Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Ngana Pe Kenangan Barasa di Hati

27 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 27 Agustus 2019   06:05 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Luka.

Luka.

Luka.

Luka di tangan Ayah Calvin telah berhenti berdarah.


Darahnya telah mengering. Tidak terasa sakit lagi. Bukannya telah sembuh, melainkan telah mati rasa. Pria tampan berkacamata itu membiasakan diri untuk dilukai berkali-kali oleh anak semata wayangnya.

Rasaku telah mati untukmu

Diri ini terluka demi dirimu

**  

Jose memalingkan wajah. Ia tidak bersalah, tetapi sedih memandangi luka baru di tangan Ayahnya. Kan Ayahnya yang meerelakan diri.

Sepertiga malam itu sehangat biasanya. Ayah Calvin membelai rambut Jose dengan tangan kanannya yang tidak terluka. Mengapa, mengapa luka dibalas dengan belaian?

"Nanti Ayah pergi sebentar. Is it ok?" tanya Ayah Calvin.

"Kemana?" Jose bertanya balik, sedih.

"Ke airport. Jemput Bunda Alea."

Mendung menghias wajah tampan Jose. Tak bisakah Ayah Calvin sehari saja tidak meninggalkannya sendirian?

"Jose akan sendirian..." lirihnya.

"Tidak, Sayang. Jarak rumah kita dengan airport bisa ditempuh dengan cepat. Lagi pula, kita masih bisa e-mail, video call, atau chatting. Airport bukan hutan, ada sinyal internet di sana."

Suara lembut Ayah Calvin tak cukup mengobati getir di hati Jose. Pemuda cilik berhidung mancung dan bermata sipit itu berbalik memunggungi Ayahnya. Belaian sang ayah turun perlahan, dari rambut ke punggung. Jose tetap bergeming. Menatap mata Ayahnya pun enggan.

"Ayah akan lebih banyak bersama Bunda." Jose bergumam sendiri.

"Tidak, Sayangku."

"Ayah akan lebih banyak bersama Bunda." ulang Jose sedih.

Harus berapa kali Ayah Calvin berkata tidak untuk membuat buah hatinya percaya? Tidak, dia takkan membuang energi untuk mengatakannya. Jose hanya perlu bukti.

Dan...lihatlah. Sepanjang sisa malam itu, Jose tak mau ditinggal. Ayah Calvin tidak boleh turun dari ranjangnya. Tubuh Jose yang mulai merapuh akibat terjajah obat-obat keras penghambat pertumbuhan polisitemia vera menolak terlelap.

Berjam-jam Ayah Calvin berbaring menemani Jose. Sesuatu terlupa, lolos dari ingatan. Peduli amat. Yang terpenting Jose lebih tenang dan bisa ditinggal sebentar.

Malam berganti pagi. Ayah Calvin memaksakan diri bangun dan menyiapkan sarapan. Jose lekat mengikuti sang ayah dengan kursi roda otomatisnya. Begitulah kebiasaan baru Jose sejak dia sakit dan harus terapi.

Jose memperhatikan dengan kagum saat Ayahnya memotong daging dan sayuran. Pisau digerakkan dalam gerakan berulang. Potongan-potongan daging, wortel, dan tomat begitu rapi. Ayah serba bisa, pikir Jose takjub.

"Hei keapa, Sayang? Liatin Ayah kayak gitu?" Ayah Calvin tersenyum, tak habis pikir dengan tingkah anaknya tiap pagi.

"Siapa tahu ini pagi terakhir Jose sama Ayah. Kalo kita pisah, nanti di sana Jose bisa kenang Ayah terus."

Sepotong es menoreh hati Ayah Calvin. Mengapa Jose selalu bicara tentang pagi terakhir? Belum, waktunya belum sedekat itu.

Sejak sakit, Jose hanya mau makan masakan Ayahnya. Kebiasaan yang sama selalu berulang, terlebih setelah terapi: ia akan menempel Ayahnya yang tengah memasak. Ayah Calvin tak kuasa meminta Jose berhenti melakukan itu.

Pagi yang menyenangkan buat Jose. Ayah Calvin menyuapinya. Dua chapter dalam buku kesukaannya dibacakan sang ayah dengan suara lembut nan empuk. Anak yang dulunya suka traveling itu pun menyelesaikan setengah part untuk draf naskah bukunya yang kesekian.

Menjelang siang, Ayah Calvin pamit. Pria berjas hitam itu melangkah ragu. Dari atas ranjang king size, Jose melempar pandang penuh harap ke arah Ayah Calvin. Amat berharap sang Ayah tidak pergi.

"Ayah pergi sekarang ya. Jaga dirimu, Sayangku. Ayah tidak mau ada luka lagi, ok?"

Tidak ada kata 'ok'. Masih meragu, Ayah Calvin memeluk Jose dan mencium keningnya.

**   

Maafkan diriku yang takkan pernah bisa

Mencoba 'tuk melepaskan kamu

Terlalu sulit bagi diriku

Kini kusadari

Tak ada yang mengerti

Namun kusendiri

Tak ada yang temani

Aku tak bisa bayangkan

Kau hilang tanpa alasan

Kuharap kau masih pikirkanku

Tuhan, kembalikan dia padaku (Devano Danendra-Cintaku Hilang).

Piano berdenting lembut. Jari-jari mungil yang memainkannya bergetar menahan kesedihan. Ayah Calvin telah pergi. Pergi untuk memperhatikan orang lain. Lupakah Jose bahwa mulai saat ini dia harus rela berbagi cinta? Usai bermain piano, Jose memundurkan kursi rodanya.

Kursi roda otomatis itu jadi teman setianya. Semoga bukan untuk selamanya. Tak terbayangkan betapa menderitanya bila terus bergantung pada benda satu ini. Jose masih ingin mengelilingi tempat-tempat indah di seluruh dunia. Jose masih ingin bermain basket. Dan Jose masih ingin berlari dengan kakinya sendiri.

Sendiri, di dalam BMW putih yang melaju cepat ini, Ayah Calvin merindukan dua sosok yang paling dicintainya: Jose dan Bunda Alea. Keduanya begitu berharga. Jangan minta Ayah Calvin memilih.

Memilih Bunda Alea, itulah yang Ayahnya lakukan. Jose menyadari satu hal. Kini Ayahnya telah beristri. Cinta harus dibagi. Relakah ia bagi cinta sang ayah untuk Bunda Alea?

"Alea..."

Wanita berwajah amat cantik dengan rambut pendek itu melangkah anggun ke pelukan Ayah Calvin. A-line dress berwarna putih yang dikenakannya membuat penampilannya kian jelita. Lengan mulus Bunda Alea melingkar di leher pendamping hidupnya.

Jas hitam bertemu a-line dress putih. Ketampanan bertemu kecantikan. Malaikat bertemu putri. Pengusaha bertemu model. Mantan anggota marching band bertemu mantan gadis sampul. Calvin Wan bertemu Alea Cattleya.

"Miss you," bisik Bunda Alea.

"Me too."

Tes.

Darah segar mengalir dari hidung Ayah Calvin. Cemas, Bunda Alea mengusapkannya dengan tissue.

"Calvin, darah..."

Darah, Jose tersenyum puas. Jarum besar di tangannya terlempar. Luka baru terpahat di tangan kirinya.

Tangan Ayah Calvin menggandeng mesra istrinya. Selepas dari bandara, mereka mengunjungi supermarket. Bunda Alea membeli beberapa kotak coklat. Katanya, ia tak sempat membeli sesuatu untuk Jose selama lawatannya ke kota pelajar. Sekaranglah ia mengganti bentuk perhatiannya.

"Kamu perhatian sekali pada anakku...thanks ya." puji Ayah Calvin saat mereka berdiri menunggu di depan meja kasir.

"Anak kita, Calvin. Dan kau tak perlu berterima kasih." ujar Bunda Alea lembut.

Kali kedua, Bunda Alea merasakan dekapan hangat suaminya. Kasir yang tengah menghitung belanjaan, berpaling. Tak habis pikir mendapati Ayah Calvin tanpa ragu pamer kemesraan di tempat seterbuka ini.

Mata Bunda Alea tertumbuk ke televisi yang tergantung di atas kepala kasir. Sebuah lagu terputar. Bibirnya bergerak ikut menyenandungkan lagu.

"Ngana pe kenangan barasa di hati..."

"Ngana pe kenangan barasa di hati..." Jose menggumamkan lirik itu. Bahasa yang sama, bahasa dari etnis asal mendiang ibu kandungnya. Bahasa Manado memang indah.

"Indah sekali lagunya, Alea."

"Iya, Calvin. Tersimpan Di Hati dinyanyikan dalam dua belas bahasa."

Kaki mereka menjejak basement. Ketika akan membuka pintu mobil, Ayah Calvin merasakan sakit luar biasa. Sakit yang membuat Bunda Alea cemas dan mrebut paksa kunci mobil dari tangannya. Tidak, mana mungkin Bunda Alea biarkan Ayah Calvin menyetir?

Ayah Calvin bersandar letih di tempat duduk mobil yang nyaman. Bunda Alea mengemudi di sampingnya, tak mampu menyembunyikan gemuruh kekhawatiran. Berulang kali Ayah Calvin meminta maaf.

Setengah perjalanan, Ayah Calvin muntah darah. Balon kecemasan di dada Bunda Alea menggelembung. Nyaris saja mobilnya ia belokkan ke rumah sakit, tetapi tak jadi. Ia paham ada yang lebih penting di mata Ayah Calvin.

**   

"Jose...kenapa Ayah tinggal sebentar rumah jadi kapal pecah begini?"

Jose memajukan kursi rodanya. Mata sipitnya beradu dengan mata sipit bening milik sang ayah.

"Memangnya Ayah pernah berada di dalam kapal pecah?" tanyanya kaku.

"Jose Gabriel Calvin! Ayah serius!" kata Ayah Calvin tegas.

"Jose juga serius. Ayah masih pikirin Jose ya."

Kemarahan menggores hati Ayah Calvin. Bagaimana tidak, ia baru saja melihat luka baru di tangan putra tunggalnya. Sebentuk luka yang mengucurkan darah.

"Kenapa kamu lakukan lagi?" Ayah Calvin mengerang putus asa.

Amarahnya berganti dengan kesedihan. Ayah Calvin pulang cepat demi Jose, mengabaikan tubuhnya sendiri demi Jose. Tetapi hasilnya...?

"Jose kesepian. Luka bikin Jose lebih tenang." ungkapnya.

"Luka tidak akan mengobati kesepian, Sayangku."

Detik berikutnya, Jose telah berpindah posisi ke pelukan Ayah Calvin. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas membelai penciumannya. Benarkah luka tidak mampu mengobati kesepian?

"Jose kesepian! Ayah cinta sama Bunda Alea aja! Ayah nggak cinta lagi sama Jose!"

"Itu tidak benar. Ayah selamanya akan tetap jadi milik Jose. Bunda Alea dan Jose sama pentingnya buat Ayah."

Dari balik kaca partisi, air mata Bunda Alea jatuh. Ternyata ini sebabnya. Sebab mengapa Jose memberantaki rumah dan melukai diri. Apakah ia telah membuat Jose patah hati luar biasa? Salahkah pernikahannya dengan Ayah Calvin?

Bunda Alea terlanjur mencinta. Dulu, sekarang, dan seterusnya ia mencintai Ayah Calvin.

Tapi...

Bila cinta ini melukai hati yang lain...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun