Kompasianers yang saya sayangi dan belum tentu menyayangi saya,
Dari kecil saya belajar untuk tegar dan tidak mudah menjatuhkan air mata. Pun ketika menghadapi serbuan diskriminasi, saya tidak ingin meneteskan setitik air mata pun. Cukup doakan saja orang-orang yang menjadi otak di balik diskriminasi yang saya alami. Bahkan ketika Rektor dari sebuah universitas ternama yang pernah menolak saya di ruang kerjanya yang sejuk dan berkarpet tebal, saya tetap diam. Pasang ekspresi dingin saja, beres. Without smile, without tears. Ketiadaan air mata justru menunjukkan kepasrahan diri. Pasrah saja, dan tidak usah mengutuki apa yang terjadi. Begitu pula sekarang ini, dalam kesepian akut ini, saya cukup menghadapinya dengan dingin dan beku.
Kompasianers,
Satu hal lagi sebelum saya akhiri surat cantik ini. Saya takut menghadapi hari raya. Ya, saya takut. Karena saya masih trauma dengan pahitnya Ied Mubarak tahun lalu. Ketika saya diusir seseorang yang akan melaksanakan Retret di rumah Retretnya. Saya takut diusir dan diperlakukan serupa di hari raya tahun ini.
Sudah, cukup itu saja yang ingin saya sampaikan. Saya tak tahu lagi harus bagaimana. Tetap tegar dan berserah diri pada Tuhan, hanya itu yang bisa saya lakukan. Kasih itu mahal. Kepedulian itu langka. Ketulusan itu sulit didapat. Kepercayaan tak mudah dipertahankan. Cinta itu nyaris tak mungkin bila bukan karena kehendak Tuhan.
Regards,
Young Lady cantik bermata biru dan bergaun putih.