Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pria Juga Bisa Mengalami Kekerasan Berulang

12 Mei 2018   14:19 Diperbarui: 12 Mei 2018   14:49 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca artikel sahabat Kompasianer Susy Haryawan tadi pagi, Young Lady jadi tergelitik ntuk menanggapinya dengan cantik. Tulisan Kompasianer cerdas dan berwawasan luas ini mengupas tentang kekerasan pada laki-laki. Inspirasinya dari dua kisah pembunuhan pasca pre-wedding.

Ok, di sini Young Lady cantik lebih suka menyebutnya pria. Kata 'pria' terasa lebih tinggi dan halus maknanya dibandingkan laki-laki. Seperti halnya kata 'wanita' lebih halus dari 'perempuan'.

Masalah gender dan dominasi memang selalu layak untuk diperbincangkan. Dalam artikel itu, Young Lady kesannya menangkap gelagat bahwa penulisnya membela pria. Pria digambarkan sebagai sosok yang kuat, bertanggung jawab, tegar, pantang menangis, dan kebal bila menghadapi kekerasan. Sedangkan wanita dilukiskan sebagai figur yang cerewet, suka mengungkit masa lalu, senang memarahi pria, dll. Namun, benarkah begitu?

Young Lady cantik punya pengalaman sendiri dengan makhluk Allah bernama pria. Biarpun kesepian dan sulit percaya orang, Young Lady tahu bagaimana rasanya berelasi dengan beberapa pria. Sedikit-banyak mempelajari karakter mereka. Tapi Young Lady takkan mengulas bagaimana sifat pria. Sama sekali tidak.

Back to topic. Ini soal kekerasan. Young Lady tahu bagaimana rasanya mengalami kekerasan dari pria. Tahu sekali. Bahkan, sosok yang berstatus ayah sering melakukannya. Itu takkan terlupakan sampai kapan pun. Young Lady menolak lupa.

Bukan hanya ayah. Beberapa makhluk sejenis pun pernah melakukan hal yang sama. Eits, kekerasan di sini tak hanya fisik ya. Ada pula kekerasan psikologis, atau katakanlah kekerasan non-fisik. Justru kekerasan psikislah yang berdampak lebih fatal dan membahayakan.

Ada ungkapan, luka batin jauh lebih sulit disembuhkan dari luka fisik. Itu benar. Young Lady seratus persen mengakuinya. Terutama ketika awal-awal membantu orang dengan hypnotherapy. Ada yang sulit sekali menyembuhkan luka batinnya, ada pula yang sangat mudah. Kembali lagi ke diri masing-masing individu. Ketika menerapi orang-orang, Young Lady jadi belajar banyak kepribadian dari mereka. Ada yang pemaaf, introvert, ekstrovert, ambivert, culas, baik hati, lembut, keras hati, dan masih banyak lagi. So, Young Lady bisa melihat mana yang sulit menyembuhkan luka batin dan mana yang mudah.

Luka batin ini diakibatkan oleh kekerasan non-fisik. Seperti yang dilakukan dan dialami Young Lady sendiri. Oh iya pasti, Young Lady pernah menerima bentuk kekerasan psikis sekaligus pernah melakukannya.

Klimaksnya tahun kemarin. Ketika seorang pria melakukan kekerasan psikis pada Young Lady.    Mana momennya tidak pas lagi. Di hari raya yang suci, pria itu malah melakukan kekerasan psikis pada Young Lady. Melakukannya di pintu rumah yang suci pula. Sungguh, sampai kapan pun Young Lady takkan bisa melupakannya.

Beberapa jam kemudian, tanpa diduga-duga, datanglah pria lain dalam kehidupan Young Lady. Itu tak disengaja dan tak direncanakan. Young Lady sama sekali tak menginginkannya. Barangkali sudah diatur Tuhan dan direstui semesta. Sebutlah pria yang datang ini "Calvin Wan".

Celakanya, "Calvin Wan" hanya menjadi bahan pelampiasan Young Lady. Seperti kata Bunga Citra Lestari di lagunya, kuingin marah melampiaskan. Young Lady serasa mendapat pelampiasan. Inilah pelampiasannya.

Sakit hati ini seakan terbalaskan. Menyiksa "Calvin Wan" dengan berbagai bentuk kekerasan psikis selama berbulan-bulan menjadi kebiasaan. Jika pria saja bisa menyakiti wanita, mengapa wanita tidak bisa? Ok fine, waktunya melakukan hal yang sama.

Jarum-jarum tajam tertusuk tanpa henti ke hatinya. Melukai dan melakukan kekerasan berulang sudah jadi biasa. Awalnya, ia mengeluh sakit. Trauma bisa jadi. Tetapi, makin ke sana, "Calvin Wan" mengaku tak lagi merasakan apa-apa. Aneh sekali. Semula kesakitan, sekarang merasa biasa-biasa saja.

Secepat itukah rasa sakit memudar? Apakah pria enggan mengungkapkan kerapuhannya? Bukankah kekerasan, apa lagi kekerasan berulang, akan menimbulkan jejak kepedihan mendalam?

Lebih aneh lagi, pria yang terbiasa mengalami kekerasan berulang ini selalu membalas kejahatan Young Lady dengan kebaikan. Pembiaran dibalas kasih. Kekerasan berulang dibalas perhatian. Pergi tanpa pamit tak beretika dibalas ketersediaan waktu. Masih segar dalam ingatan Young Lady. Empat bulan lamanya membacakan buku, empat bulan pula berkali-kali disakiti. Tak berhenti, walau menerima kekerasan berulang.

Seperti lagunya Maudy Ayunda, "Calvin Wan" malah mengajari Young Lady tentang cinta, kesetiaan, meluluhkan hati yang beku, dan menyembuhkan luka hati. "Calvin Wan" juga mengajarkan keikhlasan. Ikhlas dilukai dan mengalami kekerasan berulang. Mengamini kata Isyana Sarasvati di lagunya, Kuterimakan. Ia menerima kekerasan berulang yang terus dilayangkan pada dirinya.

Young Lady melakukan kekerasan berulang dengan sadar, sengaja, tanpa paksaan. Sama sekali tak ada rasa takut di hati ini. Sebab Young Lady sendiri tak ingin menikah. Semua pria jahat. Yang baik hanya Nabi Muhammad. So, buat apa menikah? Buat apa takut melakukan kekerasan berulang pada pria?

Sudah saatnya wanita bangkit dan melepaskan diri dari stigma pria yang melakukan kekerasan. Sakiti pria lebih dulu sebelum pria menyakiti wanita.

Sebuah dusta bila pria mengaku kuat, tegar, dan menganggap kekerasan berulang sebagai selingan atau hiburan dalam mengarungi hidup. Sebuah keanehan luar biasa bila ada pria yang tetap selalu ada untuk wanita yang melakukan kekerasan berulang padanya.

Well, Young Lady ingin meluruskan satu hal. Tak semua wanita itu banyak bicara dan suka mengungkit masa lalu. Biasanya, tujuan wanita mengungkit masa lalu adalah pencegahan agar tidak terulang lagi kesalahan yang sama. Bila dipikir lagi, gengsi dan harga diri pria terlalu tinggi. Mereka selalu emosi bila diingatkan soal tanggung jawab dalam keluarga. Padahal kenyataannya, wanita pun bisa mandiri dan kuat tanpa pria.

Kompasianer, bagaimana pendapat kalian tentang "Calvin" dan kekerasan berulang yang mengatasnamakan gender dan relasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun