Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tubuh Membeku Itu Tak Terlepas

7 Agustus 2018   05:12 Diperbarui: 7 Agustus 2018   06:51 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bunga terakhir

Kupersembahkan kepada yang terindah

Sebagai satu tanda cinta untuknya

Bunga terakhir

Menjadi satu kenangan yang tersimpan

Takkan pernah hilang tuk selamanya (Afgan-Bunga Terakhir).

**    

Sebuket lily putih di tangan Evita bergetar. Hujan kristal bening jatuh dari mata indahnya. Ia tertunduk dalam, berusaha agar air matanya tidak menjatuhi kelopak bunga. Sudah cukup kelopak-kelopak bunga itu ternoda darah. Jangan ternoda lagi oleh air mata.

Wanita cantik yang pernah membaktikan hidupnya untuk merawat orang sakit itu menatap nanar tetesan merah yang mengotori putihnya bunga lily. Itu darah suami super tampannya. Darah yang ia sesali.

"Calvin...aku janji, aku janji padamu. Takkan kubiarkan lagi darah mengalir di hidungmu. Aku janji, takkan membiarkanmu kesakitan lagi."

Evita menyeka ujung matanya. Sejurus kemudian ia bangkit, berjalan ke pintu paling ujung. Memutar handelnya, memasuki kamar bernuansa broken white itu.

Aroma lavender yang disemprotkan pengharum ruangan tak memudarkan aroma lain mirip karbol. Evita sudah terbiasa, sangat terbiasa. 

Dilangkahkannya kaki ke dekat ranjang. Dipandanginya sesosok pria tampan yang terbaring lemah. Ranjang putih seukuran king size itu menjadi saksi bisu. Saksi bisu kegilaan seorang perempuan.

"Selamat pagi, Calvin. Waktunya aku membersihkan tubuhmu." sapa Evita hangat.

Ia membungkuk, mengecup lembut kening Calvin. Sekali lagi melempar pandang penuh cinta ke arah seraut wajah pucat itu. Ya, wajah Calvin sangat pucat. Seolah tak ada lagi aliran darah. Meski pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya.

Dengan lembut, Evita mengangkat tubuh Calvin. Tubuh itu kurus, sangat kurus. Tak lagi terasa berat. Mudah bagi Evita mengangkat tubuh suaminya sendiri.

Ini rutinitas paginya. Evita sendiri yang memandikan suaminya sejak sang suami sakit parah. Tak pernah dibiarkannya tangan-tangan asing menyentuh Calvin. Cukup tangannya sendiri yang boleh menyentuh tubuh tinggi yang dulunya atletis itu.

Air hangat, wangi sabun, dan busa bergulung-gulung di udara. Evita begitu telaten merawat dan membersihkan tubuh suaminya. Senyum tipis yang terukir di bibirnya saat memandikan Calvin begitu tulus. Kedua tangannya membersihkan inci demi inci tubuh itu dengan lembut dan penuh kasih.

Selesai memandikan, Evita memakaikan jas ke tubuh Calvin. Pagi ini ia pakaikan suite Bottega Veneta ke tubuh pria belahan hatinya. Evita tak pernah lupa, jas adalah jenis pakaian favorit Calvin. 

Ia mengoleksi banyak sekali jas dari berbagai brand. Koleksi jas miliknya tidaklah murah. Semuanya sangat mahal, bahkan beberapa di antaranya limited edition.

"Kau tampan sekali, Calvin." puji Evita, tersenyum manis.

Dia pun merapikan rambut Calvin. Helai rambut yang menipis karena efek samping kemoterapi. Teringat hal itu, tenggorokan Evita tercekat. Masih segar dalam ingatan, Calvin begitu menderita selama menjalani terapi menyakitkan pembunuh sel kanker. Beberapa kali Calvin masih mampu menahan sakit. Namun, itu tak lama. Evita tak tega tiap kali mendengar Calvin kesakitan.

"Calvin, aku berjanji...rambutmu takkan rontok lagi. Aku tidak mau lagi melihat suamiku menderita. Tak ingin kemoterapi merusak ketampananmu, Sayang."

Setelah merapikan rambut Calvin, Evita mencium kedua pipi pria itu. Bibirnya merasakan dingin, dingin yang sulit terlukiskan. Pipi pria oriental yang lahir di awal bulan dua belas itu terasa dingin sekali.

"Ini caraku melayanimu sebagai istri. Calvin, kaulah suami dan imamku." ujar Evita penuh kasih.

"Sampai kapan pun, aku akan terus merawat dan melayanimu."

**     

Bel pintu berbunyi. Sukses memecah perhatian Evita. Ia mengangkat kepala, setengah bangkit dari ranjang. Melirik ke samping, didapatinya Calvin masih terbaring di posisi yang sama. Tak bergerak sama sekali.

"Calvin, ada tamu. Sebentar ya."

Selangkah demi selangkah, Evita menuruni tangga. Dalam hati bertanya-tanya siapakah yang bertamu?

Tiba di ruang depan, rasa penasarannya lesap. Tergantikan kekagetan.

"Papa?"

Dokter Tian tersenyum, memeluk hangat putri tunggalnya. Cium pipi kanan dengan mesra. Ayah dan anak yang romantis.

"Evita, Papa ingin bicara." kata Dokter Tian, lembut dan hati-hati.

Hening. Evita menanti dengan sabar.

"Apa...tidak sebaiknya kamu memikirkan ulang keputusanmu?"

"Sudah jelas, Pa. Tak ada lagi yang perlu dipikirkan."

Wajah cantik itu memancarkan tekad kuat. Dokter Tian menghela nafas berat. Sadar betul kebulatan tekad anak perempuannya.

"Tapi ini tidak benar, Evita. Tidak wajar...ingat, kamu seorang dokter."

"Aku sudah mengundurkan diri, Pa. Tanpa menjadi dokter pun, aku bisa hidup lebih dari cukup. Usaha sampinganku kan banyak. Belum lagi perusahaan Calvin yang diserahkan padaku." kilah Evita, lembut namun penuh kekuatan.

"Ok fine, kamu ini mantan dokter. Wajarkah mantan dokter berbuat seperti itu? Jangankan dokter, orang biasa pun tidak wajar kalau melakukannya." sanggah Dokter Tian sabar.

Evita mengangkat alisnya. "Pa, apakah cinta butuh kewajaran?"

"Evita Sayang..."

"Aku mencintai Calvin. Beruntung sekali aku bisa menikah dengannya. Beginilah caraku membuktikan cintaku sebagai seorang istri. Aku ingin jadi istri yang berbakti dan melayani, karena aku sangat mencintai suamiku."

Kata demi kata meluncur cepat dari bibir Evita. Wajahnya memerah menahan emosi. Ia tak suka keputusannya diusik.

"Tapi caramu kurang tepat, Evita. Dalam kondisi Calvin, ada cara lain yang bisa kaulakukan."

"Tidak. Aku akan tetap pada keputusanku. Sekarang aku sudah menikah, Pa. Aku berhak menentukan pilihan hidupku bersama Calvin."

"Pilihan hidupmu justru akan membuat Calvin menderita."

"Aku tahu apa yang terbaik untuk suamiku."

Kata terakhir ia tekankan dengan kuat. Sempurna membuat Dokter Tian terpaku. Tak disangkanya putri semata wayangnya berbuat sejauh ini.

Sedih menusuk hati. Amarah menyergap jiwa. Dokter Tian bangkit, menatap mata Evita lurus-lurus. Nada suaranya tegas saat berkata,

"Evita Yolanda, gunakan logikamu! Kau harus realistis! Lepaskan Calvin!"

"Cinta tak butuh logika, Pa. Jangan harap aku akan melepaskan Calvin. Suamiku akan tetap tinggal di sini, selamanya."

Air mata jatuh ke lantai marmer. Entah air mata siapa. Dua hati terluka di rumah besar itu.

"Papa tidak tahu bagaimana rasanya. Selama dia sakit, akulah yang mendampinginya. Aku yang merawatnya. Selain Papa, Calvin pria yang paling kucinta." Nada suara Evita bergetar penuh kesedihan.

Mata Dokter Tian meredup. Duka merobek-robek hatinya.

"Jika kamu mencintai Papa, tolong lepaskan Calvin. Cintai dia dengan cara yang semestinya."

"Pa, memangnya aku tidak boleh melayani suamiku sendiri? Papa seharusnya bangga aku berusaha menjadi istri yang baik." sela Evita gusar.

"Maaf Evita, kali ini Papa tidak bangga padamu. Caramu sudah kelewatan. Bukan begini cinta yang sesungguhnya."

Kekecewaan tertangkap kuat dalam nada suara Dokter Tian. Sakitnya dikecewakan oleh perbuatan anak sendiri. Evita tak menyadari, dia telah mencoreng nama baik Papanya. Keputusannya bahkan sangat tidak logis.

"Evita, sekali lagi Papa ingatkan. Mencintai adalah hak setiap orang. Kesedihan itu manusiawi. Namun, jangan biarkan cinta dan kesedihan membutakan logika. Semua ada waktunya, Sayang. Ada saatnya kita memakai logika, ada saatnya kita memakai hati."

"Bagaimana kalau aku hanya ingin mencintai Calvin dengan hatiku? Bagaimana kalau aku ingin membunuh logikaku sendiri demi cinta?"

Usai melontarkan dua kalimat telak itu, Evita berlari ke lantai atas. Meninggalkan Dokter Tian dalam pedihnya kekecewaan.

**     

Isi bathtub seakan menggelegak. Cairan kimia ditumpahkan dengan tangis. Mata Evita berkaca-kaca sewaktu membawa tubuh membeku itu ke dalam bathtub.

"Malaikat tampan bermata sipitku, yang kuinginkan hanya kamu. Aku tak peduli apa kata orang-orang tentangku. Belum tentu mereka tulus dan memahamiku. So, buat apa mendengarkan mereka?"

Tubuh membeku itu diguyur cairan kimia beraroma menusuk. Rona pucat pasi di wajahnya tak memudarkan kerupawanan. Walau sangat tampan, tetap saja tubuh itu beku. Tak bergerak, lemah, tak berdaya.

"Tadi aku ditekan Papa. Calvin, kau sendiri yang mengajariku bahwa kita tidak boleh melarikan diri saat tertekan. Kautuliskan itu di artikelmu. Bahkan artikel itu menjadi headline, kan? Ah aku ingat sekali." Evita tertawa lembut.

"Aku takkan lari. Aku akan tetap di sini, bersamamu. Hanya satu yang kuinginkan: dirimu."

Tubuh membeku itu diam, tetap diam. Ia diam dalam ketampanannya, kelembutannya.

"Masih ingat saat kau masih dirawat di rumah sakit, Sayang? Dengan terpaksa, aku harus memaksamu masuk dalam kehidupan yang tidak kauinginkan. Tubuhmu ditempeli berbagai peralatan medis. That's not life, begitu katamu berulang-ulang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak punya pilihan lain. Aku menginginkan yang terbaik untukmu. Dalam pikiranku saat itu, malaikat tampan bermata sipitku harus sembuh."

Awan-awan di bola mata Evita memecah menjadi hujan. Ia terisak. Pilu, pilu sekali.

"Aku ingat, di ruangan ini kamu pernah muntah darah. Akulah yang menyeka darahmu. Waktu kamu mimisan, aku juga yang datang membersihkan darahmu. Jika aku bisa, ingin sekali kupindahkan penyakit laknat itu ke tubuhku. Biar aku saja yang sakit, jangan kamu..."

Evita terisak-isak. Air mata membasahi maskernya. Biarlah orang-orang tak memahami. Cukup dirinya yang merasakan. Beginilah caranya mencintai Calvin.

Selesai, bisik hati kecilnya. Ia angkat tubuh membeku itu dari bathtub. Dibawanya tubuh sedingin es itu kembali ke ranjang. Seperti biasa, Evita memakaikan baju dan merapikan penampilan sang suami tercinta. Semua itu ia lakukan dengan penuh kasih sayang.

Perlahan dilepasnya sarung tangan dan masker. Evita menciumi wajah Calvin. Ia ambil iPad. Sejenak membuka portal informasi yang memuat tulisan-tulisan Calvin. Lembut membacakan tulisan terakhir Calvin yang tadi diingatnya.

"Tulisan-tulisanmu sangat menginspirasi. Oh...bahkan ada pembaca yang bertanya, kapan kamu akan menulis lagi? Kau akan tetap diingat di hati para pembacamu, Calvin."

Tubuh membeku itu tetap saja diam. Diam dalam keabadian.

"Pembaca pun mengagumimu. Aku, istrimu, sangat mencintaimu. Begitu cintanya sampai aku ikhlas bila sepanjang hidup harus kukotori tanganku dengan formalin. Sungguh aku ikhlas, Calvin. Aku juga ikhlas bila harus melewatkan sisa usiaku dengan tinggal bersama mayat."

Di luar sana, langit menghitam. Awan Nimbus bergulung menakutkan. Gemuruh petir sejalan dengan gemuruh di hati Evita.

**     

https://www.youtube.com/watch?v=QuB4visGtbM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun