Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[3 Pria, 3 Cinta, 3 Luka] Komunitas Blasteran Cinta Indonesia

8 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 8 Februari 2019   06:02 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semesta Calvin-

"Abi kenapa?"

Calvin menjatuhkan kantong belanjaannya ke lantai. Ia baru saja berbelanja bahan makanan dan beberapa barang kebutuhan lainnya. Salah satu tugasnya sebagai caregiver. Belum semenit kembali ke rumah, didapatinya Abi Assegaf bersedih.

"Mimpi buruk..." Abi Assegaf mendesah putus asa, raut wajahnya terluka.

"Abi benci kegelapan. Abi takut tidak bisa melihat lagi."

Relung jiwa membuka pemahaman. Sebuah ketakutan yang beralasan. Hati Calvin serasa teriris. Sebegitu parahkah kondisi penglihatan Abi Assegaf?

"Hanya mimpi...semoga tidak terjadi." hibur Calvin.

"Bagaimana kalau benar-benar terjadi?"

"Aku akan menjadi mata untuk Abi."

Demi sang Buddha, Calvin serius dengan ucapannya. Tenang, tulus, dan lembut. Calvin siap menjadi mata untuk Abi Assegaf.

Ironis. Seharusnya hal itu dilakukan Adica. Mana mungkin berharap pada pemuda yang kelewat ambisius mengejar karier? Pasca hengkang dari radio, kabarnya Adica ditawari menjadi news anchor di sebuah stasiun televisi swasta. Ia juga digandeng label rekaman ternama untuk mengaransemen sejumlah lagu dalam bentuk violin version.

"Calvin, maafkan Abi..." lirih Abi Assegaf.

Kedua alis Calvin terangkat. "Untuk apa minta maaf?"

"Abi sering merepotkanmu. Padahal kamu punya kehidupan sendiri."

"Saya tidak merasa direpotkan. Anggap saja saya seorang anak yang merawat ayahnya."

Tentu saja. Di mata Abi Assegaf, Calvin sama seperti Adica. Kini permata hatinya tak hanya satu.

Melihat Abi Assegaf kembali tenang, Calvin lega. Paling tidak, Abi Assegaf bisa sejenak melupakan keresahannya.

Perlahan tapi pasti, Calvin menghapus kecemasan Abi Assegaf. Diingatkannya Abi Assegaf tentang acara temu kangen KBCI (Komunitas Blasteran Cinta Indonesia) beberapa jam lagi. Teringat hal itu, Abi Assegaf tersenyum cerah.

Pelan-pelan Calvin menuntun Abi Assegaf ke walk-in-closet. Dipilihkannya setelan jas untuk pria itu. Calvin pemuda fashionable. Penampilannya modis dan elegan. Berbanding lurus dengan wajah tampannya. Tak sulit baginya memilihkan jas yang bagus.

**   


Bersatulah semua

Bersama kita kan bisa

Beri yang terbaik

Tuk negeri ini

Bagai sinar mentari

Yang kan selalu menerangi

Ku kan selalu ada untukmu (Marcell-Nusantaraku).

Denting piano berpadu indah dengan suara lembut Calvin. Harmonis sekali. Sempurna membius audience di cafe bergaya klasik itu dengan kekaguman.

Persepsi mereka, penampilan ini telah disiapkan jauh-jauh hari. Nyatanya tidak. Di luar dugaan, Abi Assegaf telah membelikan jas baru untuk Calvin. Jas berwarna grey Dolce and Gabbana itu melekat pas mengikuti lekak-lekuk tubuhnya. Tak hanya itu. Abi Assegaf meminta Calvin bernyanyi dan bermain piano untuk membuka pertemuan KBCI.

Komunitas Blasteran Cinta Indonesia, komunitas yang dibentuk karena persamaan kasih. Orang-orang dari berbagai latar belakang profesi, etnis, dan agama berkumpul di sana. Mereka diikat oleh kesamaan nasib: terlahir blasteran.

Lihatlah, bisa dijumpai wajah-wajah hitam manis khas India. Wajah oriental dan mata segaris khas orang Tionghoa. Wajah-wajah rupawan berhidung mancung milik orang keturunan Timur Tengah. Berpasang-pasang mata biru, coklat, dan kelabu milik member berdarah Eropa. Mereka yang bertubuh tinggi, pendek, sedang, kurus, gemuk, berusia tua dan muda, dipersatukan kecintaan pada Indonesia.

Pertama kali komunitas ini diinisiasi Abi Assegaf. Agenda tahunan komunitas ini cukup fantastis: memperkenalkan budaya Indonesia di negara leluhur mereka. Sejauh ini, agenda mereka berjalan lancar. Makin banyak non-native yang bergabung.

Kecintaan pada Indonesia juga mereka wujudkan dengan membuat gerakan anti hoax. Mereka hanya mau membagikan berita dari media arus utama. Satu konvensi tak tertulis di antara mereka: jika ada anggota yang intoleran dan rasis, harus segera dikeluarkan.

"Permainan pianomu bagus sekali, anak muda." puji seorang wanita tua berambut lurus dan bermata sipit.

Calvin tersenyum menawan. Ia bergegas menyusul Abi Assegaf di meja utama. Terlihat pria itu tengah dikerumuni beberapa saudara seetnisnya. Tak ingin mengganggu, Calvin mengambil tempat duduk agak jauh.

Dari tempat duduknya, terlihat jelas halaman depan cafe. SUV merah baru saja menepi. Pintunya terbuka. Terlihat Adica turun dari mobil. Ia berjalan memutar, lalu membukakan pintu mobil sebelah kiri.

"Silakan, Ummi." kata Adica gallant,

Sesosok wanita anggun berambut coklat panjang turun dari mobil. Gaun brokat berwarna merah darah membalut tubuhnya. Calvin terperangah. Adica anggota komunitas ini juga. Lalu, wanita itu dipanggilnya Ummi. Berarti...

"Hei, caregiver fake. Kau di sini juga?"

Adica menepuk pundaknya keras-keras. Ditingkahi teguran halus Adeline. Untuk pertama kalinya Calvin melihat mantan istri Abi Assegaf.

"Iya. Saya menemani Abi, Tuan."

"Bagus. Jaga Abiku dengan baik. Kau sudah shalat?"

Mendengar itu, Calvin terkesiap. Dia belum siap menjawab.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Calvin terbatuk. Refleks ia meraih tissue dan menangkupkannya. Calvin terbatuk beberapa kali. Tepat pada saat itu, Adeline meliriknya cemas.

"Nak, kamu kenapa?" tanya Adeline lembut.

Helaian tissue dipenuhi noda darah. Calvin, Adica, dan Adeline terbelalak.

"Adica Sayang, cepat beri tahu Abimu." Adeline berkata cemas. Kekhawatiran tercermin di mata beningnya. Kekhawatiran khas seorang ibu.

"Tidak...tidak perlu. Saya baik-baik saja." Calvin mencegah, sedikit memaksakan diri.

Perasaannya berkecamuk. Ya, Tuhan, apa lagi kali ini? Mengapa ia mulai sering batuk? Awalnya ia kira hanya karena gejala flu dan efek cuaca yang tidak menentu. Bukan, ternyata bukan itu.

**    

-Semesta Tuan Effendi-

Sudah berulang kali ia bolak-balik ke lantai 27. Tujuannya hanya satu: mencari Calvin. Dalam hati Tuan Effendi memaki-maki dirinya sendiri.

Bodohnya ia lupa menanyakan nomor apartemen Calvin. Dia hanya tahu Calvin tinggal di lantai 27. Sedangkan unit di sini cukup banyak. Percuma bertanya pada penghuni lain. Mereka kelewat individualis. Jangankan menyapa, saling kenal sesama penghuni apartemen pun tidak. Kepekaan sosial telah digerus kemajuan teknologi.

Meminta bantuan resepsionis? Nihil, Tuan Effendi gengsi berurusan dengan wanita mungil itu lagi. Lebih baik dicarinya sendiri. Meski harus berkorban waktu.

Tak masalah dengan waktu. Toh dirinya tidak terikat jadwal pekerjaan selama di Indonesia. Waktunya bebas. Ia bisa menunggu Calvin kapan saja.

Menunggu Calvin? Pikirannya mengukir tanda tanya. Mengapa dia ingin sekali menunggu anak itu? Mengapa keinginannya teramat besar untuk bertemu Calvin lagi?

Entah, Tuan Effendi pun tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Satu hal yang pasti: ia ingin bertemu Calvin. Itu saja. Anak muda itu membuatnya penasaran.

Figur seperti Calvin sangat langka. Milenial yang baik, care, penyabar, dan sopan. Calvin bukan tipikal gadget autism. Beruntung sekali pria Middle East yang selalu bersamanya.

Ah, andaikan Tuan Effendi jadi pria Middle East itu. Hidupnya pasti bahagia. Begitu fokus Tuan Effendi menunggu Calvin hingga ia lupa mencari anaknya.

Sore memeluk petang. Putus asa, Tuan Effendi berjalan menuju lift. Ia berniat kembali ke penthousenya. Menutup hari dengan berdoa Novena dan meneguk cappucino. Cukup untuk hari ini.

Ting

Diiringi bunyi denting pelan, pintu lift membuka. Tuan Effendi bergegas masuk. Tak menyadari pintu lift di sebelahnya ikut terbuka.

Dari lift sebelah, keluarlah Calvin. Ia terburu-buru berjalan ke apartemennya. Calvin tiba di lantai 27 tepat ketika lift yang dinaiki Tuan Effendi berguncang naik. Takdir belum mempertemukan mereka. Jika semenit saja Tuan Effendi menunda kepergiannya, mungkin tangan takdir akan membuka.

**     

-Semesta Dokter Tian-

Laman insta story milik istrinya terpampang di depan mata. Foto-foto ini, sungguh memilukan. Terlihat Nyonya Dinda berpose dengan seorang pria berjubah. Gereja kecil bercat putih menjadi backgroundnya.

Lepas dari scammer, Nyonya Dinda berselingkuh dengan seorang rohaniwan. Luar biasa, ia mendua dengan selibator. Sebuah kenekatan dan kecerobohan.

Perselingkuhan berulang memahat luka baru. Diselingkuhi berkali-kali, sakitnya melebihi penyakit kanker stadium tiga. Dokter Tian lelah, sungguh lelah diselingkuhi terus-menerus seperti ini.

Hatinya terus mendaraskan doa. Memohon kekuatan Allah. Tanpa kekuatanNya, riskan ia berdiri tegak. Apa yang dilakukan Nyonya Dinda sudah melebihi batas.

Batas kesabaran bagai garis super tipis. Sedikit terlihat, sangat mudah dilanggar. Satu jari kaki saja melanggar garis itu, hancurlah satu bagian hati.

Ketukan halus di pintu ruang praktiknya memecah kesendirian. Cepat-cepat Dokter Tian menyeka matanya.

"Masuk," katanya dengan suara tercekat.

Malaikat tampan bermata sipit itu lagi. Beberapa minggu terakhir, mereka sering bertemu. Dokter Tian dengan senang hati bertemu Calvin di luar jadwal kontrol dan terapi.

"Selamat sore, Dokter Tian." Calvin menyapa hangat, duduk di sofa yang ditunjuk dokternya.

"Selamat sore, Calvinku. Aku senang kamu datang menemuiku."

Keduanya duduk bersisian. Di dekat Calvin, Dokter Tian merasa tenang. Seluruh beban hidupnya seolah terangkat.

Calvin menunjukkan Alquran yang dibawanya. "Dokter Tian, ajari aku membaca Alquran."

Perkataan Calvin membuat Dokter Tian tersentak. Hatinya tercabik dilema. Antara senang, kaget, ingin mengajari, tapi takut melakukan kesalahan.

"Dari mana kaudapat Alquran itu, Calvinku?"

"Dari Tuan Adica. Waktu itu, dia mengetesku membaca Alquran."

"Ah ini tak mudah...kau belajar Alquran karena terpaksa, kan?"

"Rasanya aku menjual keyakinanku sendiri. Tiap pagi dan sore aku puja bakti, tapi empat kali sehari aku shalat. Ini aneh sekali, Dokter Tian. Perasaanku tak lagi sama saat bermeditasi dan membaca Paritta."

"Apa maksudmu?"

"Hatiku kosong. Tak ada getaran halus seperti biasanya. Lain saat aku shalat. Sesuatu yang lembut menyentuh hatiku. Jiwaku ditetesi embun, dingin dan menyejukkan."

Hati Dokter Tian bergetar hebat. Ya, Allah, apakah doanya terjawab? Diam-diam Dokter Tian mendoakan Calvin agar memeluk Islam. Nama Calvin selalu terucap dalam doa-doa sepertiga malamnya. Mungkin saat itu malaikat diam-diam mencatatnya, menyampaikannya pada Allah, dan Allah mengiyakan.

Tanpa kata, Dokter Tian merangkul Calvin penuh kasih sayang. Pria kelahiran 14 Februari itu berjanji akan mengajari Calvin membaca Alquran. Bagai ayah yang mengajari anaknya memaca kitab suci.

"Kita mulai dari surah yang paling mudah sekaligus paling indah dulu ya..." kata Dokter Tian dengan mata basah. Dibukanya surah Al-Ikhlas.

"Iya, Dokter. Ajari aku. Aku takut suaraku akan hilang. Terlebih saat aku tahu kanker ini telah menyebar ke paru-paru. Sebelum kehilangan suara, beri aku kesempatan untuk melagukan surah terindah dalam Alquran."

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun