Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Bawalah Cintaku

25 September 2018   06:00 Diperbarui: 25 September 2018   06:20 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua perawat mendorong tempat tidur beroda. Calvin terbaring lemah dengan darah segar menetes dari hidungnya. Silvi berjalan di sisi brankar, lembut menggenggam tangan malaikat tampan bermata sipitnya.

"Bertahanlah, Calvin...please." pinta Silvi di sela isaknya.

Revan, Adica, Calisa, dan Angel mengikuti dari belakang. Raut wajah mereka memancarkan kecemasan. Angel tak berhenti menangis. Ketiga sosok rupawan di kanan-kirinya sabar menenangkan.

"Silakan Anda tunggu di luar." kata salah satu suster dengan tegas.

Pintu ruangan berdebam menutup. Terkunci otomatis. Silvi berdiri terpaku, air matanya meleleh.

Keputusasaan menebar. Kekhawatiran menggantung berat. Rasa takut kehilangan mencengkeram kuat hati Silvi. Sungguh, belum pernah dia setakut ini sejak menikah dengan Calvin.

Gelisah, Silvi berjalan memutari koridor. Melempar pandang muram ke kaca yang membatasi ruang ICU dengan koridor luar. Hatinya pedih melihat tubuh Calvin dipasangi respirator dan berbagai peralatan medis lainnya. Garis-garis signal di elektrokardiograf bergerak naik-turun. Sangat mengkhawatirkan. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, rasa cinta Silvi pada Calvin bangkit lagi. Membesar, membesar, terus membesar di hati terdalam.

"Ya, Allah yang Maha Cinta, kumohon kuatkanlah Calvin. Angkatlah rasa sakitnya...izinkan dia hidup lebih lama." tangis Silvi dalam doanya.

Kristal-kristal bening berjatuhan tanpa henti dari mata birunya. Silvi jatuh, jatuh dalam kesedihan. Hatinya takut luar biasa. Asumsi kehilangan Calvin terus membayangi. Sungguh, Silvi takkan sanggup hidup tanpa Calvin. Apa jadinya bila wanita rapuh hidup tanpa kasih sayang pria berhati malaikat?

Jiwa dan hatinya terus menjeritkan doa. Doa agar dirinya diberi kesempatan sekali lagi untuk terus bersama Calvin. Apa pun yang telah terjadi, Calvin Wan tetaplah malaikatnya. Malaikat hidupnya, malaikat yang berkali-kali ia sakiti. Sosok malaikat tampan yang selalu ada, tak pernah meninggalkannya. Silvi tak siap bila harus kehilangan malaikatnya.

Mantan model dan therapyst itu menyentuh kalung di lehernya. Kalung emas bertatahkan safir berbentuk hati pemberian Calvin selalu ia pakai. Dipegangnya kalung itu erat-erat. Amat berharap pemberinya diberi kekuatan untuk bertahan. Selama ini, Calvin sudah cukup kuat. Akankah kini saatnya? Saat ia tak bisa lagi melawan penyakitnya?

Mengingat kemungkinan buruk itu, tubuh Silvi dijalari rasa dingin. Cepat ia atur pikirannya. Mengatur pikiran, seperti nasihat Calvin.

"Aturlah pikiranmu dari hal negatif, Silvi. Simpan kenangan-kenangan burukmu di satu pintu, lalu buang kuncinya." Begitu saran Calvin di awal perkenalan mereka.

Mata Silvi terpejam. Cairan hangat kembali hadir. Dihelanya nafas dalam, dilangkahkannya kaki ke depan pintu ICU. Seperti ada bisikan lembut di hatinya, bisikan yang menyuruhnya bernyanyi. Terdorong kekuatan dari alam bawah sadar, Silvi menyanyikan lagu kenangannya dengan Calvin.

"Bawalah pergi cintaku...ajak kemana pun kau mau...jadikan temanmu, temanmu paling kaucinta."

Suara Silvi mengalun merdu. Kuatnya cengkeraman kesedihan tak mengurangi kualitas suaranya. Ia bernyanyi, terus bernyanyi. Mengadukan kepedihannya lewat lagu. Benih kecil harapan tumbuh di hati. Harapan Calvin akan membalas nyanyiannya.

Dulu, Silvi pun tak tahu lagu itu. Calvinlah yang pertama kali memperkenalkan lagu itu padanya. Masih segar dalam ingatan Silvi ketika kali pertama Calvin menyanyikan lagu sedih itu di depannya.

**    

Taman kota menjadi tempat pelariannya. Melompati pagar berduri, Silvi berlari melintasi area berumput. Ia melempar diri ke bangku taman bercat oranye. Satu tangannya menekap wajah, menampung laju air mata.

"Air matamu terlalu berharga,"

Sebuah suara bass menegurnya lembut. Silvi tak menengadah. Lama-kelamaan, hidungnya mencium wangi Blue Seduction Antonio Banderas. Seorang pria orientalis dengan jas hitam Versace duduk di sampingnya.

"Untuk apa menangis?" tanya pria itu halus. Tatapannya terhujam ke langit biru.

"Calvin?"

Akhirnya, Silvi mengangkat wajah. Menatap Calvin dengan mata berkaca-kaca.

"Aku di sini, Silvi. Aku tidak rela kamu sedih dan sakit hati." ujar Calvin tulus.

"Well, kamu pasti kabur dari rumah sakit. Kamu belum sembuh. Keras kepala." kecam Silvi.

Seulas senyum menghiasi wajah tampan itu. Calvin sedikit terbatuk. Darah segar mengalir di sudut bibirnya.

"Mungkin aku tidak akan sembuh lagi, Silvi. Cuci darah hanya usaha memperpanjang hidup."

Refleks Silvi merapatkan tubuhnya pada Calvin. "Tidak, kumohon jangan berkata begitu."

"Kenyataan." kata Calvin singkat, menyeka darahnya.

"Tapi, kamu tak usah khawatir. Jika kita terus saling mencintai karena Allah, akhirat akan berpihak pada kita."

Kekhawatiran Silvi lesap. Tergantikan kesedihan luar biasa. Bukan sedih karena masalahnya sendiri, melainkan karena kondisi Calvin.

"Aku ingin meninggalkan banyak kenangan untuk malaikatku..." desah Silvi.

"Menulislah. Akan kuajari."

Nyaris saja Silvi lupa. Mudah bagi blogger seberbakat Calvin mengabadikan kenangan dalam tulisan. Ia harus banyak belajar dari Calvin. Manik matanya menangkap satu gerakan. Terlihat Calvin mengeluarkan piano digital yang dibawanya. Walau lebih mahal, piano digital yang mengambil sampling suara dari grand piano itu lebih mudah dibawa kemana-mana. Calvin selalu membawanya tiap kali bepergian.

"Jika kau meerindukanku, nyanyikan lagu ini."

Calvin bermain piano. Intro mengalir lancar. Usai intro, Calvin bernyanyi dengan suara lembutnya.


Sumpah tak ada lagi kesempatanku

Untuk bisa bersamamu

Kini ku tahu

Bagaimana cara ku untuk

Dapat terus denganmu

Bawalah pergi cintaku

Ajak kemana pun kau mau

Jadikan temanmu

Temanmu paling kaucinta

Di sini ku pun begitu

Terus cintaimu di hidupku

Di dalam hatiku

Sampai waktu yang pertemukan kita nanti (Afgan-Bawalah Cintaku).

Silvi mendengarkan lagu itu. Mencatat liriknya di pikiran. Meresapinya sedalam mungkin.

Dalam gerakan slow motion, Calvin dan Silvi berpelukan. Kecupan hangat Calvin mendarat di kening, pipi, dan bibir Silvi. Helaian rambut panjang beraroma lavender milik Silvi menggelitik leher Calvin.

"Suatu saat, cinta akan berpihak pada kita." bisik Calvin, menyibakkan anak-anak rambut di dahi wanitanya.

"Aku mencintaimu, Calvin." Silvi berucap setulus-tulusnya, mempererat rengkuhan.

"Silvi, berjanjilah padaku untuk berhenti melukai dirimu sendiri. Tetaplah jadi Princess Silvi yang tegar setelah aku pergi."

Setelah mengucap tiga kata terakhir, Calvin kembali batuk darah. Membuat kecemasan Silvi menggelembung. Tatapan menenangkan Calvin layangkan pada wanita perekat jiwanya.

"Jangan terlalu banyak khawatir, Silvi. Aku sedih bila kamu terus mengkhawatirkanku." Calvin berujar lembut.

Ketika Silvi tak juga lepas dari kekhawatiran, Calvin mengeluarkan sesuatu dari tas pianonya. Bungkusan besar berisi cotton candy merah muda. Dibukanya bungkus plastik itu. Lembut disuapinya Silvi dengan permen kapas.

"Rasa manis akan memberi sepercik ketenangan," jelas Calvin, melanjutkan lagi suapannya.

Silvi menerima tiap suapan dengan hati berdesir. Ditatapnya mata Calvin dalam-dalam. Berusaha mencari kebohongan dan niat jahat. Tidak, sama sekali tak ditemukannya. Kelembutan, ya hanya kelembutan yang ia dapatkan dari mata sipit itu.

**    

Larut dalam kenangan, Silvi masih terus beernyanyi. Koridor rumah sakit menjadi saksi bisu kesedihannya.

Ia rindu Calvin, sangat rindu. Kini, Calvin tak sekuat dulu. Jangankan menyuapinya cotton candy dan menyanyi, bernafas pun harus dibantu alat medis. Mungkinkah Calvin telah sampai di ujung waktu?

"Calvin, jangan tinggalkan aku..." Silvi memohon, suaranya bergetar.

"Aku masih butuh kamu..."

Ya, itu bukan dusta. Silvi sungguh-sungguh membutuhkan Calvin. Kelembutan Calvin, kasih sayangnya, perhatiannya, semuanya Silvi perlukan.

Percayalah, bukan Silvi saja yang membutuhkan. Lihatlah bola mata Angel yang berawan. Dengarlah isak tangis Carol, Thalita, dan Stevent. Saksikanlah langkah terburu Suster Adinda menuju kapel di sayap timur rumah sakit untuk berdoa. Perhatikan wajah pias Revan yang terus berdoa sambil menggenggam erat biji-biji tasbih di tangan kirinya. Tataplah titik demi titik air mata yang menjatuhi wajah putih Calisa. Jangan lupa, liriklah Adica yang berdiri kaku di tempatnya dengan wajah tertunduk penuh penyesalan.

Cobalah tengok ke dalam ruang ICU. Dokter Tian membisikkan doa-doa sambil melakukan tindakan medis yang terbaik untuk pasien istimewanya. Embun bening menggantung di mata pria yang tak lagi muda itu.

"Bertahanlah, anakku...kau pasti kuat. Pasti..." lirih Dokter Tian berulang kali. Seeperti ayah yang memohon anaknya untuk terus melawan rasa sakit.

"Kau harus bertahan, Calvin. Masih banyak yang butuh dirimu...jika tanpa dirimu, siapa yang mampu membesarkan Angel dengan penuh kasih sayang? Siapa yang akan mengasuh anak seistimewa Stevent tanpa syarat?"

Semua itu menjadi bukti. Bukti betapa banyaknya cinta yang tercurah untuk Calvin. Betapa banyak yang masih membutuhkan Calvin di sisi mereka.

Di luar sana, awan-awan hitam bergulung. Langit mengguratkan kecemasan. Doa demi doa naik ke langit, diterima langsung olehNya. Doa seorang mantan biarawati, doa dua wanita pelaku perselingkuhan, doa dua anak istimewa, doa anak-anak perempuan yang telah piatu, doa dokter yang merawat dan mengasihi pasiennya setulus hati, doa seorang pendidik yang melewatkan tahun-tahun hidupnya untuk mengajar "agent of change", dan doa duda tampan yang menyesali perbuatan-perbuatan jahatnya. Doa sebanyak itu demi kesembuhan Calvin, akankah mampu tertolak?

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun