Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Dear Malaikat Izrail] Kesepian, Peluklah Aku

7 April 2019   06:00 Diperbarui: 7 April 2019   06:02 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Anemone123 from Pixabay

Kesepian, Peluklah Aku

Punggungnya sakit, sakit sekali. Hantaman peluru membuat tubuh Andrio berdarah-darah. Ia ingin berteriak, tapi tak bisa. Tenggorokannya serasa ditusuk ratusan pisau panas. Perih dan menyakitkan.

Sepasang lengan kokoh menariknya menjauh. Apakah ini kematian? Ataukah kesepian? Andrio serasa jatuh, jatuh begitu dalam.

Samar masih dilihatnya orang-orang berbaju hitam menembaki masjid, meledakkan gereja dengan bom, dan melempari vihara dengan granat. Mereka kejam, sangat kejam. Andrio ingin melawan mereka, ingin mencegah mereka. Namun, tubuhnya telah terjatuh teramat dalam.

Sakitnya tak tertahankan. Kini, tubuhnya bagai dilempar ke dasar kolam yang sangat dingin. Kolam apa ini? Mengapa airnya berwarna merah?

Ya, Allah, bahkan kemoterapi tak sesakit ini. Andrio teringat sesi terakhir kemoterapinya. Saat itu, kondisinya lebih parah dari biasanya. Ia muntah berulang kali dan menolak makan.

"Andrio...anak ganteng...ayo makan, Sayang. Sedikit...aja." Ayah Calvin membujuknya dengan lembut. Andrio menurut. Walaupun setelahnya ia memuntahi jas mahal milik Ayah Calvin.

Ayah Calvin, malaikat pelindungnya. Ayah Calvin, pengganti Mommy. Air mata Andrio meleleh.

Kolam menghilang. Anak ganteng itu kini berdiri di lorong panjang kebiruan. Sepi sekali. Andrio melangkah pelan memutari lorong, mencari orang-orang yang disayanginya. Ia terus berjalan meski kesakitan.

"Aduh..." rintih Andrio.

"Teman-teman ada dimana ya? Apakah mereka baik-baik saja?"


Mencoba tuk pahami

Mencari celah hatimu

Bila harus menangis

Aku kan menangis

Namun air mata

Kini telah habis

Segalanya telah kuberikan

Tapi kau tak pernah ada pengertian...

Putus asa, Andrio bernyanyi. Lagu kesedihan yang terlintas di kepalanya. Ia mencari dan terus mencari.

Jose, Livio, Hito. Kemanakah mereka? Dan Ayah Calvin...kemanakah Ayah terbaik yang pernah dikenalnya?

"Aku harus bertahan. Demi Jose, demi Andrio, demi anak-anak yang butuh aku."

Terngiang perkataan Ayah Calvin yang pernah didengarnya. Ya, Ayah Calvin pasti masih ada. Tapi, dimana teman-temannya?

"Jose, Livio, Hito! Kalian dimana?" Andrio berseru memanggil-manggil mereka.

Lorong panjang ini sunyi sekali. Dingin pula. Tangan Andrio membekap dadanya, kedinginan.

Lelah berlari, Andrio menjatuhkan diri di dekat tembok. Temboknya pun sangat dingin. Tempat apa ini? Mengapa menakutkan sekali?

Andrio muntah darah. Sakit ini makin terasa. Ia ingin segalanya berakhir...ingin pergi dari sini, ingin menutup mata untuk selamanya.

"Jose...Livio...Hito." erangnya.

Mata Andrio tertumbuk ke arah dua pintu besar di ujung lorong. Kedua pintu itu terbuka lebar. Pintu pertama memperlihatkan ruangan luas penuh kobaran api. Serombongan malaikat berwajah seram memukul, mencambuk, dan menggantung terbalik orang-orang di dalamnya. 

Di antara ratusan orang yang disiksa di ruangan penuh nyala api itu, Andrio bisa melihat tiga orang berpakaian hitam. Mereka menjerit-jerit saat tubuh mereka terbakar, terpukul, tercambuk, dan tergantung terbalik. Kaki di bawah, kepala di atas. Teriakan tiga orang itulah yang paling keras.

"Itu mereka..." lirih Andrio.

Dia takkan pernah melupakan ketiga orang berbaju hitam itu. Merekalah yang melubangi punggungnya dengan peluru-peluru. Merekalah yang menghancurkan gereja, masjid, dan vihara. Tiga orang itu telah dihukum.

Perlahan Andrio mengalihkan tatapan ke pintu kedua. Tampak sebuah taman luas disinari cahaya mentari. Taman itu indah sekali. Penuh bunga, bangku-bangku berukir, dan sungai susu. Sungai susu? Persis yang digambarkan dalam kitab suci. Sebuah meja besar di tengah taman penuh berisi buah-buahan dan makanan lezat lainnya.

Tapi, kenapa taman itu kosong? Berbeda jauh dengan ruangan penuh kobaran api menyala-nyala. Susah payah Andrio bangkit. Ingin sekali bermain di taman itu. Mungkinkah Jose, Livio, dan Hito ada di dalam sana?

Brak!

Pintu pertama dibanting menutup. Entah kenapa, Andrio merasa lega. Ia telah terpisah dari orang-orang yang membenci perbedaan. Buat apa hidup bila tak bisa menerima perbedaan? Mereka layak dihukum seperti itu.

Terhuyung ia berjalan memasuki pintu kedua. Dugaannya keliru. Tak ada Jose, Livio, dan Hito. Kelegaannya berganti kekecewaan.

"Kalian dimana? Kalian dimana?" Andrio terus bertanya-tanya.

Sejak memasuki taman, hatinya terasa begitu tenang. Taman ini sepi dan menenangkan. Rasa sakitnya lenyap. Bahkan Andrio merasa lebih sehat daripada sebelum ia terkena leukemia.

Tapi tetap saja Andrio rindu Ayah Calvin dan sobat-sobatnya. Masih ada dorongan kuat untuk mencari mereka. Cepat-cepat dia kembali ke lorong. Dilihatnya bercak darahnya sendiri menodai lantai. Hati kecilnya mengatakan, dia takkan bertemu mereka dalam waktu lama. Lalu sampai kapan?

Tiba-tiba terdengar suara isakan. Ia menoleh ke belakang. Jose, itu Jose! Berdiri dengan wajah sembap dan mata merah. Tergesa Andrio mendekat, hendak memeluknya. Tapi...kenapa Jose tak bisa dipeluk?

"Andrio, jangan pergi." Jose terisak-isak.

"Aku di sini, Jose. Aku di sini..."

Jose terus bicara, seakan tak mendengar suara Andrio. Tak hentinya Jose terisak dan memohon Andrio untuk tidak pergi.

Sesaat Andrio kebingungan. Ia ada di sini, tepat di depan Jose. Kenapa Jose memintanya tidak pergi?

Sepasang tangan besar menariknya kembali ke taman. Andrio terjatuh di rumput. Jose tak ada lagi. Kini, hanya dia sendiri, sendiri di taman indah ini.

Bila kesepian itu lebih baik...

Bila sepi ini menghapus rasa sakit dan penderitaan tak berujung...

Baiklah.

Meski Andrio teramat rindu Ayah Calvin, Jose, Livio, dan Hito.

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun