Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah Special Part] Ulang Tahun Jose

14 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 14 Desember 2019   06:08 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Ulang Tahun Jose

-Fragmen si kembar


Di tahun kesembilan Calvin dan Adica mengasuh Silvi, seorang teman lama bertamu ke rumah mereka. Kejadiannya di sore hari. Saat itu, si kembar baru saja tiba di rumah usai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. Momen langka dimana Calvin turun kembali ke kantor demi RUPS, mengingat jabatannya sebafgai komisaris utama. Para karyawan senang dan rindu, Adica parno.

"Kakak...Kakak baik-baik saja?" tanya sang adik merangkap direktur utama, kekhawatiran tercermin di mata sipitnya.

Calvin tersenyum simpul. Jarang sekali Adica memanggilnya Kakak. Adica merasa tak perlu menyapa Calvin dengan sebutan itu, mengingat jarak lahir mereka hanya 20 menit.

"Tumben kamu panggil aku Kakak. Ada maunya ya?" Calvin setengah menggoda. Alih-alih kesal, raut wajah Adica tetap serius.

"Aku sungguhan khawatir."

Sejumput tanya mengambang tanpa jawaban. Calvin menghempaskan tubuh di sofa, enggan melepas jas Dolce and Gabbananya. Baru saja Adica menyusul duduk di sampingnya, bel pintu berdering. Mereka saling lirik. Rasanya terlalu lelah untuk bangkit lagi dan berjalan ke ruang depan. Betapa kagetnya mereka ketika mendengar teriakan nyaring Silvi.

"Papaaaa, Ayaaaaah, ada tamu! Orangnya ganteng kayak Ayah!"

Serempak keduanya bangkit. Tergesa berjalan ke ruang tamu. Calvin memeluk Silvi dengan lembut. Wajah tampan Adica bersaput rona cemburu.

"Jadi, Papa nggak ganteng?" protes Adica sebal.

Silvi tak menjawab. Ibu jarinya terarah ke pintu utama. Di mulut pintu, berdiri sesosok pria tinggi, tampan, dan bermata sipit. Gadis kecil berparas cantik dan berambut pendek mengekorinya. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...

"Jose?" ucap Calvin dan Adica bersamaan.

Setelah melepas pelukannya di tubuh Silvi, Calvin mendekat. Dia peluk teman lamanya itu. Jose membalas pelukan Calvin. Mata Adica mengerjap bingung. Selalu saja ia menaruh rasa heran pada kembarannya yang tak canggung memeluk teman pria. Lihatlah, dua pria tinggi dan bermata sipit itu saling peluk.

"Long time no see. Apa kabar, Jose Gabriel?" tanya Calvin hangat.

"Begitulah," jawab Jose pendek.

"Dan ini...Arini, kan? Putrimu satu-satunya?"

Sejurus kemudian, Calvin berlutut di depan Arini. Dibelainya rambut anak perempuan itu. Arini menyambut datar sikap hangat Calvin. Matanya melayang ke arah Silvi.

"Matanya jelek, kayak monster." Tunjuk Arini ke arah mata biru Silvi.

Adica melotot garang. Senyuman Calvin memudar. Silvi bersembunyi di balik punggung Ayahnya. Sementara itu, Jose menepuk pelan puncak kepala putrinya.

"Arini," katanya tegas.

"Mata Silvi sebagus orang-orang Eropa yang kita temui. Ingat, kan? Semester lalu Daddy ajak kamu liburan ke Eropa. Kita bertemu banyak orang bermata biru di sana."

"Iya, Daddy."

"Ajak Silvi bermain denganmu."

Arini mengangguk patuh. Tak lagi mengejek mata Silvi. Digamitnya lengan gadis sembilan tahun itu ke halaman. Kemarahan Adica sedikit surut. Mau tak mau Calvin salut pada Jose yang mendidik Arini lewat traveling.

Ketika Calvin beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman spesial bagi tamunya, Adica bertolak pinggang menghadap Jose. Ia tatap mata Jose lurus-lurus.

"Ajari anakmu sopan santun! Dia sudah menghina anakku!" gertaknya dengan suara rendah.

Jose menyisirkan jari ke rambutnya, wajahnya letih. "Sorry...takkan terjadi lagi. Aku janji."

Dengan angkuh, Adica menggiring Jose duduk di sofa dekat grand piano cantik. Keduanya duduk bersisian. Meja marmer setinggi dada membatasi ruang gerak mereka.

"Kamu dari mana saja? Kenapa tiba-tiba datang ke rumah kami?" tanya Adica melunak.

"Aku dari gereja. Mengantar keponakan-keponakan kecilku berlatih drama Natal. You knowlah, keluarga istriku mix. Aku malah dikira jemaat baru...mungkin karena tampilan fisikku." Jelas Jose, tertawa kecil.

Obrolan mereka disela kedatangan Calvin. Ia meletakkan nampan putih berisi lima gelas milk tea, lima porsi nasi goreng Hongkong, dan sepiring kue. Jose nampak terkesan. Adica stay cool, langsung mencomot sepotong brownies di depannya. Tatapan Jose berpindah pada Calvin.

Dapat Calvin rasakan gelombang rasa kagum bercampur iri dalam tatapan itu. Tentu saja Jose mengagumi Calvin yang tampan, daddyable, jago memasak, dan dikagumi banyak orang. Pendar kekaguman bersaput iri lantaran banyak yang mencintai Calvin, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.

"Silvi, sini Sayangku." Calvin memanggil Silvi di halaman. Lembut meraih tangannya, mengajaknya masuk ke ruang tamu. Sementara itu, Jose menggandeng Arini tanpa bicara.

Lembut penuh kasih sayang, Calvin mendudukkan Silvi di pangkuannya. Ia menyuapi Silvi. Jose hanya menyodorkan sendok pada Arini. Mengisyaratkan Arini untuk makan sendiri. Manik mata Adica melirik bibir Silvi yang belepotan. Refleks jemarinya mengusap bibir Silvi sampai bersih. Saat Silvi mau menelan suapan terakhir, Calvin mendaratkan kecupan hangat di keningnya.

Sekilas mungkin terkesan tak imbang. Namun, percayalah, ketiga ayah ini punya pesonanya masing-masing: Calvin yang lembut dan menjadi panutan, Adica yang identik dengan sikap coolnya, dan Jose yang memikat siapa saja dengan keberanian travelingnya.

"Aku boleh menginap di sini, ya?" pinta Jose selesai makan.

"Kamu diusir Alea?" ceplos Adica.

Jose mengibaskan tangannya tak sabar. "Mungkin aku akan berpisah."

"Ada apa, Jose? Cerita padaku...jangan cepat mengambil keputusan untuk berpisah." Bujuk Calvin.

Mengalirlah cerita itu. Jose cemburu, cemburu pada teman-teman istrinya. Alea sangat cantik. Menikahi mantan Gadis Sampul ternyata tak seindah angan. Berkali-kali Jose harus menahan cemburu lantaran Alea masih dikejar banyak pria yang lebih rupawan darinya. Penulis buku dan traveler itu pun menolak lupa kalau Alea dan Calvin pernah saling mencintai.

"Demi Tuhan, aku dan Alea sudah lama berakhir. Alea itu tulang rusukmu, Jose. Jangan tinggalkan dia." Ujar Calvin sedih.

"Lagian kamu aneh." Timpal Adica meremehkan.

"Kamu kabur dan curhat sama duet kembar kece yang belum kawin."

Tawa penulis buku Manusia Bandara itu lepas. "Calvin, Adica pengen kawin kayaknya."

"Enak aja, Calvin tuh..."

"No. Belahan jiwaku hanya satu: Silvi Gabriella Tendean. Aku takkan menikah untuknya."

Mata Jose berkilat kagum. Cinta Calvin untuk Silvi tak terhingga. Cinta melampaui ikatan darah.

"Adica," Calvin memberi kode, memanggil saudara kembarnya.

Pria workaholic itu paham. Segera ia membungkuk ke bawah meja, mengambil teks partitur, lalu melemparnya. Calvin menangkap kertas itu dan berjalan ke depan grand piano.

"Bernyanyilah dengan kami, Jose." Kata Calvin seraya memainkan intro.

Jose menggeleng. Sudah lama ia tak bernyanyi. Terdengar suara bass nan lembut milik Calvin melantunkan bagian pertama.

Di atas bumi ini ku berpijak

Pada jiwa yang tenang di hariku

Tak pernah ada duka yang terlintas

Ku bahagia

Dalam hidup ini

Arungi semua cerita indahku

Saat-saat remaja yang terindah

Tak bisa terulang

Kuingin nikmati

Segala jalan yang ada di hadapku

'Kan kutanamkan cinta 'tuk kasihku

Agar 'ku bahagia

Improvisasi yang dimainkan Calvin mengesankan. Pria itu sungguh berbakat. Silvi bertepuk tangan memuji Ayahnya. Mata Arini membola. Sekejap kemudian hadirlah Adica dengan suara barithonnya.

Cinta adalah cinta

Hidup dan matiku untukmu

Mungkinkah semua tanya kau yang jawab

Dan tentang seseorang itu pula dirimu

Ku bersumpah akan mencinta

Mana malumu tiap kali

Kuajak berkencan aku yang bayar

Kalau begini terus ku takkan tahan

Bisa-bisa kaukuras aku

Percuma punya kekasih kamu

Piano terus berdenting. Wanita-wanita yang jatuh hati pada Adica pasti akan meleleh mendengar nyanyiannya. Ketika Calvin dan Adica hendak menyanyikan bagian ketiga, Jose berpindah posisi dan ikut menyanyi bersama mereka.

Suara hati seorang kekasih

Bagai nyanyian surgawi

Takkan berdusta

Walau ketamakan merajai

Diri yang penuh emosi

Jauh di dasar hatiku

Tetap 'ku mau

Kau sebagai kasihku

Mendengar Daddynya bernyanyi, Arini melompat bangun. Ia bertepuk tangan keras-keras. Caranya menyemangati Jose seolah Jose sedang bertanding basket. Di bagian keempat, Jose bernyanyi sendirian. Adica dan Calvin hanya mengiringinya.

Kata orang rindu itu indah

Namun bagiku ini menyiksa

Sejenak kupikirkan

Untuk kubenci saja dirimu

Namun sulit 'ku membenci

Pejamkan mata bila

Kuingin bernapas lega

Dalam anganku aku berada

Di satu persimpangan

Jalan yang sulit kupilih

Wajah cantik Alea menari di benaknya. My Cattleya, bisik hati Jose berulang-ulang. Jiwanya perih, perih menahan rindu. Alea yang ia rindukan, sekaligus membuatnya cemburu. Alea yang dikagumi karena kecantikan dan kecerdasannya.

Intro bagian kelima berdenting halus. Calvin memainkan melodi indah dengan piawai. Serta-merta Jose membuka matanya. Kembali ia bernyanyi bersama si kembar.

Wahai pujangga cinta

Biar membelai indah

Telaga di kalbuku

Jujurlah pada hatimu

Ada apa dengan cinta

Perbedaan aku dan engkau

Biar menjadi bait

Dalam puisi cinta terindah (Kevin and The Red Rose-AADC Medley).

Silvi dan Arini terpesona. Bergetar hati kedua gadis itu mendengar ayah mereka bernyanyi. Kekaguman mereka luruh begitu saja.

"Dalam puisi cinta terindah..."

Setelah menyelesaikan lagunya, Calvin terbatuk. Hidungnya berdarah. Ketika Calvin kembali batuk darah, Adica bergegas memapah kembarannya. Ia sendiri yang membawa mobil, melarikan pria bergelar Ayah itu ke rumah sakit.

**   

-Fragmen Silvi

Sore itu, terakhir kalinya aku melihat Ayah. Papa jahat. Papa bawa Ayah entah kemana. Aku berantakan tanpa Ayah.

"Aku mau Ayah! Aku mau Ayah! Aku mau Ayaaaah!" teriakku di malam kedua sejak Ayah tak di rumah.

Mendengar teriakanku, Arini terbangun. Kami berbagi kamar. Aku takut tidur sendirian. Arini menatap galak ke arahku.

"Diam, anak cengeng! Di sini nggak ada Ayahmu! Nggak ada yang manjain kamu!" seru Arini jengkel.

Enak saja dia membentakku. Dia menyuruhku diam di rumahku sendiri. Aku berteriak sambil menangis. Aku benar-benar butuh Ayah.

Dari balkon kamar, datanglah Uncle Jose. Pelan ia meminta Arini tidur di kamar tamu yang lain. Setelah itu, Uncle Jose duduk di pinggir ranjang.

"Aku mau Ayah!" isakku, separuh wajahku tersembunyi di bantal.

Dalam diam Uncle Jose memelukku. Kutahu kalau Uncle Jose lebih dingin dari Papa dan tak selembut Ayah. Meski begitu, ia cepat tanggap dan berada di sisiku.

"Aku bukan Ayahmu. Aku tak bisa memanjakanmu," ujar Uncle Jose pelan.

"Tapi aku jamin kamu takkan sendirian malam ini."

Hatiku sedikit tenang. Kucoba untuk tidur. Kala aku tak juga terlelap, Uncle Jose menyelipkan sebuah buku ke tanganku. Buku apa ini? Judulnya terlalu kecil. Aku butuh Ayah untuk membacakannya.

"Oh iya, aku lupa. Sini..."

Uncle Jose merampas lagi buku itu. Dia membacakannya. Manusia Bandara, oh rupanya itu buku yang ditulis Uncle Jose. Buku yang berisi kisah-kisah pengalamannya menjejakkan kaki di berbagai bandara di dalam maupun luar negeri.

Semalaman Uncle Jose menghiburku dengan cerita-cerita di bukunya. Uncle Jose hebat, pikirku. Keberaniannya melakukan traveling ke berbagai negara sungguh mencengangkan. Caranya memberi perhatian pada orang lain pun tidak terduga.

"Kamu tahu, Gadis Bermata Biru?" desah Uncle Jose setelah menutup bukunya.

"Calvin sangat mencintaimu. Selama kenal dia, belum pernah kulihat Calvin mencintai seseorang begitu dalam. Tak setetes pun darah Calvin mengalir dalam dirimu. Tetapi cintanya sebesar The Great Wall di Tiongkok, setinggi Menara Eiffel di Paris, dan sedalam Sungai Danube di Eropa Timur. Calvin mencintai anak tunggalnya seperti belahan jiwa."

Perkataan Uncle Jose merasuk lembut di kepalaku, turun perlahan ke hatiku. Kudengar ia menghela nafas.

"Selama di sini, aku belajar banyak hal. Belajar bersabar, belajar menghadapi anak manja, belajar bernyanyi lagi, dan belajar cinta. Semua pelajaran itu lebih dari cukup sebagai hadiah ulang tahunku."

Aku terpana. Malam merayap menuju tanggal 14 Desember. Jadi, sekarang ulang tahun Uncle Jose?

Paginya, kami kedatangan tamu. Seorang wanita cantik berambut panjang, berhidung mancung, dan berkulit putih melempar diri ke pelukan Uncle Jose. Ia beralih mendekap Arini sambil terisak.

"My Cattleya," lirih Uncle Jose.

"Pulanglah, Jose. Rumahmu bukan di sini. Aku adalah tempatmu untuk pulang."

Ow, jadi ini wanita bernama Alea? Kutatapi wajah cantiknya. Mataku bergeser ke arah Uncle Jose. Aku perhatikan teman baik Papa dan Ayah itu nampak kalut. Sementara itu, Auntie Alea menyodorkan sehelai kertas kusut.

"Selama kamu menghilang, aku membaca puisi yang kamu tulis untukku pertama kali bertahun-tahun lalu: A Tribute to Alea. Puisi itu membuatku tenang."

Uncle Jose bisa juga membuat puisi. Aku baru tahu. Sementara kupandangi Arini yang bersandar manja ke pelukan Mommynya, hatiku teraduk-aduk. Aku mau dipeluk Ayah.

"Selamat ulang tahun, Jose. Alea adalah kado dari kami di hari spesialmu."

Tanpa diduga, Ayah telah berdiri di ambang pintu utama. Senyum terlukis di wajah pucatnya. Aku melompat ke pelukan Ayah. Papa menyusul di belakangnya, raut wajahnya sedih bercampur bahagia. Ayah menciumi keningku berulang kali. Kurasakan tatapan pedih Papa menghujamku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun