Dan...lihatlah. Sepanjang sisa malam itu, Jose tak mau ditinggal. Ayah Calvin tidak boleh turun dari ranjangnya. Tubuh Jose yang mulai merapuh akibat terjajah obat-obat keras penghambat pertumbuhan polisitemia vera menolak terlelap.
Berjam-jam Ayah Calvin berbaring menemani Jose. Sesuatu terlupa, lolos dari ingatan. Peduli amat. Yang terpenting Jose lebih tenang dan bisa ditinggal sebentar.
Malam berganti pagi. Ayah Calvin memaksakan diri bangun dan menyiapkan sarapan. Jose lekat mengikuti sang ayah dengan kursi roda otomatisnya. Begitulah kebiasaan baru Jose sejak dia sakit dan harus terapi.
Jose memperhatikan dengan kagum saat Ayahnya memotong daging dan sayuran. Pisau digerakkan dalam gerakan berulang. Potongan-potongan daging, wortel, dan tomat begitu rapi. Ayah serba bisa, pikir Jose takjub.
"Hei keapa, Sayang? Liatin Ayah kayak gitu?" Ayah Calvin tersenyum, tak habis pikir dengan tingkah anaknya tiap pagi.
"Siapa tahu ini pagi terakhir Jose sama Ayah. Kalo kita pisah, nanti di sana Jose bisa kenang Ayah terus."
Sepotong es menoreh hati Ayah Calvin. Mengapa Jose selalu bicara tentang pagi terakhir? Belum, waktunya belum sedekat itu.
Sejak sakit, Jose hanya mau makan masakan Ayahnya. Kebiasaan yang sama selalu berulang, terlebih setelah terapi: ia akan menempel Ayahnya yang tengah memasak. Ayah Calvin tak kuasa meminta Jose berhenti melakukan itu.
Pagi yang menyenangkan buat Jose. Ayah Calvin menyuapinya. Dua chapter dalam buku kesukaannya dibacakan sang ayah dengan suara lembut nan empuk. Anak yang dulunya suka traveling itu pun menyelesaikan setengah part untuk draf naskah bukunya yang kesekian.
Menjelang siang, Ayah Calvin pamit. Pria berjas hitam itu melangkah ragu. Dari atas ranjang king size, Jose melempar pandang penuh harap ke arah Ayah Calvin. Amat berharap sang Ayah tidak pergi.
"Ayah pergi sekarang ya. Jaga dirimu, Sayangku. Ayah tidak mau ada luka lagi, ok?"