"Ayah tinggalin Silvi! Ayah biarin Silvi dan Bunda sendirian!" pekiknya. Dia menjumput anak rambut di puncak kepala Ayah Calvin, lalu menariknya.
Silvi menjambak rambut Ayah Calvin. Dia tarik rambut tebal nan rapi itu sepuas-puasnya. Mengerahkan segenap tenaga bersalut amarah dan kecewa. Sedih, kesal, kecewa, dan rindu menyesak di dada kecilnya.
"S-Silvi...Sayang," kata Ayah Calvin terbata. Ia tak melawan sewaktu rambutnya ditarik putrinya sendiri.
"Ayah jahat! Ayah jahat! Ayah jahaaaat!"
Lengkingan suara soprano itu merobek kesunyian malam. Ayah Calvin melirik waswas ke pintu pagar. Takut aksi anarkis putrinya menarik perhatian para tetangga. Peduli amat dengan rambutnya yang menjadi korban.
Bukan, bukan tetangga yang datang. Perkiraan Ayah Calvin meleset. Pagar coklat tua itu berderit, menghadirkan sesosok wanita semampai berkulit putih.
"Assalamualaikum, Silvi. Maaf, Bunda lu..."
Lutut Bunda Manda serasa lemas. Wajah kuyunya bertambah gundah. Matanya melebar sebesar piring kertas melihat sosok tinggi bermata sipit yang mendekap putrinya.
Bunda Manda terhuyung. Punggungnya menabrak pagar. Bungkusan putih yang dibawanya jatuh. Nasi goreng plus minuman di dalamnya terhambur keluar.
"Calvin..." desah Bunda Manda.
Sontak Ayah Calvin menegakkan tubuh. Membuat tangan Silvi menjangkau udara kosong.