Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah Special] Tangan Berdarah

27 November 2019   06:00 Diperbarui: 27 November 2019   06:08 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangan Berdarah

-Fragmen si kembar

Malam telah larut ketika Calvin, Adica, dan Silvi meninggalkan lokasi acara. Mata Adica melirik resah wajah Calvin. Kakak kembarnya itu sangat pucat. Gurat keletihan terukir di lekuk wajah tampan itu.

"Tunggu di sini. Biar aku ambil mobil," katanya pada Calvin.

"Aku saja. Kamu lebih butuh istirahat. Tadi kulihat kamu membantu mengangkat barang-barang di booth itu."

Mendengar tawaran Calvin, Adica tertawa hambar. "Kamu bawa mobil? Oh tidak bisa, kakak kembar. Kamu baru boleh nyetir kalau tanganku patah."

Dalam hati Calvin berharap agar sesumbar itu tak jadi doa. Adiknya memang begitu. Maka, dibiarkannya sang adik mengambil mobil di basement.

Calvin mengalihkan fokus pandangan pada Silvi. Gadis cantik bergaun merah muda itu mulai mengantuk. Mata birunya meredup. Tangan Calvin merengkuh lembut pundak putri semata wayangnya.

"Abis ini kamu tidur ya, Sayang. Pasti kamu capek ..." ujarnya lembut.

"Ayah, maaf." Silvi bergumam lirih.

"Untuk apa?"

"Maaf aku belum bisa memberi plakat keren itu untuk Ayah."

Perkataan Silvi membuat Calvin membenamkan tangan di rambut gadis itu. Sambil membelai rambut Silvi, ia berucap.

"Ayah sangat bangga padamu, dengan atau tanpa plakat."

SUV hitam meluncur ke dekat mereka. Pintu belakang terbuka. Calvin menuntun Silvi masuk ke mobil. Alunan lagu terdengar dari radio mobil, menemani perjalanan mereka.

"Yah ...kenapa pakai macet sih?" gerutu Adica saat mereka melewati rumah sakit.

"Satnight. Wajar, kan? Tunggulah sebentar, Adica." Calvin berkata menyabarkan, satu tangannya menarik tubuh Silvi agar bersandar padanya.

Cukup lama mereka terjebak macet. Ketika akhirnya perjalanan kembali mulus, Calvin tak tahan lagi dengan lelah di tubuhnya. Penulis dan pengusaha itu terbatuk. Darah segar mengalir dari hidungnya.

"Calvin, kita ke rumah sakit ya. Kamu mimisan dan batuk darah." Adica tak dapat menutupi kecemasan dalam suaranya.

Kantuk Silvi lenyap. Serta-merta ia menegakkan tubuh. Jemarinya mengusap lembut sisa darah.

"Nope. Kita pulang saja. Kasihan Silvi. Dia harus istirahat."

"Tapi ..."

"Adica, jangan pikirkan aku."

Jangan pikirkan aku, tiga kata itu sangat khas Calvin. Tak pernah, tak pernah ia mementingkan diri sendiri. Hati Adica tercabik cemas dan sesal. Sama seperti Silvi, andai saja ia bisa memberi plakat keren itu untuk Calvin.

Tepat pukul setengah sebelas, mobil berhenti di garasi rumah. Calvin menggandeng tangan Silvi. Adica menyusul di belakang mereka.

"Langsung tidur ya, Sayang. Sudah malam." pinta Calvin halus.

Silvi tak menjawab. Ekor mata Calvin menangkap gerakan putrinya yang bergegas naik tangga pualam.

"Kamu sendiri nggak tidur?"

"Nanti, Adica. Aku tidak bisa langsung tidur begitu sampai rumah."

Tanpa kata, Adica menemani Calvin. Walau kantuk memanggil-manggil. Walau ranjang empuk, kamar berAC, dan bantal sutra menuntut ditempati.

Calvin dan Adica bersantai sejenak di ruang TV. Menonton Netflix ditemani dua gelas susu hangat. Kekhawatiran Adica membengkak melihat betapa pucat wajah kakak kembarnya.

"Calvin, aku kalah." kata Adica lesu.

Pria berjas grey itu menoleh cepat ke arahnya. "Bagiku semua nomine adalah pemenang. Kamu dan Silvi membuatku bangga. Berbeda dengan aku yang biasa sa ..."

Ujung kalimatnya menggantung. Sisa susu yang separo jalan ditelannya dimuntahkan bersama darah. Cepat ia meraih beberapa helai tissue. Calvin terbatuk ke dalam tissue, terperangah melihat darahnya sendiri.

Adica melompat bangun. Wajahnya berangsur cemas.

"Ayo ke rumah sakit. Sudah dua kali kamu berdarah."

Calvin menggeleng. Kalau dirinya ke rumah sakit malam ini, sama artinya ia merepotkan Adica dan meninggalkan Silvi.

"Bandel! Keras kepala! Ok fine, kalau kamu tidak mau ke rumah sakit! Aku panggilkan dokter lengkap dengan perawatnya ke sini!" omel Adica, dan dia benar-benar menelepon dokter saat itu juga.

Tubuh tinggi semampai itu rebah di sofa. Calvin menutup matanya sejenak, mengalah pada rasa sakit.

**   

-Fragmen Silvi

"Ayah ...Ayah."

Aku berjalan pelan menyusuri koridor. Gaun tidur berwarna biru muda melekat di tubuhku. Orang pertama yang kucari saat membuka mata di pagi hari adalah Ayah. Alih-alih Ayah, aku nyaris bertabrakan dengan seorang suster muda berbaju putih.

Aku mengucek mataku. Mungkinkah aku salah masuk? Ini rumahku kan, bukan rumah sakit?

"Dimana Ayah?" tuntutku tak sabar.

"Tuan Calvin tidur, Nona. Semalam kondisinya drop."

Hatiku mencelos. Secepat kilat kuhampiri kamar Ayah. Benar, Ayah terlelap dengan memakai selang putih di hidungnya. Pastilah selang itu untuk memperlancar pernafasannya.

Kucengkeram rambutku. Kutarik kunciran ekor kuda ponytail itu dengan kasar. Kalau sampai Ayah kenapa-napa, takkan kumaafkan diriku sendiri. Salahkulah Ayah begini. Ayah menemaniku dua belas jam di acara itu. Mengabaikan rasa lelah dan melewati jam tidurnya yang biasa.

Lama sekali Ayah tidur. Papa juga tak muncul. Kutolak tawaran Sonia yang ingin memasakkan sarapan untukku.

Kata-kata seorang perempuan berhijab di acara awarding para penulis kemarin masih terngiang di otakku. Apakah diriku cukup berharga? Tidak, diriku tidak berharga. Memenangkan award saja tidak becus. Aku tidak berharga.

Benteng pertahananku runtuh. Satu-satunya orang yang membuatku tenang tengah lelap saat ini. Pada jam-jam dimana Ayah tak bisa menemaniku, keinginan untuk menyayat tangan hingga berdarah kian menguat.

Dengan bibir terkatup rapat, kusayat tanganku. Darah menetes di karpet. Aku terus dan terus melukai tanganku. Mataku terpejam keenakan. Lega, lega rasanya setelah membuat tangan berdarah. Begitu nikmatnya sampai-sampai...

"Silvi Gabriella Tendean, cukup!"

Gawat, Ayah terbangun! Sekuat itukah ikatan batin di antara kami berdua hingga ia tahu kapan ia harus bangun untuk menjagaku?

Tanganku ditarik dalam genggaman Ayah. Ia menyentuh lembut luka-lukaku. Kutangkap kesedihan mendalam di wajah tampannya.

"Aku tidak berharga. Tanganku, kakiku, seluruh anggota tubuhku, dan hatiku, semuanya tak berharga." Aku meracau, menyembunyikan wajah di lengan Ayah.

"Tidak boleh menyebut diri begitu, Sayangku."

Aku meratap. Aku tak bisa membanggakan Ayah. Padahal Ayah telah berbuat banyak untukku. Masih terasa perih hatiku saat mengingat ucapan perempuan berhijab di acara semalam.

"Ayah ..."

"Iya, Sayang?"

Ayah membungkuk, mendekatkan wajah padaku. Kurasakan hangat nafasnya dan wangi tubuhnya begitu menenteramkan perasaanku.

"Aku tidak mau pisah dari Ayah," lirihku.

"Tidak, Sayang. Tidak ada yang memisahkan kita. Silvi jangan begitu lagi ya."

"Saat Ayah tidur, atau saat Ayah tak bisa menemaniku karena keperluan lain, keinginan untuk menyayat tangan sampai berdarah sangat kuat."

Saat kuutarakan hal itu, perasaan tak berharga terus mengusikku. Diriku memang tidak berharga. Tidak membanggakan. Tidak layak didengarkan.

Pelukan hangat Ayahku begitu meneguhkan. Ayah mencium keningku. Ia bernyanyi lembut.

Layaknya gelap malam

Yang indah karna bintang

Layaknya sang penyair

Yang elok karna puisi

Bagiku kau bintang

Selayak puisi

Tetaplah di sini, peri kecilku

Bagiku kau bintang

Selayak puisi

Temani aku selamanya, selamanya (Sheila on 7-Temani Aku).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun