Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Seorang Blasteran

20 Agustus 2018   05:40 Diperbarui: 20 Agustus 2018   05:55 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Detik demi detik berlalu lambat. Jarum jam bergemeretak. Revan meremas rambut pirangnya frustrasi.

"Andai saja rambut ini tidak pirang! Andai saja mata ini tidak biru! Andai saja aku dan kamu bukan blasteran, pasti dulu kita sudah jadi Paskibraka! Setelah semua yang dilewati, setelah rangkaian seleksi..."

"Sudahlah. Untuk apa menyesal? Memang blasteran seperti kita sering diperlakukan tidak adil. Tapi, kita harus ikhlas. Jangan sampai apa yang terjadi pada kita, terjadi pada orang lain."

"Calvin, apakah Non-Pribumi seperti kita tidak boleh menjadi Paskibraka?"

Pertanyaan sulit. Calvin terdiam. Sayang sekali, ia tak punya jawabannya.

Jauh di dalam hati, ia mengakui Revan benar. Diskriminatif bila orang-orang berdarah campuran seperti mereka tak bisa menjadi Paskibraka hanya karena blasteran. Mereka dianggap bukan warga Indonesia asli, bahkan ada yang menganggap mereka pendatang. Lalu, di tengah keanekaragaman etnis, seperti apakah yang termasuk warga Indonesia asli? Entahlah, Calvin yang cerdas pun tak mengerti.

"Apakah hanya mereka yang disebut warga negara aslilah yang boleh jadi Paskibraka? So, yang disebut warga Indonesia asli itu yang seperti apa?" Revan melemparkan tanya, putus asa.

Masih terekam dalam ingatan bagaimana dia dan Calvin mengikuti seleksi. Mulai dari tes pengetahuan umum, baris-berbaris, seleksi kesehatan, tes fisik, sampai wawancara. Waktu itu, Calvin masih sehat. Sebuah kebahagiaan besar ketika mereka berdua sama-sama lolos seleksi. Ketika itu, Revan sempat iri dengan sahabatnya. Ia iri melihat postur tubuh Calvin yang sempurna, kecerdasannya, kemampuan baris-berbarisnya, dan pesonanya yang memikat banyak orang selama seleksi dan latihan.

"Teman-teman kita yang lolos sama sekali tidak membedakan. Mereka menerima kita, tapi..."

"Stop. Jangan larut dalam kenangan, Revan. Syukuri saja rezeki kita. Well, setidaknya kita pernah merasakan latihan bersama anggota Paskibraka. Kita tahu bagaimana rasanya menerima lencana ini." Calvin mengangkat tinggi-tinggi lencana merah putih.

"Tak semua orang bisa merasakannya. Kita lebih beruntung."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun