Kata demi kata meluncur cepat dari bibir Evita. Wajahnya memerah menahan emosi. Ia tak suka keputusannya diusik.
"Tapi caramu kurang tepat, Evita. Dalam kondisi Calvin, ada cara lain yang bisa kaulakukan."
"Tidak. Aku akan tetap pada keputusanku. Sekarang aku sudah menikah, Pa. Aku berhak menentukan pilihan hidupku bersama Calvin."
"Pilihan hidupmu justru akan membuat Calvin menderita."
"Aku tahu apa yang terbaik untuk suamiku."
Kata terakhir ia tekankan dengan kuat. Sempurna membuat Dokter Tian terpaku. Tak disangkanya putri semata wayangnya berbuat sejauh ini.
Sedih menusuk hati. Amarah menyergap jiwa. Dokter Tian bangkit, menatap mata Evita lurus-lurus. Nada suaranya tegas saat berkata,
"Evita Yolanda, gunakan logikamu! Kau harus realistis! Lepaskan Calvin!"
"Cinta tak butuh logika, Pa. Jangan harap aku akan melepaskan Calvin. Suamiku akan tetap tinggal di sini, selamanya."
Air mata jatuh ke lantai marmer. Entah air mata siapa. Dua hati terluka di rumah besar itu.
"Papa tidak tahu bagaimana rasanya. Selama dia sakit, akulah yang mendampinginya. Aku yang merawatnya. Selain Papa, Calvin pria yang paling kucinta." Nada suara Evita bergetar penuh kesedihan.