Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat Terbuka untuk Kompasianer yang Saya Sayangi dan Belum Tentu Menyayangi Saya

1 Juni 2018   05:10 Diperbarui: 1 Juni 2018   05:18 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dear Kompasianers yang saya sayangi dan yang belum tentu menyayangi saya,

Saya harap kalian selalu sehat dan bahagia, dimana pun kalian berada. Seperti menyiramkan alkohol ke atas luka, ketika menuliskan kata demi kata di surat cantik ini.

Betapa tidak enaknya menjalani masa transisi. Dari masa terindah sampai masa tersuram. Honestly, ini Ramadan tersuram dan tersunyi yang pernah saya rasakan. Saya betul-betul merasakan apa yang disebut kesepian di tengah umat seagama. Bagi saya, kesepian bisa membunuh sama efektifnya seperti kelaparan dan kesakitan.

Hingga hari ke16 Ramadan, saya tetap di sini. Sepi, sunyi, sendiri. Bila di luar sana orang-orang sibuk memenuhi undangan bukber dari berbagai grup pertemanan, saya tidak. Coba saya tanya, berapa undangan buka puasa bersama yang telah kalian terima? Berapa pula acara buka puasa bersama yang telah kalian ikuti? Pasti sudah banyak. Bisa setiap hari, bisa setiap minggu.

Bagaimanakah rasanya? Menyenangkankah? Ataukah bukber hanya ajang pamer semata? Ataukah acara buka puasa bersama seperti dua sisi mata pisau? Wallahu alam, saya yakin tiap orang punya pengalaman dan esensinya masing-masing dalam menghadiri momen yang satu ini.

Pamer atau bukan, kalian masih beruntung. Saya sama sekali tidak merasakannya selama Ramadan berlangsung setengah jalan. Tidak ada yang menginginkan kehadiran saya, saya tahu itu. Menjadi orang yang tidak diinginkan, menjadi pribadi persona non grata. Menjadi pribadi yang hanya dicari bila ada butuhnya saja. That's me.

Saya tahu, kenapa dalam kesenangan orang-orang yang berada dalam lingkup semua grup pertemanan yang saya ikuti, tidak mengajak saya. Alasannya hanya satu: tidak mau terbebani dan direpotkan. Nah, di sinilah letak kesadaran diri. Letak penerimaan diri. Bahwa saya ini merepotkan. Saya ini hanya bisa membebani. That's right.

For example, seperti acara yang kemarin diadakan grup kelas saya di hari ke15 Ramadan. Mereka berbuka puasa bersama, berfoto, dan saling bertukar kado. Hampir semuanya hadir kecuali saya. Keputusan saya untuk tidak hadir murni dari hati saya sendiri. Sebab saya tahu diri, seperti lagunya Maudy Ayunda. Tahu diri bahwa saya merepotkan, hanya bisa menjadi beban, membuat mereka tidak leluasa mengobrol, bergerak kesana-kemari, atau tidak ada yang memahami. Nah, inilah salah satu sisi tidak enaknya menjadi minoritas.

Seperti lagunya Rizky Febian, saya cukup tahu siapa diri saya. Berkaca saja dari kejadian ujian akhir semester lalu. Ketika saya butuh waktu lama untuk menemukan yang bisa membantu menuliskan, karena saya tak bisa menulis sendiri dengan tangan. Memangnya ada yang sadar? Memangnya ada yang peduli? Dosen yang mengawasi saja tak mau direpotkan. Saya cari sendiri.

Sendiri, satu kata itu menakutkan. Seseorang pernah mengajari saya untuk menikmati kesendirian. Bodohnya, saya pernah mencobanya dan gagal. Sekarang yang ingin saya lakukan hanyalah pasrah, membekukan hati, mendinginkan jiwa, dan melarikan diri dari sepi. Kompasiana adalah rumah yang nyaman untuk pelarian dari kesendirian.

Susahnya mencari orang baik. Saya tahu pasti. Sebagian besar orang di muka bumi ini jahat. Kalaupun ada yang baik, jumlahnya sedikit sekali dan nyaris tidak mungkin dijangkau oleh orang seperti saya.

Saya rasakan betul, sungguh tak enak jadi minoritas di tengah mayoritas. Menjadi minoritas membuat orang lain sulit dipahami. Menjadi minoritas membuat tak semua orang mau membuka hati dan menerima keminoritasan kita dengan tangan terbuka. Makin jarang orang berpikiran terbuka belakangan ini.

Sudah jadi minoritas, dianggap menyusahkan pula. Padahal saya tidak seperti itu. Bukankah sejak bersekolaah di Senior High School saya dilatih untuk bepergian sendiri? Siapa bilang saya selalu tergantung pada orang saat akan bepergian, beraktivitas, atau menggapai mimpi? Nope, mereka tidak tahu diri saya luar-dalam. Hanya karena ada sebagian keluarga yang tidak mengizinkan saja, kini akhirnya saya tidak bisa lagi pergi sendirian. Namun kalau disuruh lagi, saya masih bisa dan masih kuat melakukannya sendiri.

Sering kali saya berpikir. Mengapa keluarga saya mempunyai teman-teman yang baik, relasi yang mulus dengan pasangan, sementara saya justru sering berhadapan dengan teman-teman yang jahat? Mengapa saya tidak pernah mulus dalam berelasi dengan orang yang saya cintai? Refleksi diri berulang kali, apa yang salah dengan diri ini? Saya takut, takut jadi orang jahat. Selama ini, saya terbiasa belajar berbagi apa yang saya miliki. Entah, saya senang memberi pada orang lain, baik orang yang saya kenal maupun tidak. Baik pemberian dalam bentuk materi, maupun non materi.

Termasuk pada teman-teman di lingkup grup kelas saya. Semester kemarin, saya lagi senang-senangnya membagikan coklat pada mereka. Mereka jelas senang menerimanya, bahkan mengakui kalau produk coklat asli yang saya bagikan itu enak. Saya ikut senang. Tapi, ya seperti biasa lagi. Mereka tetap apatis dan tidak peduli. Senangnya hanya sebatas ketika diberi coklat dan dibantu saja. Setelah itu, jangan harap mereka akan menghampiri saya ketika saya berduka.

So, saya tidak tahu apa salah saya. Mengapa kursi di sebelah saya selalu kosong tanpa diduduki satu pun yang mau menemani? Mengapa hati ini selalu hampa tiap kali ada yang bertanya, siapa sahabat terbaikmu? Tidak ada orang yang mau bersama sosok minoritas yang sering kali dianggap merepotkan seperti saya.

Walau begitu, saya tetap teguh pada pilihan hidup saya: menolong sebanyak mungkin orang dengan hypnotherapy. Kalaupun tidak ada manusia yang menolong, biarlah Tuhan dan malaikat-malaikatNya yang terpilih untuk menolong saat saya dalam kesulitan. Selain pilihan sebagai therapyst, saya juga ingin tetap menulis, berbagi, bermain musik, dan mengajar. Selama saya masih mampu.

Kompasianers,

Di hari ke15 Ramadan, Nyonya Besar a.k.a My Mom, mengajak saya keluar untuk berbuka puasa bersama. Hanya berdua. Awalnya semua normal-normal saja. Aneh, kami sudah berbuka di rumah tapi tetiba ingin berbuka lagi di luar. Entah dari mana mulainya, My Mom bicara tentang sesuatu. Pertanyaannya sederhana saja.

"Siapa penerus Mama yang jaga kamu kalau Mama sudah tidak ada?"

Seperti tamparan di hati. Mom, bagaimana kalau saya tidak ingin dijaga manusia? Bagaimana kalau saya hanya ingin dijaga Tuhan saja? Bukankah penjagaan Tuhan lebih baik dari bentuk proteksi mana pun yang bisa diberikan manusia? Manusia saja dihidupkan dan dimatikan oleh Tuhan.

Saya diam saja. Sebab saya tidak lagi meletakkan harapan untuk dijaga manusia. Biarlah Tuhan Allah saja yang melindungi.

Kompasianers yang saya sayangi dan belum tentu menyayangi saya,

Dari kecil saya belajar untuk tegar dan tidak mudah menjatuhkan air mata. Pun ketika menghadapi serbuan diskriminasi, saya tidak ingin meneteskan setitik air mata pun. Cukup doakan saja orang-orang yang menjadi otak di balik diskriminasi yang saya alami. Bahkan ketika Rektor dari sebuah universitas ternama yang pernah menolak saya di ruang kerjanya yang sejuk dan berkarpet tebal, saya tetap diam. Pasang ekspresi dingin saja, beres. Without smile, without tears. Ketiadaan air mata justru menunjukkan kepasrahan diri. Pasrah saja, dan tidak usah mengutuki apa yang terjadi. Begitu pula sekarang ini, dalam kesepian akut ini, saya cukup menghadapinya dengan dingin dan beku.

Kompasianers,

Satu hal lagi sebelum saya akhiri surat cantik ini. Saya takut menghadapi hari raya. Ya, saya takut. Karena saya masih trauma dengan pahitnya Ied Mubarak tahun lalu. Ketika saya diusir seseorang yang akan melaksanakan Retret di rumah Retretnya. Saya takut diusir dan diperlakukan serupa di hari raya tahun ini.

Sudah, cukup itu saja yang ingin saya sampaikan. Saya tak tahu lagi harus bagaimana. Tetap tegar dan berserah diri pada Tuhan, hanya itu yang bisa saya lakukan. Kasih itu mahal. Kepedulian itu langka. Ketulusan itu sulit didapat. Kepercayaan tak mudah dipertahankan. Cinta itu nyaris tak mungkin bila bukan karena kehendak Tuhan.

Regards,

Young Lady cantik bermata biru dan bergaun putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun