"Kapan kamu nikah?"
Sebuah pertanyaan yang membikin tak nyaman. Young Lady paling benci pertanyaan itu. Saat itu, Young Lady hanya diam. Lalu beliau melanjutkan.
"Nanti kalau kamu nikah, undang saya ya."
"Tidak." jawab Young Lady spontan.
"Saya hanya akan mengundang orang-orang terdekat yang membuat nyaman. Saya susah nyaman dengan orang lain."
Terang-terangan saja Young Lady jawab begitu. Alhasil, beliau diam dan tidak lagi menginterogasi soal kapan nikah.
Soal menjenguk dosen pun Young Lady lebih memilih sendirian. Biar lebih private, lebih spesial. Lebih leluasa juga mau memberi dan membeli apa sendirian. Biar saja mahasiswa-mahasiswa minus pengertian itu terlanjur mengharapkan dukungan finansial Young Lady. Sayangnya, Young Lady takkan berikan.
Benih-benih iri hati tumbuh subur. Itulah yang paling tak tertahankan. Iri hati melahirkan stereotip dan prasangka. Kondisi menyedihkan sebenarnya. Kalau saja tak ingat dengan banyaknya rezeki dan karunia yang didapat di tempat lain, Young Lady sudah akan melakukan protes besar-besaran pada Tuhan. Namun, Tuhan Maha Adil. Ia jungkirkan bahtera kenyamanan di lingkungan akademik, tapi Ia berikan kasih dan penawar kepedihan di tempat-tempat lain.
Di kampus, boleh saja Young Lady terzhalimi. Namun di tempat lain, Young Lady temukan banyak kelembutan dan kasih sayang. Boleh saja teman-teman mahasiswa membully, meniru gaya, dan menyindir Young Lady. Tapi, mereka tak pernah merasakan nikmatnya ngopi cantik di cafe mewah sepulang kuliah, tak merasakan pujian tulus karena prestasi, tak pernah merasakan nyamannya baju bagus melekat di tubuh mereka, tak menghirup wangi parfum mahal yang rutin dipakai tiap hari, tak pernah merasakan kasih sayang dari orang-orang hebat, dan tak pernah merasakan serunya mempersiapkan acara keluarga yang mewah di akhir tahun.Â
Young Lady merasakan itu semua, merasakan apa yang tidak mereka rasakan. Dia menanam, dialah yang menuai. Kompasianers, bagaimana bila kalian yang jadi imbas rrasa iri hati?