Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial, Sayang

22 Maret 2019   06:00 Diperbarui: 22 Maret 2019   06:11 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Semesta Dokter Tian-

Atmosfer cafetaria rumah sakit berubah tegang. Berpasang-pasang mata menatap keheranan ke arah meja no. 9. Keluarga pasien, pembesuk, dan paramedis diam-diam menyimak pertengkaran kecil dua dokter senior itu.

"Aku tak mengerti jalan pikiranmu, Tian."

Dokter Anastasia mengepalkan kedua tangan. Dipandangnya wajah Dokter Tian dengan mata menyala.

"Pasien kafir kautolong. Pasien BPJS kausayang-sayang. Dokter Katolik kaugantikan tugasnya, padahal kau sendiri kurang tidur."

"Diam!" sergah Dokter Tian marah. Satu tangannya menggebrak meja. Cake coklat dan pai apel berlompatan ke lantai.

"Apa hakmu mengatur-aturku, Anastasia? Terserah aku mau menolong siapa!"

Gelembung kemarahan pecah. Kedua bahu Dokter Anastasia bergetar. Air mata membasahi pipi putihnya. Sakit, sakit hatinya dibentak kolega yang juga suaminya itu.

"Dan jangan sebut mereka kafir! Aku tidak suka!"

Isakan terlontar dari bibir Dokter Anastasia. Dokter Tian memalingkan wajah. Ia malu punya istri rasis dan intoleran. Terus saja begini tiap kali Dokter Tian menolong pasien non-Muslim dan nonpribumi. Pertengkaran berulang saat Dokter Tian membantu teman seprofesinya yang harus mengikuti Misa Prapaskah. Mengapa kebaikan hatinya selalu disalahpahami?

"Anastasia, mengapa kau benci pasien BPJS? Mengapa kau benci pasien non-Muslim dan nonpribumi? Apa salah mereka?" tanya Dokter Tian interogatif.

"Bagiku, BPJS sama dengan riba. Dan pasien-pasien anehmu itu...hmmmm, mereka tak pantas ditolong. Biar saja mereka mati dan membusuk di neraka."

Sungguh keterlaluan. Sisa warna di wajah Dokter Tian lenyap. Kemarahannya sirna. Tergantikan kesedihan, kesedihan teramat dalam. Selama berumah tangga, dia tidak pernah mengajari istrinya bersikap rasis. Mengapa jadi begini?

Enggan melanjutkan pertengkaran, Dokter Tian bergegas meninggalkan cafetaria. Ia melangkah setengah berlari ke taman rumah sakit. Mengabaikan seruan Dokter Anastasia. Beginilah repotnya beristrikan rekan kerja.

Bangku taman telah menunggu. Dokter Tian mengenyakkan tubuh di atasnya. Ia tuliskan larik-larik puisi di atas sehelai kertas. Tak puas, onkolog itu bangkit. Meraih sesuatu dari dalam tas biolanya. Sekejap kemudian, terdengar alunan musik membelah keheningan taman rumah sakit. Dokter Tian bernyanyi lembut.


Aku memang tak berhati besar

Untuk memahami hatimu di sana

Aku memang tak berlapang dada untuk menyadarii...

Diam-diam Dokter Anastasia menyusul suaminya ke taman. Ia terpana, sempurna terpana mendengar lagu bertempo slow itu. Ah, sulitnya memahami Dokter Anastasia. Ia punya alasan sendiri untuk melarang Dokter Tian terlalu baik pada orang-orang yang berbeda.

Dengar dengarkan aku

Aku akan bertahan sampai kapan pun

Sampai kapan pun...

Air mata Dokter Anastasia berjatuhan.

"Tian...aku hanya tak ingin kau terlalu dekat dengan mereka." Bisiknya.

**    

-Semesta Calvin

Teori relativitas itu benar, benar adanya. Satu jam perjalanan dari rumah sakit ke lereng bukit terasa setahun. Calvin tak sabar ingin segera bertemu putranya.

Hamparan kebun teh memanjakan pandangan. Malaikat tampan bermata sipit berbahagia, langit pun ikut menampakkan cerahnya. Langit biru bersih tak berawan. Biru, sebiru mata anak itu. Anak yang dirindu-rindukannya seminggu terakhir.

Sedan putih itu terus meluncur menaiki perbukitan. Samar terlihat villa mewah bertingkat dua berhias air mancur dan kolam kecil. Sampai di halaman villa, Calvin menghentikan mobilnya.

Apa yang terjadi berikutnya sudah diduga. Begitu turun dari mobil...

"Ayah!"

Anak lelaki bermata biru itu melompati tangga marmer. Ia berlari dengan lengan terentang. Menjauh dari tiga pengasuhnya.

"Gabriel..."

Calvin siap, sungguh siap dengan sambutan hangat itu. Sedetik kemudian, anak tunggalnya sudah berada dalam pelukan. Binar bahagia terpancar jelas di mata biru seindah safir.

"Gabriel kangen Ayah." lirih Gabriel.

Jose Gabriel Calvin, permata hatinya. Hartanya yang paling berharga. Calvin mencintai anak itu lebih dari cintanya pada diri sendiri. Tak setetes pun darah Calvin mengalir di tubuh Gabriel. Namun, cinta Calvin tetap mengalir lembut untuknya.

Sejurus kemudian Calvin menggendong Gabriel. Memutarnya, pelan membisikkan.

"Selamat Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial, Sayang."

Kening Gabriel berkerut. Bola matanya membulat sempurna.

"Diskriminasi? Rasial? Makanan apa itu, Ayah?" tanyanya polos.

Mendengar itu, Calvin tertawa. Pelan mengacak-acak rambut anaknya.

"Itu bukan makanan, Sayang. Nanti kalau Gabriel sudah besar, Ayah akan cerita."

Gabriel merengut. Lucunya wajah anak itu.

"Ah, Gabriel udah besar! Cerita dong, Ayah!"

"Kamu itu masih minum susu. Kalo tidur masih minta dipeluk Ayah. Artinya kamu masih kecil." kata Calvin seraya mencubit hidung Gabriel.

Ingin Gabriel memprotes lagi. Namun, ia mengurungkan niat setelah menatap lekat wajah tampan sang ayah.

"Ayah kok pucat?"

Pada saat bersamaan, Calvin terbatuk. Gabriel terhenyak. Anak berwajah malaikat itu tahu, sesuatu telah terjadi pada ayahnya.

"Ayah sakit?" tanya Gabriel lagi, lembut menyeka noda merah di sudut bibir Calvin.

Sesaat Calvin menelan salivanya. Pria tampan berjas dark blue itu mengusap lembut rambut Gabriel.

"Ayah tidak apa-apa, Sayang. Jangan khawatir." ujarnya lembut.

"Tapi..."

"Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa."

Demi Nabi Yunus yang terlempar ke perut ikan, Calvin setengah mati merahasiakan kondisinya dari Gabriel. Malaikat kecilnya tak perlu tahu bahwa ayahnya memaksakan diri keluar dari rumah sakit. Semata hanya untuk merayakan hari Penghapusan Diskriminasi Rasial bersamanya. Semata demi melanjutkan tulisan-tulisan di blognya tentang politik dan isu rasial.

"Ayah...?"

"Iya, Sayang?"

"Jangan tinggalkan Gabriel."

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun