Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Seorang Blasteran

20 Agustus 2018   05:40 Diperbarui: 20 Agustus 2018   05:55 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam berbintang itu seketika berawan kesedihan. Kenangan terbuka. Luka lama menganga tanpa terduga.

Berawal dari undangan makan malam. Beberapa minggu setelah kepulangannya, Calvin mengundang ketujuh sahabatnya makan malam di rumahnya. Sudah lama mereka tak makan malam di rumah mewah di lereng bukit itu.

Entah, Calvin menjadi semakin baik dan murah hati sekembalinya dari Tiongkok. Hanya Silvi dan Revan yang paling mengerti. Sementara Albert, Anton, Julia, Calisa, dan Rossie berpikiran positif. Mungkin Calvin berbuat kebaikan sebanyak mungkin demi rasa syukur. Syukur karena ekspansi perusahaannya sukses besar.

Merasa paling mengerti, Revan tiba lebih dulu. Ia sudah sampai satu jam sebelum waktu yang dijanjikan. Begitu melihat Rush biru gelap Revan, langsung saja Calvin turun ke halaman.

"Hei, sendirian saja? Silvi mana?" sapanya saat Revan turun dari mobil.

Revan tersenyum nakal. "Cari-cari sepupuku nih."

"Bukan, bukan gitu. Biasanya kalian kan selalu bersama."

"Selalu bersama? Kayak lagunya Calvin Jeremy aja. Lagunya kembaranmu tuh."

Calvin melipat lengannya. Susah bicara serius dengan Revan. Diajaknya sahabat pirangnya itu masuk ke dalam.

Malam ini, Revan begitu tampan dalam balutan jas mahal berwarna biru laut. Biru memang warna favoritnya. Calvin sendiri tak kalah menawannya dalam suite hitam.

"Calvin, are you ok?" tanya Revan hati-hati.

"I'm good."

Pandangan mereka bertabrakan. Mata sipit Calvin bertemu mata biru Revan. Terlihat jelas pucatnya wajah Calvin. Keseimbangannya pun kurang baik. Calvin tak setegap dan seatletis dulu. Tubuhnya seperti menyusut, kurus dan kehilangan kekuatan. Walau tetap rupawan.

"Kenapa kau tanya itu?" Kini Calvin balik bertanya.

"Jangan sembunyikan apa-apa dariku dan Silvi. Kau bisa menipu sahabat-sahabat yang lain. Tapi, jangan harap kami tertipu." sahut Revan tajam.

"Aku memang baik-baik saja, Revan. Buat apa khawatir?"

Klise, sangat klise. Revan benci cara Calvin menyembunyikan sesuatu. Jelas-jelas Calvin sakit. Sudah tak bisa disembunyikan lagi.

"Hmmmm whateverlah. Aku tetap yakin pada mata hatiku sendiri."

Sejurus kemudian, Revan berbalik ke kaki tangga. Bersiap naik ke lantai atas. Satu kakinya melayang di anak tangga terbawah. Calvin menyambar lengannya.

"Come on, aku tidak menyembunyikan apa pun. Jangan childish begini, Revan. Ayo temani aku ke pantry. Ada menu spesial buat kamu."

"Apa? Nasi hainam?"

Calvin mengangguk, tersenyum lebar. Mau tak mau Revan menurut. Dia mengikuti langkah Calvin ke pantry.

Ruangan besar berlangit-langit tinggi ini tak layak disebut pantry. Lebih pantas disebut dapur kotor. Panci, wajan, microwave, kompor listrik, dan peralatan masak lainnya berjajar rapi. Meja dapur dipenuhi makanan. Beberapa jenis makanan tersaji. Salad, sup, nasi goreng seafood, nasi Hainam, rendang, steak, sate, dan Hutspot. Di meja lain yang lebih kecil, terdapat piring-piring keramik berisi cup cake, ketan susu, kroket, klapertart, dan puding.

"Siapa yang masak ini semua?" tanya Revan kagum.

"Coba tebak, siapa?"

"Bukan kamu, kan? Kamu cuma bisa masak Hainam."

Calvin mengangkat alisnya. "Enak saja, ini semua aku yang masak. Kalau tidak percaya, check saja CCTV rumah ini. Semua asisten rumah tanggaku sedang libur."

Mata Revan membulat tak percaya. Ditepuknya punggung Calvin keras-keras. Alhasil yang dipukul berteriak kesakitan.

"Aku baru tahu kamu bisa masak semua ini..." desahnya. Menggosok-gosok mata birunya tak percaya.

"Makanya jangan kudet. Memangnya seumur hidup aku belajar masak Hainam aja? Nggaklah. Aku belajar membuat masakan lainnya."

Revan mengerjapkan mata. Memandangi aneka menu di depannya.

"Buat apa kamu repot-repot memasakkan ini untuk kami semua, Calvin?"

"Hanya untuk menyenangkan kalian. Selagi aku punya waktu."

Kalimat terakhir membuat hati Revan terasa dingin. Mengapa Calvin bicara begitu? Sebersit kekaguman memerciki hati. Calvin Wan memang multitalenta. Bukan hanya pintar menyanyi, modeling, menulis, ngeblog, dan berbisnis. Ia juga pintar memasak.

"Hutspot sama kroketnya pasti buat Anton. Dia kan hobi banget tuh sama kuliner-kuliner khas Belanda. Trus ketan susu, rendang, sama satenya buat orang nyeleneh kayak Albert." tunjuk Revan pada makanan-makanan yang disebutkannya.

"Ehm...ada yang sebut namaku ya? Biasalah, orang ngetop banyak yang sirik."

Sebuah suara barithon terdengar dari pintu pantry. Albert baru tiba. Ketiga lelaki tampan beda etnis itu bertoast.

"Kamu kan memang nyeleneh, dokter bule. Sukanya makanan Indonesia mulu. Makanan luar negeri nggak mau sama sekali." ledek Revan, menaik-turunkan alisnya.

"Kalau kamu perempuan, sudah kucium kamu. Sayangnya aku masih normal. Jadi, nggak terprovokasi kata-katamu." Albert menanggapi, pura-pura dingin. Sukses membuat Calvin dan Revan tertawa.

"Percuma mau aktingnya kayak gimana. Kamu nggak bisa jadi orang cool, Albert."

Kali ini dokter ganteng blasteran Jawa-Jerman-Skotlandia itu memasang ekspresi pura-pura marah. Sementara Revan mengerjai Albert, Calvin teringat sesuatu. Ia berniat membuat satu jenis kue lagi. Masih ada waktu.

Bergerak memunggungi dua sahabatnya, Calvin membuka lemari bahan. Diambilnya tepung, telur, gula, pasta pandan, dan mentega. Ditimbangnya bahan-bahan itu, membuat takaran tepat sesuai resep. Pengusaha retail itu tak peduli jasnya akan kotor bila terlalu lama berinteraksi dengan bahan-bahan kue.

"Hei malaikat tampan bermata sipit, kamu lagi ngapain?" goda Albert, menirukan panggilan kesayangan Silvi.

Revan menghantamkan spatula ke punggung Albert. "Hanya sepupuku yang boleh panggil Calvin begitu!"

"Aku bikin bolu pandan kesukaan Julia." Calvin menjawab di tengah kegaduhan kecil itu.

Alis Albert bertaut. "Oh, jadi kamu berpindah hati ke Julia ya?"

"Nggak kok. Mau bikin dia senang aja. Julia kan buat kamu." balas Calvin, tertawa kecil.

"Tuh, dengar! Calvin udah kasih restu! Sana lamar nona cantik!"

Albert jadi terdiam juga mendengar perkataan dua sahabatnya. Melamar Julia? Melamar wanita yang sering bertengkar dengannya?

Tanpa diminta, Revan dan Albert membantu Calvin. Mereka terpengaruh energi positif yang dipancarkan pria Tionghoa yang tak lagi memiliki orang tua itu. Energi baik untuk menyenangkan hati orang lain, energi untuk berbuat baik.

"Ah, aku lupa. Revan, tolong ambilkan oven di gudang." Refleks Calvin menepuk dahinya.

Kening Revan berkerut. Ia menyapukan pandang ke sekeliling. Oven mahal dan canggih lengkap dengan timer teronggok di situ.

"Kamu kayak nggak kenal Julia aja. Dia lebih suka bolu pandannya dipanggang dengan oven biasa. Ambilin dong ovennya, mau kan?" jelas Calvin sedikit tak sabar.

Tanpa kata, Revan meninggalkan pantry. Melangkah mantap menuju gudang.

**      

Ruangan ini terlalu bersih untuk dikatakan sebagai gudang. Interiornya lebih mirip toko peralatan barang antik. Lampu-lampu memercikkan cahaya lembut. Lantai keramiknya sangat bersih. Barang-barang yang tersimpan di sini masih terawat baik.

Tumpukan kardus disusun bertingkat hingga ke langit-langit. Revan menatap bingung susunan kardus itu. Dimana ia harus mencari kalau barangnya sebanyak ini?

Tak ada pilihan lain kecuali membongkarnya satu per satu. Mana kardus-kardusnya polos tanpa tanda pula. Makin sulit mencari.

"Yes! Ketemu!" bisik Revan, takut mengganggu makhluk-makhluk penunggu gudang. Ia telah menemukan apa yang dicarinya.

Ia letakkan kardus besar berisi oven itu di dekat pintu. Lalu dirapikannya kembali barang-barang lain. Tengah sibuk berbenah, tetiba sebuah kotak karton menjatuhi punggungnya.

"Aduh..." Revan mengerang kesakitan, pelan meraih kotak itu.

Sekilas ia melihat kotak di tangannya. Tutup kotak berwarna merah, bagian bawahnya putih. Hatinya dirayapi rasa penasaran. Rasa ingin tahunya menang. Calvin pasti mengerti. Dibukanya kotak itu.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Sepasang mata biru pucat itu berawan. Tidak, sungguh ia tidak siap melihat benda-benda itu. Topi laken berlogo Paskibra, ikat pinggang, syal, evolet teratai, PDU (Pakaian Dinas Upacara) yang terlipat rapi, dan lencana merah putih. Lencana yang susah payah didapat setelah mengikuti latihan, pemusatan latihan, dan pengukuhan sebagai Paskibra. Lencana prestise dengan warna dasar merah, warna untuk Paskibraka. Bukan sekadar putih atau hijau. Ah ini menyakitkan, sangat menyakitkan.

Ternyata Calvin masih menyimpannya. Tangan Revan gemetar hebat memegang benda-benda bersejarah itu. Sudahkah Calvin berdamai dengan masa lalu? Hebat sekali bila memang benar. Revan saja tak sanggup lagi menyimpan benda-benda itu di rumahnya.

"Laa haula wala quwatta illa billah..." desis Revan, suaranya tercekat menahan perih.

Awan-awan di bola mata Revan pecah. Jatuh menjadi kristal bening. Air mata tidaklah haram untuk pria.

Tepat pada saat itu, pintu gudang terbuka. Calvin melangkah masuk.

"Revan, kau sudah..."

Kata-katanya terhenti. Spontan ia berlutut di samping Revan begitu melihat mata biru pucat itu basah.

"Kamu kenapa?" Calvin bertanya, menurunkan nada suaranya satu oktaf.

Sambil menyeka hidungnya, Revan berujar. "Masih kausimpan benda-benda itu."

"Sepertinya kamu sudah berdamai dengan masa lalu. Aku saja tidak mau lagi menyimpannya."

"I see."

Hening sesaat. Revan terus saja menatap nanar atribut Paskibraka itu dengan mata berhujan. Calvin menepuk-nepuk pelan punggungnya.

"Sudah lama berlalu, Revan. Maafkanlah masa lalu, maafkanlah dirimu sendiri." ujar Calvin lembut. Disambuti gelengan kepala Revan.

"Tidak semudah itu! Aku masih tak rela kita gagal jadi Paskibraka hanya karena kita...kita berbeda."

"Mungkin Paskibraka bukan rezeki kita. Allah punya rezeki lain buat kita yang lebih baik." kata Calvin bijak.

Detik demi detik berlalu lambat. Jarum jam bergemeretak. Revan meremas rambut pirangnya frustrasi.

"Andai saja rambut ini tidak pirang! Andai saja mata ini tidak biru! Andai saja aku dan kamu bukan blasteran, pasti dulu kita sudah jadi Paskibraka! Setelah semua yang dilewati, setelah rangkaian seleksi..."

"Sudahlah. Untuk apa menyesal? Memang blasteran seperti kita sering diperlakukan tidak adil. Tapi, kita harus ikhlas. Jangan sampai apa yang terjadi pada kita, terjadi pada orang lain."

"Calvin, apakah Non-Pribumi seperti kita tidak boleh menjadi Paskibraka?"

Pertanyaan sulit. Calvin terdiam. Sayang sekali, ia tak punya jawabannya.

Jauh di dalam hati, ia mengakui Revan benar. Diskriminatif bila orang-orang berdarah campuran seperti mereka tak bisa menjadi Paskibraka hanya karena blasteran. Mereka dianggap bukan warga Indonesia asli, bahkan ada yang menganggap mereka pendatang. Lalu, di tengah keanekaragaman etnis, seperti apakah yang termasuk warga Indonesia asli? Entahlah, Calvin yang cerdas pun tak mengerti.

"Apakah hanya mereka yang disebut warga negara aslilah yang boleh jadi Paskibraka? So, yang disebut warga Indonesia asli itu yang seperti apa?" Revan melemparkan tanya, putus asa.

Masih terekam dalam ingatan bagaimana dia dan Calvin mengikuti seleksi. Mulai dari tes pengetahuan umum, baris-berbaris, seleksi kesehatan, tes fisik, sampai wawancara. Waktu itu, Calvin masih sehat. Sebuah kebahagiaan besar ketika mereka berdua sama-sama lolos seleksi. Ketika itu, Revan sempat iri dengan sahabatnya. Ia iri melihat postur tubuh Calvin yang sempurna, kecerdasannya, kemampuan baris-berbarisnya, dan pesonanya yang memikat banyak orang selama seleksi dan latihan.

"Teman-teman kita yang lolos sama sekali tidak membedakan. Mereka menerima kita, tapi..."

"Stop. Jangan larut dalam kenangan, Revan. Syukuri saja rezeki kita. Well, setidaknya kita pernah merasakan latihan bersama anggota Paskibraka. Kita tahu bagaimana rasanya menerima lencana ini." Calvin mengangkat tinggi-tinggi lencana merah putih.

"Tak semua orang bisa merasakannya. Kita lebih beruntung."

Ya, Allah, mengapa Calvin bisa begitu ikhlas? Mengapa pria yang telah mengalami banyak kesedihan itu ikhlas menerima bentuk-bentuk diskriminasi?

Kini Calvin tak setegap dan segagah dulu. Kesehatannya menurun selama beberapa tahun terakhir. Sisa-sisa kekuatannya mulai memudar. Namun, penyakit tak melunturkan keikhlasan dan kebaikan hatinya.

"Ayo kita keluar, Revan. Yang lain sudah menunggu." ajak Calvin seraya bangkit berdiri.

Dari sudut mata, Revan memperhatikan Calvin. Gerakannya tak selincah dulu. Ia sangat berhati-hati ketika berdiri. Dua detik lamanya Revan melihat jelas Calvin kesakitan.

Rasa sakit dan mual datang tanpa permisi. Membuat Calvin terbungkuk dan merintih tanpa sadar. Ya, Allah, jangan sekarang, bisik hati kecilnya.

**    

Sedihnya jangan lama-lama

Nanti kau bisa mati rasa

Tegarkan hatimu

Dan melangkahlah (Tiffany Kenanga-Jangan Bersedih).

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun