darah yang tersungkur di tanah.

Status sebagai aktivis toleransi membuat Jose mengharamkan tangannya atas pukulan dan bentuk kekerasan lainnya. Namun, kali ini situasi menguji komitmen. Kepalan tangan Jose berhasil merobohkan pria biadab itu. Amarah menjadikan serangannya puluhan kali lipat lebih menyakitkan.

Setelah penyerang ayahnya tumbang, Jose mengangkat tubuh Ayah Calvin. Ia sedikit kesusahan karena tubuh Ayah Calvin lebih tinggi dan lebih berat darinya. Dibawanya tubuh dengan darah mengucur dari punggung itu ke mobil.

Fortuner silver itu meluncur keluar garasi. Nyaris saja menindas pria penjahat yang masih terkapar. Persetan dengan penghuni kompleks. Segera saja pria bermata sipit itu memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi.

Relativitas waktu berkelindan dengan relativitas kecepatan. Walau angka di spedometer telah merangkak ke 120, Jose merasa mobilnya selambat siput. Tak segan ia membunyikan klakson berkali-kali saat Fortuner-nya terjebak macet. Perlukah mobil ini dipasangi lampu menyilaukan seperti yang terpasang pada ambulans?

Gelombang kemarahan menghempas pantai hati. Ia marah, marah pada banyak hal. Marah pada dunia bisnis yang kejam, marah pada pria bermasker hitam, marah pada pisau yang menukik menghujam punggung Ayah Calvin, marah pada pengguna jalan yang tak berempati, dan marah pada diri sendiri. Dirinya yang gagal menjaga Ayah Calvin.

Ayah Calvin tertusuk karena dirinya. Ayah Calvin melindungi Jose dan dialah yang menjadi korban. Dalam hati, Jose terus saja menyalahkan diri sendiri.

Demi Tuhan, Jose takkan memaafkan pria bermasker hitam itu bila terjadi sesuatu yang buruk pada sang ayah. Bisa saja pintu maafnya terbuka untuk musuh bebuyutan sejak kecil. Senakal-nakalnya mendiang Adi, dia tak pernah berniat serius membunuh orang. Namun, konvensi ini tidak berlaku untuk pelaku penusukan Ayah Calvin.

"Ayah...bertahanlah, Ayah. Sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit," bisik Jose. Berharap Ayah Calvin mendengarnya dari alam bawah sadar.

Lampu lalu lintas menyala merah. Pria 22 tahun itu menggeram kesal. Satu tangannya memukul setir. Kini kemarahan menyasar pada traffic light. Sama seperti yang lain, benda itu minim empati.

**   

Santai sekali, pikir Jose gemas. Dua perawat yang berjalan di depannya sibuk mendorong tempat tidur beroda. Menurut Jose, langkah keduanya masih kurang cepat. Setiap detik sangatlah berharga.

"Kalian terlalu lambat! Tunjukkan saja jalannya pada saya!" gertak Jose. Tetiba ia mengambil alih brankar itu.

"Tuan, jangan..."

Seperti bermain kereta dorong, Jose membawa lari ranjang beroda itu. Dua suster berbaju putih di belakangnya kewalahan. Tak pernah sebelumnya ada keluarga pasien yang begitu tidak sabaran.

"Tuan Jose..."

"Apa lagi?" Jose berbalik tajam di belokan koridor.

"Tuan salah jalan. Ke sini."

Tim dokter terbaik bersiaga. Rasanya seperti rumah sakit milik pribadi. Jose memiliki saham mayoritas di rumah sakit ini. Dia bisa berbuat apa saja untuk membuat seisi rumah sakit memperhatikan ayahnya.

Ayah Calvin tidak ditempatkan di ruang biasa, tetapi di paviliun. Kluster pelayanan termewah di rumah sakit. Bahkan lebih mewah dari ruang VIP. Perawat stand by 24 jam. Tim dokter yang mengobati ayahnya adalah terbaik dari yang terbaik.

Torehan panjang di punggung sang ayah membuat Jose bergidik. Lihatlah, punggung mulus putih Ayah Calvin kini ternoda darah. Pakaian yang tersingkap memperlihatkan perut rata, punggung putih, dan leher mulus. Pertambahan usia tak memudarkan keindahan tubuh seorang Calvin Wan. Jahat sekali orang yang berusaha merusaknya.

Jika bukan pemegang hak fasilitas VIP di rumah sakit ini, tentu Jose takkan dibiarkan mendampingi ayahnya. Ia berdiri di samping ranjang. Digenggamnya tangan Ayah Calvin. Saat di rumah tadi, tangan ayahnya terasa panas. Sekarang tangan besar yang masih menyisakan baret itu teramat dingin.

Tubuh Ayah Calvin dibaringkan dalam posisi setengah telungkup. Tim dokter mulai menangani lukanya. Sepasang mata sipit itu sedikit membuka.

"Ayah...Ayah yang kuat. Ayah akan sembuh. Sakitnya hanya sedikit...hanya sedikit," ujar Jose menguatkan.

Benarkah sakit itu hanya sedikit? Nyatanya tidak. Ayah Calvin mengerang kesakitan. Cengkeramannya di tangan Jose bertambah erat. Dada Jose bergemuruh oleh kecemasan. Setiap erangan yang keluar dari bibirnya bagai batu bata seberat puluhan kilo yang menimpa batinnya.

"Sa...sakit," rintih Ayah Calvin untuk kesekian kali.

Usia tua dan daya tahan yang terus menurun menjadi sebab tubuhnya tak lagi resisten dengan rasa sakit. Mendadak erangan berubah menjadi teriakan. Ayah Calvin berteriak kesakitan. Suara yang lembut itu tidak pernah digunakan untuk berteriak. Jose tak tahan, amat tak tahan mendengar ayahnya kesakitan. Biarlah sakit itu pindah ke raganya saja.

"Ayah akan sembuh. Ayah akan sembuh. Sakitnya akan hilang tak lama lagi," kata Jose mengatasi teriak kesakitan ayahnya.

Hal ini di luar kebiasaan. Sesakit apa pun, Ayah Calvin tak pernah sampai menyuarakannya. Benarkah pisau yang menghujam adalah puncak rasa sakit?

Sejurus kemudian, Jose membungkuk. Diciumnya jari-jari Ayah Calvin yang lentik. Pria yang terbaring lemah dengan piyama rumah sakit ini adalah segalanya. Ayah Calvin belahan jiwanya, cinta dalam hidupnya, dan segala-galanya untuk Jose. Ia bernyanyi lembut untuk sang ayah.

Mungkin hanya Tuhan

Yang tahu segalanya

Apa yang kuinginkan

Di saat-saat ini

Kau takkan percaya

Kau selalu di hati

Haruskah 'ku menangis

'Tuk mengatakan yang sesungguhnya

Kaulah segalanya untukku

Kaulah curahan hati ini

Tak mungkin 'ku melupakanmu

Tiada lagi yang kuharap

Hanya kau seorang

Kau takkan percaya

Kau selalu di hati

Haruskah 'ku menangis

'Tuk mengatakan yang sesungguhnya

Kaulah segalanya untukku

Kaulah curahan hati ini

Tak mungkin 'ku melupakanmu

Tiada lagi yang kuharap

Hanya kau seorang

Kaulah segalanya untukku

Kaulah curahan hati ini

Tak mungkin 'ku melupakanmu

Tiada lagi yang kuharap

hati ini

Tak mungkin 'ku melupakanmu

Tiada lagi yang kuharap

Tiada lagi yang kuharap

Tiada lagi yang kuharap

Hanya kau seorang (Sammy Simorangkir-Kaulah Segalanya).

**    

Lekat dia tatap sosok di atas ranjang itu. Wajah tampan. Mata sipit yang selalu dirindukan. Punggung putih. Leher mulus. Dada bidang. Perut rata. Rambut ikal. Dalam keadaan sakit, Ayah Calvin tetaplah rupawan.

"Sayangku..." lirih Ayah Calvin.

"Iya, Ayah?"

"Kenapa kamu belum berangkat sekolah?"

Mata Jose mengerjap. Dokter sudah mengatakannya semalam. Cedera fisik dapat diobati, tetapi tidak dengan cedera batin. Peristiwa penusukan membuat Ayah Calvin terguncang. Pukulan shock itu melemahkan ingatan dan daya nalarnya.

"Nanti, Ayah. Aku mau temenin Ayah dulu sebelum ke sekolah," jawab Jose, memutuskan mengikuti alur di otak ayahnya.

Suster datang mengantarkan nampan sarapan dan koran pagi. Jose tahu pasti kalau sampai sekarang Ayah Calvin lebih suka membaca koran cetak ketimbang berita daring. Anehnya, kening Ayah Calvin berkerut bingung begitu menerima koran itu. Dibuka-bukanya sekilas. Kedua matanya nampak tak fokus.

"Ayah, kenapa? Biasanya Ayah nggak pernah lupa baca koran pa..."

"Gambarnya bagus. Banyak warnanya." Ayah Calvin menyela, menunjuk halaman berisi iklan.

Teriris hati Jose. Dengarlah, ayahnya seperti anak kecil. Ia tidak membaca teks, melainkan hanya tertarik dengan gambar.

"Sekarang Ayah makan dulu, ya. Trus minum obat."

Dengan sabar, Jose menyuapi ayahnya. Terlihat Ayah Calvin kesulitan menelan makanannya. Tepat ketika Ayah Calvin muntah...

"Airport man..."

Liza memasuki paviliun. Tas kamera berayun liar di lengannya. Jose menoleh.

"Pergi!" usirnya.

"Oh Jose, apa salahku? Aku hanya ingin menengok ayahmu..."

"Kubilang pergi! Ayah Calvin Wan jauh lebih berharga dari Liza Soeratman!"

Tubuh Ayah Calvin dan Liza sama-sama bergetar. Ayah Calvin takut dengan suara keras. Liza tak mengerti letak kesalahannya.

"S-Sayangku...jangan b-berteriak seperti itu, Nak. A-apa kata Ms. Erika di sekolah kalau tahu ketua kelasnya membentak anak perempuan?" Ayah Calvin tergeragap, lengannya merengkuh lembut pundak Jose.

Lampu menyala di kepala Liza. Sekejap saja dia tahu ada yang tidak beres.

"Aku tidak akan pergi sebelum aku bisa membantumu, Jose."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun