"Ironisnya, aku sering melihat mereka tapi belum pernah sama sekali membantu mereka. Aku malah membantu orang-orang yang jauh dariku. Yang tinggal tepat di dekat rumahku malah terabaikan. Rasanya aku jahat sekali."
"That's all?"
Revan diam lagi. Nampaknya ia kehabisan kata untuk menjelaskan. Firasat Calvin mengatakan, ada fakta penting lagi yang harus diketahui.
"Calvin, kemarin kulihat mereka menerima kotak makanan berbuka yang dibagikan aktivis gereja. Ya, orang-orang Non-Muslim berbagi makanan berbuka puasa pada orang Muslim."
"Itu kan sudah sering terjadi. Tidak masalah, mereka juga mengerti soal aturan halal-haram di agama kita." Calvin menenangkan sahabat Minahasa-Portugis-Turkinya.
"Bukan, bukan begitu. Aku malu, Calvin. Mengapa malah Non-Muslim yang menolong mereka? Mengapa bukan saudara-saudara seiman yang membantu mereka?"
Ruang pemahaman terbuka di benak Calvin. Perasaan malu, tergerak ingin menunjukkan solidaritas, dan bercermin dari kepedulian umat agama lain. Bila masih ada Muslim, mengapa harus Non-Muslim yang menolong?
"Aku mengerti. Bagaimana kalau kita bantu mereka? Lebih cepat lebih baik, kan?" saran Calvin ringan tapi serius.
Saran itu disambuti anggukan antusias Revan. Kedua sahabat beda etnis itu berjalan menuju mobil. Begitu pintu Mercynya terbuka, Revan tahu apa yang harus dia lakukan.
"Ikuti aku, Calvin." pintanya sebelum menjalankan mobilnya.
Mercy dan Nissan X-Trail itu melaju ke luar halaman masjid. Menembus malam berkabut di kota dingin, mengarah ke gerai supermarket yang cukup ternama. Gerai supermarket yang terkenal dengan konsistensinya menjual produk-produk halal.