"Pergi kamu, pelakor! Jangan ganggu suamiku lagi!"
Perempuan yang baru saja ditahbiskan menjadi ibu dengan kateter terpaasang itu, meneriakinya. Wajahnya bertambah pucat. Satu tangannya meraih gelas di atas nakas dan melemparkannya. Nyaris saja mengenai wanita lain yang menjadi objek pelampiasan kemarahannya.
Prang!
Bunyi gelas pecah merobek kesadaran si wanita yang dituduh pelakor. Ternyata Allah masih sayang padanya. Lemparan ibu muda pengidap Post Partum Depresion itu gagal mengenai dirinya.
"Syifa, cukup! Berhentilah menyalahkan Evita!"
Dari pintu yang terbuka, masuklah pria itu. Pria yang teramat dicintai dua wanita di dalam ruang rawat super lengkap ini.
"Tega sekali kamu, Adica! Aku ini istrimu! Tapi kamu lebih membela pelakor ini!"
"Dia bukan pelakor,"
"Ingat Adica, aku baru saja melahirkan putrimu. Dua anak kembar sekaligus. Seharusnya kau menghargaiku."
Tak tahan mendengar pertengkaran itu, si wanita tertuduh pelakor balik kanan. Lirih meminta permisi. Berjalan cepat meninggalkan ruangan.
Di koridor, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Menenangkan gemuruh di hati. Sakitnya dituduh pelakor. Hanya karena ia pernah mencintai sosok itu. Lalu kini datang dengan niat baik, tetapi niat itu disalahartikan.