Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Opa Hilarius dan Ayah Calvin

10 April 2020   06:12 Diperbarui: 10 April 2020   07:02 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opa Hilarius dan Ayah Calvin


Dear, diary

Aku punya dua permintaan. Kira-kira Allah mau mengabulkan nggak, ya?

Pertama, aku ingin merayakan ulang tahun. Sering aku menghadiri ulang tahun teman-temanku. Pestanya meriaaaah sekali. Ada banyak makanan, ada kado juga. Yah, di sini aku memang nggak kekurangan makanan enak sih. Opa sama Bunda kn pintar masak. Tapi, aku mau sekali-sekali merayakan ulang tahun.

Kedua, aku ingin punya Ayah. Ayahku sudah meninggal. Gitu kata Bunda. Diary, gimana rasanya punya ayah? Teman-temanku punya ayah. Cuma aku yang nggak punya.

 "Pertama, aku ingin merayakan ulang tahun."

Sebuah suara barithon memutus gerakan tangan Silvi. Ia mengangkat kepala, terperangah melihat Opa Hilarius berdiri di dekatnya. Senyum menghiasi wajah Opa Hilarius yang masih terlihat tampan.

"Opa..." desah Silvi. Buru-buru menutup diary bersampul biru kelamnya.

Senyum pria awal 70-an itu berganti tawa. Dia tepuk punggung cucu satu-satunya. Senang telah berhasil membaca dua keinginan terpendam Silvi.

Gadis kecil itu tertunduk malu. Mata birunya mengerjap bingung. Bingung bagaimana lagi bersembunyi dari sang kakek.

"Silvi mau pesta ulang tahun?" Opa Hilarius melempar konfirmasi. Ditingkahi anggukan si gadis berponi.

"Sip. Trus Silvi kepingin punya Ayah..."

Kata-kata Opa Hilarius menggantung. Ia tak kuasa melanjutkan. Bayang kesedihan melintas. Sedih yang sama, setiap kali Silvi bertanya tentang Ayah.

Ayah. Entitas yang rasanya sejauh Jakarta-Roma bagi Silvi. Tujuh tahun ia melihat dunia, tak pernah sekali pun netranya memandang Ayah.

Ayah, kemanakah sosok itu?

Dada Opa Hilarius sesak. Sesak diberati kenangan. Kenangan akan menantunya yang menghilang tujuh tahun silam. Entah apa kosa kata yang tepat untuk menggambarkan kepergian menantu Opa Hilarius: menghilang, terusir, menjauh, atau pergi dengan sendirinya.

"Silvi akan ketemu Ayah kalau Opa sudah pergi."

Sontak Silvi memutar bola mata. Apa maksud Opa Hilarius? Kenapa dia baru bisa bertemu Ayah saat Opa Hilarius sudah pergi? Tapi, bukankah...

"Opa, Ayah kan udah meninggal." Ceplos Silvi. Benaknya merekam kembali keterangan Bunda Manda.

Tarikan napas berat Opa Hilarius kian mengaduk-aduk benak Silvi. Rasa penasarannya membuncah. Sayangnya, tak sepotong penjelasan pun meluncur dari bibir pria tua yang tetap gagah itu. Dielusnya rambut Silvi lembut. Seolah tak ada pembicaraan tentang Ayah sebelumnya, Opa Hilarius mengingatkan Silvi untuk makan siang.

Makan siang? Tangan mungil Silvi meraba perut ratanya. Gara-gara menulis diary dan memikirkan Ayah, ia jadi lupa. Sekarang, lapar kembali terasa. Sepasang kaki jenjang Silvi membawanya berlari ke dapur.

Bunda Manda telah menanti. Spatula di tangan kanan, cempal di tangan kiri. Celemek bermotif bunga belum dilepas. Sisi wajah cantiknya dibasuh keringat. Namun, senyumnya rekah melihat putri tunggalnya.

"Sayang, makan siang dulu ya." Ujarnya.

Tanpa disuruh dua kali, Silvi mengambil piring. Menyendok nasi dan ayam panggang. Tak lupa ia membantu Bunda Manda memasukkan telur ke dalam kotak-kotak katering.

"Terima kasih, Sayang. Udah, yang ini biar Bunda aja. Kamu makan dulu."

Kursi berkaki empat ditarik. Silvi duduk di dekat Bundanya. Pelan-pelan menghabiskan makanan. Sesekali mata birunya bersitatap dengan mata indah Bunda. Intel hati seorang ibu tak dapat dilawan. Bunda Manda dapat merasakan tanda tanya dalam tatapan Silvi.

"Ada yang mau Silvi bicarakan sama Bunda?" tawarnya lembut.

"Ada," sahut Silvi cepat.

"Bunda, apa Ayah masih hidup?"

Klontang. Spatula di tangan Bunda Manda melompat ke lantai. Pada saat bersamaan, sikunya menyenggol mug putih. Benda itu pun tak luput mencium keramik.

"Ayah Silvi sudah meninggal..." desis Bunda Manda.

Silvi tertunduk layu. Berarti, Opa Hilarius menyampaikan informasi yang salah. Bukankah orang meninggal tak bisa ditemui?

"Kenapa Ayah meninggal?"

Bunda Manda meneguk saliva. Tak biasanya ia mati kutu saat menjawab pertanyaan anak kecil. Lulusan Magister Psikologi tentu punya wawasan cukup luas untuk memuaskan rasa ingin tahu anak-anak. Akan tetapi, kali ini pertanyaan anaknya bukanlah tentang ilmu pengetahuan. Melainkan tentang...

"Ayah meninggal karena sakit." Jawabnya berat.

"Sakit apa?"

"Ada masalah dengan pernafasannya."

Walau tak gatal, toh Silvi garuk-garuk kepala juga. Ayahnya sakit apa ya? Masalah pernafasan itu seperti apa? Apakah seperti Opa Hilarius yang terkadang keluar-masuk rumah sakit sehabis mengeluarkan banyak darah dari hidungnya?

"Ayah itu seperti apa, Bunda?" Belum puas Silvi meledakkan sumbu keingintahuan di kepala.

"Ayahmu berhati lembut. Badannya tinggi, matanya sipit, rambutnya agak ikal. Wajahnya setampan Dion Wiyoko."

Wow, pastilah Ayahnya sosok yang istimewa. Ingin sekali Silvi melihat foto sang ayah. Belum sempat permintaan itu terlontar, Bunda Manda keburu pergi. Nyaris saja ia menabrak gunungan kotak katering dalam ketergesaan.

Aneh. Kenapa Bundanya cepat sekali pergi? Selera makan Silvi lenyap. Dia berjingkat-jingkat mengekori Bunda Manda dari belakang. Dilihatnya Bunda Manda berjalan menuju kamar.

"Calvin..."

Sayup telinga Silvi menangkap suara isakan. Terdengar Bundanya menyebut sepotong nama. Calvin? Itukah nama Ayah?

"Calvin, maafkan aku..."

Belum hilang rasa penasaran Silvi, tubuhnya didekap lembut oleh Opa Hilarius. Pria yang sempat menggeluti bisnis waralaba restoran Jepang itu menggamit lengan Silvi ke halaman. Tanpa kata mengantarnya ke TPA di dekat rumah.

Spontan Silvi menepuk dahi. Oh iya, hari ini kan jadwalnya belajar Alquran. Kenapa dia bisa lupa? Lho, terus Alqurannya mana?

"Ini Alquranmu, Sayang." Opa Hilarius lembut menyodorkan kitab suci dengan cover hijau muda itu.

Silvi mendekap Alqurannya kuat. Menatap Opa Hilarius penuh terima kasih. Opa Hilarius tak pernah terlambat mengantarkannya ke TPA. Meski mendampingi cucunya mengaji, Opa Hilarius pun tidak pernah absen ke gereja dan mengajar anak-anak Sekolah Minggu.

Mereka berpisah setiba di depan TPA. Silvi memeluk Opanya sekilas, lalu berlari masuk. Baru dua langkah menyeberangi halaman TPA saat ia diam-diam menoleh ke belakang. Dapat dia lihat Opa Hilarius terduduk di bangku semen seraya memegang dadanya. Opa kenapa ya? Batin Silvi.

Dari gerak bibirnya, Silvi tahu jika Opa Hilarius tengah mengatakan sesuatu. Mata Silvi menajam. Hillary? Ah, voila. Itu nama mendiang Omanya. Tadi Bunda Manda menyebut nama Calvin, sekarang Opa Hilarius menyebut Oma Hillary. Orang dewasa memang aneh.

**   

Tibalah hari yang paling ditunggu. Hari ulang tahun Silvi. Opa Hilarius memenuhi janjinya. Pesta ulang tahun berlangsung meriah.

Umur Silvi boleh saja masih kecil. Tetapi ia paham kalau pesta ulang tahun ini berhasil diadakan setelah Opa dan Bundanya mendapatkan uang tambahan dari bisnis katering. Mereka tak sekaya dulu. Restoran milik Opa Hilarius habis dibabat krisis virus Corona. Kini, setelah virus itu berlalu, Opa Hilarius belum bisa mengembalikan kejayaan bisnis kulinernya.

Di tengah segala keterbatasan, Silvi tetap riang. Disambutnya teman-teman yang datang dengan senyuman tulus. Untuk ulang tahunnya kali ini, Silvi mengenakan dress cantik berwarna putih. Rambutnya diikat membentuk ponytail. Cantik sekali.

Tak semua anak yang datang membawa kado. Silvi cuek saja. Yang penting dia bisa merayakan ulang tahun dan berbagi kebahagiaan. Tumpukan kado yang didapatnya terbilang sedikit. Terdapat sebentuk kado yang mengusik rasa ingin tahunya. Kado itu tergeletak di tumpukan teratas, ukurannya paling besar. Terbungkus dengan kertas kado nan cantik berwarna merah muda, lengkap dengan hiasan pita di ujungnya. Tak ada nama pengirim.

"Bunda, itu kado siapa?" Silvi mencolek lengan Bundanya.

Wanita cantik itu tak menjawab. Wajahnya murung. Silvi yakin betul Bunda Manda tahu siapa pengirim kado itu.

Belum sempat anak itu menginterogasi, keriuhan pesta memudar. Tergantikan jeritan panik. Opa Hilarius tetiba jatuh pingsan. Darah segar mengalir tak henti dari hidungnya.

"Papa! Papa! Jangan tinggalkan aku, Pa! Jangan menyusul Mama!" teriak Bunda Manda histeris.

Merinding tengkuk Silvi. Akankah Opa Hilarius menyusul Oma Hillary? Opa Hilarius sangat mencintai Oma Hillary. Sejak Oma Hillary berpulang ke Rumah Bapa, tak pernah Opa Hilarius menikah lagi. Telah tibakah saat terakhir mantan pebisnis kuliner dan penyiar radio itu?

Cepat sekali suasana berganti. Para tamu beranjak pulang. Pesta bubar dalam ketakutan. Silvi ditinggalkan sendiri di rumah. Bunda Manda hanya membekalinya satu pesan: angkat telepon.

Tiga jam kemudian, pesawat telepon kuno di rumah itu berdering. Tubuh Silvi lemas seketika. Opa Hilarius benar-benar menyusul Oma Hillary.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...Opa, Opa!" Silvi terisak-isak.

Selamat tinggal Opa terkasih. Tak ada lagi tangan yang menggandengnya ke TPA. Tak ada lagi lengan kekar yang memeluknya ketika ia bertanya dimana Ayah. Tak ada, tak ada.

Luruh sudah niatnya membuka kado misterius. Hati Silvi rusuh mendaraskan doa. Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu. ("Ya Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma'afkanlah dia").

Sore merambat menuju malam. Perut Silvi melilit lapar. Seluruh persediaan makanan di rumah habis untuk perayaan ulang tahun. Kanak-kanak itu berjalan memutari ruang depan. Tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Ya, Allah, Silvi lapar." Ia merintih pelan.

Bunyi apa itu? Seperti bunyi derap langkah kaki dan benda diletakkan. Datangnya dari arah pintu. Ragu bercampur takut, Silvi menekan handel. Terkesiap melihat kotak putih teronggok di depan pintu. Ketika dibuka, isinya sepaket lengkap menu bento: chicken egg roll, nasi, dan salad.

Siapa yang menaruhnya? Mungkinkah Bunda? Tidak, Bunda Manda pastilah akan masuk dan memberikannya langsung pada Silvi. Menunya persis seperti yang dijual Opa Hilarius di restorannya. Jangan-jangan...

Khayalan Silvi meledak buyar. Ia mendengar denting piano. Ada yang terbatuk. Sepertinya suara seorang pria. Entah mengapa, Silvi merasa ketenangan mengaliri hatinya.

Jangan mudah putus asa

Bersabarlah, wahai hatiku

Semua ada hikmahnya

Tuhan pasti 'kan melihat

Niat baik hamba-Nya

Selama dia hidup di dunia (Cakra Khan-Jangan Mudah Putus Asa).

Demi Tuhan, itu suara paling bagus yang pernah didengar Silvi. Suara Opa Hilarius cukup merdu dan empuk, khas seorang penyiar. Tapi yang ini jauh lebih bagus. Jenis suara yang lebih berat dari Opa Hilarius, namun terdengar merdu dan menenteramkan.

Menu bento tandas. Saat Silvi akan membuang kotaknya pada tempat sampah di halaman rumah, dia nyaris bertabrakan dengan seorang pria. Pria itu tinggi, bermata sipit, dan berwajah tampan. Hati Silvi mencelos. Gambaran fisiknya persis seperti deskripsi Bunda Manda tentang...

"Ayah?" lirih Silvi.

Pria berjas hitam itu mendekap Silvi erat. Gaun putih bertemu jas hitam. Mata biru bertemu mata sipit. Silvi bertemu Ayah Calvin.

"Silvi...Princessnya Ayah..." ucap Ayah Calvin, matanya berkaca-kaca.

Ayah Calvin terbatuk dalam pelukan Silvi. Anak cantik itu merasakan batinnya menghangat. Inikah rasanya punya ayah? Benar kata Bunda. Ayah Calvin sangat, sangat tampan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun