Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Spesial] Melodi Silvi, Malam Penuh Syafaat untuk Malaikat Tampan Bermata Sipit

30 April 2018   06:21 Diperbarui: 30 April 2018   08:27 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Si wanita membuka lagi dompetnya. Berusaha mencari-cari uang, namun tak ada. Menyadari kesulitan konsumennya, Calvin tak tinggal diam. Diambilnya lima batang coklat dari rak, diserahkannya pada anak lelaki itu.

"Jangan...jangan, tidak usah. Saya tidak punya uang untuk membayarnya." tolak si wanita, nadanya gusar.

"Tidak perlu bayar. Saya berikan gratis buat anak Ibu," balas Calvin ramah.

Mata si anak lelaki berbinar bahagia. Ia mengucap terima kasih pada Calvin, kemudian mengantongi coklat pemberiannya. Si wanita nampak kurang enak, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Baru saja ia menghina supermarket ini. Namun kenyataan menghantamnya kuat. Kebaikan mematahkan prasangka.Jam demi jam berlalu. Calvin lebih banyak melayani konsumen dibandingkan mengurung diri di ruang kerjanya yang mewah. Dua jam melayani konsumen, Calvin dikagetkan dengan kedatangan anak perempuan berseragam putih biru dan berambut panjang. Sepatunya berlubang di beberapa tempat. Tas ranselnya rusak dan tak layak pakai. Rambutnya acak-acakan. Dengan penampilan seperti itu, wajar bila sekuriti menaruh curiga. Diduganya si anak perempuan ingin mencuri.

Pelan-pelan anak perempuan itu melangkah ke counter roti. Tangannya gemetar hebat saat mengambil dua bungkus roti berlapis krim dan keju. Sejurus kemudian ia berjalan ke meja kasir. Meja kasir di lajur kiri, tepat melangkah ke tangan yang tepat.

Calvin menerima dua bungkus roti itu. Mengoperasikan mesin cash register. Melihat selembar uang yang diulurkan si anak perempuan berpenampilan menyedihkan.

"Maaf, Adik...uangnya tidak cukup." kata Calvin lembut.

Wajah anak itu memucat. Tubuhnya lesu seketika. Ia mengusap peluh dan air mata yang membasahi wajahnya. Sesuatu yang lembut menyentuh hati Calvin. Ia berjalan memutari meja kasir, lalu berdiri tepat di samping kiri anak perempuan itu. Membungkukkan tubuh semampainya, menatap lebih jelas wajah sedih si anak perempuan.

"Kamu sangat butuh roti ini?" tanyanya, nada suaranya kian lembut.

Anak itu mengangguk kuat-kuat. Bibirnya bergetar.

"Ibu saya sakit parah...Ibu ingin roti ini. Saya hanya sendirian merawat Ibu. Makanya tadi saya langsung ke sini. Tapi ternyata...uangnya nggak cukup."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun