Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Ke Manakah Wajah Tampan Itu?

10 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 10 Juli 2019   09:26 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemanakah Wajah Tampan Itu?

Jose mimpi buruk. Ia bermimpi menjadi Keke, tokoh utama dalam novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Dikisahkan, Keke mengidap Rabdomyosarcoma.

Kenapa ada bola tenis menempel di wajahnya? Kenapa wajahnya jadi jelek begini? Seisi sekolah menatapnya ngeri. Rerata murid menuduhnya mengidap penyakit menular.


Mimpi buruknya serasa akan berlarut-larut. Syukurlah Jose dibangunkan dering iPhone. Tlepon Ayah Calvin di pagi hari jadi penyelamat.

"Good morning, Son." Ayah Calvin menyapa hangat.

Jose tak menjawab. Ia mengerjapkan matanya. Mengusir bayangan wajah mengerikan dengan pembengkakan sebesar bola tenis.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

Rasanya Ayah Calvin seperti bicara sendiri. Tak satu pun ucapannya ditanggapi. Jose tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Sayup didengarnya helaan nafas berat. Masih saja Jose tak peduli. Pikirannya dipenuhi rasa takut. Akankah wajah tampannya berubah menjadi jelek? Bila itu terjadi, Jose tak tahu harus bagaimana.

"Sekarang kamu siap-siap ke sekolah ya, Nak. Ayah sayang Jose." tutup Ayah Calvin.

Benda silver itu melayang ke kasur empuk. Jose bergegas mandi. Iseng-iseng ia bercermin. Normal, semuanya normal. Wajah, kulit pipi, mata, hidung, dan bibirnya tetap proporsional. Walau belum dewasa, Jose bisa membedakan mana wajah tampan dan mana yang tidak.

Selesai berpakaian, Jose turun ke lantai bawah. Kecewa hatinya karena tak ada Bunda Alea. Bunda Alea sibuk pagi itu. Ia hanya datang sebentar, mengantarkan kotak sarapan, lalu pergi lagi. Ketiga pengasuh menghiburnya. Masih banyak waktu untuk bertemu Bunda Alea, begitu kata mereka. Jose menghabiskan sarapan dan meminum obatnya tanpa semangat.

Jelas ini bukan pagi yang menyenangkan. Mimpi buruk, telepon dari Ayahnya yang menyebalkan, dan ketiadaan Bunda Alea. Jose ragu, sisa harinya akan terlewati dengan indah.

Buku-buku pelajaran dibacanya epsanjang perjalaann. AC di dalma mobil terasa lebih dingin. Namun Jose tak mengeluh, dan lebih memilih tenggelam dalam bacaannya. Saat itulah dia mulai merasakan ada yang aneh di wajahnya.

Sisi wajahnya terasa gatal. Rasa panas menjalari sebagian pipinya. Apa lagi kali ini?

Dada Jose bergemuruh gelisah. Tidak, jangan sampai mimpi buruknya menjadi kenyataan. Bukankah penyakit Jose Polisitemia vera? Jose tidak sakit kanker jaringan lunak.

Kegelisahan ini mengantarnya sampai sekolah. Di halaman, anak-anak melempar pandang penuh arti ke arahnya. Jose bingung. Mengapa mereka menatapnya seperti itu?

Lain, beda dari tatapan biasanya. Kalau tatapan kagum, Jose sudah biasa. Pandangan mereka sungguh misteri.

"Pagi, Jose." Steven menghampirinya, tersenyum cerah.

Jose tersenyum terpaksa. Masih resah karena dipandangi banyak anak. Steven menepuk-nepuk punggungnya.

Rasa terima kasih pada Steven mengaliri hati Jose. Hanya Steven yang tidak memandangnya aneh. Anak pekerja keras itu mengajaknya ngobrol seperti biasa.

"...Minggu besok, aku jadi putra altar. Kamu mau liat aku jadi Misdinar nggak?" celoteh Steven.

"Memangnya boleh?" Jose bertanya balik.

"Boleh kok. Bulan kemarin ada dua kakak-kakak berhijab datang ke Misa. Romo bolehin mereka duduk di bangku umat."

Wow, menarik. Waktu ketiga sahabatnya masih hidup, Jose hanya mengantar mereka sampai ke halaman rumah ibadah. Tidak sampai menyaksikan prosesi ibadahnya.

Tak sempat Jose menerima tawaran menarik ini. Terdengar kegaduhan di koridor. Silvi, Sharon, dan anak-anak perempuan berlarian sambil meneriakkan sesuatu.

"Ayah Calvin datang! Ayah Calvin datang!"

"Jose, itu Ayahmu." Steven menyikut rusuknya, tapi Jose tak bergeming.

Biarkan saja. Dia tak mau bertemu Ayahnya. Bukankah Ayah Calvin mengabaikannya?

Alih-alih Jose, Stevenlah yang antusias. Kedua kakinya digerakkan secepat mungkin menyusul para murid. Tak sabar ingin bertemu pemberi beasiswanya.

Diam-diam Jose menyaksikan para murid begitu dekat dengan Ayah Calvin. Mereka berebutan memeluk pria tampan berkacamata itu. Ayah Calvin tak keberatan jas mahalnya kotor kena keringat, ingus, dan air mata siswa-siswinya. Mereka rindu Ayah Calvin. Rindu diajar musik olehnya, rindu curhat padanya, dan rindu mendengar solusi cerdasnya. Khusus anggota marching band, mereka rindu semangat yang dilontarkan sang mentor.

Ayah Calvin pucat sekali, bisik hati Jose. Mungkin Ayahnya memaksakan diri datang ke sekolah di tengah masa perkabungan. Ayah Calvin datang demi cinta pada murid-muridnya.

Lima belas menit kemudian, Steven kembali ke kelas. Wajahnya bercahaya. Sebatang coklat tergenggam di tangan.

"Jose, Ayah kamu baik banget. Semua anak dikasih coklat." pujinya.

Ah, itu biasa. Ratusan kali Jose mendengar orang-orang memuji Ayahnya. Ayah Calvin memang baik hati dan lembut, seperti malaikat. Hmmmm, malaikat mana yang membiarkan anak sakit sendirian?

**   

Pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung menyenangkan. Hari ini, guru menyuruh mereka menulis cerita. Jose sangat menikmati. Menulis cerita, ini keahliannya.

Sebagian besar anak kesulitan merangkai kata. Mereka tak terbiasa menulis. Dengan senang hati, Jose membantu teman-temannya. Bukan membantu memberi contekan, tetapi mengajari mereka merangkai kata menjadi cerita yang indah.

Selalu saja begitu. Puluhan kali, sepanjang tahun, Jose membantu teman-temannya soal pelajaran. Dia tak pelit ilmu. Anak yang hampir selalu juara kelas itu membuat gurunya bangga. Bangga dengan tulisannya yang bagus, bangga pula dengan kebaikan hatinya.

"Kamu benar-benar mirip Ayahmu, Jose. Pintar dan baik hati." puji guru setengah baya berkacamata itu.

Biasanya Jose senang disamakan dengan Ayah Calvin. Kali ini tidak.

Ada lagi yang tidak senang: Adi. Anak nakal itu menengadah dengan wajah iri. Tanpa ragu, dia berseru lantang.

"Mendingan aku nggak bisa nulis cerita daripada kena bintik-bintik merah di wajah!"

Mendengar itu, Jose terperangah. Kelas hening total seolah tak ada yang bernafas. Jadi, itu sebabnya? Mengapa rasa panas menjalari wajah dan kulit pipinya? Mengapa orang-orang menatapnya aneh? Jelas mereka jijik. Jose Gabriel Calvin yang tampan mendadak berubah.

Steven memegang erat tangannya. Jose melepasnya kasar. Tanpa kata, Jose berlari meninggalkan kelas. Sementara lupa dengan norma kesopanan.

Di luar kelas, Jose bingung harus mengadukan sedih dan malunya kemana. Tak terpikir olehnya untuk ke ruang musik atau lapangan basket. Justru satu ruangan di sayap kanan gedunglah yang diingatnya. Jose pun mengarahkan kakinya ke sana.

Tangannya gemetar hebat saat mengetuk pintu ruangan direktur. Pikirnya, pemilik ruangan itu pasti masih mengajar. Ternyata...

"Jose, Sayang, ada apa?"

Pintu mengayun terbuka. Ayah Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Jose.

Didatangi anak yang bermasalah bukan hal baru baginya. Ayah Calvin terbiasa mendengarkan curhatan, mendamaikan pertengkaran, dan memberi konseling untuk anak-anak didiknya. Tiap kali hari mengajarnya tiba, ada saja beberapa anak yang datang padanya.

Selama sepersekian menit Jose terdiam. Seluruh kata terkunci di ujung lidahnya. Tidak, dia tak mau bicara. Dirinya masih terlalu kecewa dengan Ayah Calvin. Ayah Calvin yang terlalu lama meninggalkannya.

"Sayang...anakku, kamu pasti tidak suka break out di wajahmu ya? Ini salah satu gejala Polisitemia vera, Nak. Dokter Tian sudah pernah cerita sama Ayah." Seraya berkata begitu, Ayah Calvin menyentuh pelan wajah Jose.

Masih tak ada kata terlontar. Ayah Calvin menarik nafas dalam, lalu menuntun putra tunggalnya masuk. Ia dudukkan Jose di sofa, tepat di samping upright piano.

"Ayah tahu ini berat. Tapi masih bisa disembuhkan. Nanti kita minta Dokter Tian memberi obat untuk menghilangkannya ya..."

Lagi, untuk kesekian kali, Ayah Calvin bicara sendiri. Diam-diam ayah satu anak itu tersiksa. Sampai kapan Jose mendiamkannya?

"Ayah mau kok tukar jiwa sama Jose. Biar Ayah aja yang rasain sakitnya." tuturnya lembut.

Jari-jari lentik Ayah Calvin menari di atas piano. Ia nyanyikan lagu untuk Jose.

Aku kehabisan cara tuk jelaskan padamu

Mengapa sulit tuk lupakanmu

Aku kehabisan cara tuk gambarkan padamu

Kau di mata dan di pandanganku huu uuu

Coba satu hari saja kau jadi diriku

Kau akan mengerti

Bagaimana ku melihatmu, mengagumimu, menyayangimu

Dari sudut pandangku, dari sudut pandangku

Aku kehabisan cara tuk gambarkan padamu

Kau di mata dan di pandanganku

Seandainya satu hari bertukar jiwa

Kau akan mengerti dan berhenti bertanya-tanya

Coba satu hari saja kau jadi diriku

Kau akan mengerti

Bagaimana ku melihatmu, mengagumimu, menyayangimu (Tulus-Tukar Jiwa).

Dengan hati diliputi ragu, Ayah Calvin memeluk Jose. Dikiranya sang anak akan memberontak melepaskan diri. Jose tetap diam, diam sediam-diamnya. Ayah Calvin mengelus-elus punggung Jose.

"Buat Ayah, Jose tetap tampan. Bintik-bintik merah itu tidak akan memudarkan ketampanan wajah kamu. Jangan rendah diri, Nak. Kamu masih punya hati yang tampan." kata Ayah Calvin membesarkan hati.

**   

Malamnya, Bunda Alea datang ke rumah Ayah Calvin. Dia sedih melihat kondisi Jose. Ditutupinya kesedihan itu rapat-rapat.

Jose tenang di dekat Ayah-Bundanya. Bunda Alea mengelus wajahnya yang sakit agar membaik. Elusan Bunda Alea dan pelukan Ayah Calvin, obat peringan rasa sakit yang sangat mujarab.

"Sabar ya, Sayangku. Sebentar lagi kita akan tinggal bersama. Bunda akan selalu ada di samping Jose..." janji Bunda Alea.

Tangan Jose merengkuh jemari halus Bundanya. "Bunda nggak akan tinggalin aku, kan?"

"Nggak kok. Bunda sayang Jose, apa pun keadaannya."

Percayalah, Jose takkan berjalan sendirian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun