Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Spesial] Melodi Silvi, Malam Penuh Syafaat untuk Malaikat Tampan Bermata Sipit

30 April 2018   06:21 Diperbarui: 30 April 2018   08:27 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lama ia tenggelam dalam pikirannya. Bersandar di kursi tingginya yang empuk. Gelisah memain-mainkan tabletnya. Membuka web melodisilvi.com, lalu mengisinya dengan artikel baru. Sebuah artikel yang sesuai dengan passionnya. Hari ini, Calvin menulis tentang alasan naiknya harga impor barang teknologi China oleh Amerika Serikat. Lama ia tak menulis di webnya. Fokus dengan urusan bisnis dan terapi pengobatan di rumah sakit.

Selesai memposting artikel, Calvin bangkit dari kursinya. Berjalan meninggalkan ruangan. Pelan menutup pintu di belakangnya.

Memimpin rapat, itulah yang dilakukan Calvin pagi ini. Tak ia biarkan staf yang mengantuk, bermain gadget, atau mengobrol dengan tetangga duduknya selama rapat. Bukan Calvin Wan namanya kalau tak pintar merebut perhatian audience.

Rapat usai. Setelah itu, menyelesaikan beberapa pekerjaan. Barulah Calvin melakukan trik lamanya. Trik lama yang mengundang kekaguman para karyawan.

"Kenapa Pak Calvin sering melakukan itu?" tanya seorang karyawan suatu kali.

"Saya hanya ingin dekat dengan konsumen. Berinteraksi dengan mereka, melayani mereka dengan tangan saya. Tidak salah, kan? Toh saya lakukan setelah menyelesaikan tanggung jawab dan kewajiban saya sebagai pemimpin."

Pemimpin anti mainstream tetapi super baik. Siapa pun akan betah bekerja untuk Calvin.

"Tapi Pak, itu kan kerjaannya karyawan. Kayaknya aneh, kalo pemimpin tertinggi turun tangan langsung sama customer." Sang karyawan masih juga membantah.

Tersenyum sabar, Calvin menanggapi. "Ini trik saya. Lagi pula, saya pikir semua manusia sama. Pemimpin maupun karyawan, orang miskin atau orang kaya, semua punya hak untuk diperlakukan baik. Saya hanya ingin memastikan konsumen saya diperlakukan dengan baik tanpa diskriminasi, apa pun latar belakang mereka."

Setiap konsumen berhak diperlakukan sama. Adil tanpa diskriminasi. Apa pun latar belakang mereka. Pelajaran berharga yang ditanamkan Calvin pada pegawai-pegawainya.

Sebelum menanggalkan jas mahalnya, Calvin melangkah ke bagian depan supermarket. Di dekat pintu masuk, terdapat sebuah boks merah berukuran besar. Kertas-kertas kecil berjejalan di dalamnya. Calvin mengambil semua kertas itu, sekilas membacanya.

"Keamanan di sini kurang terjamin."

"Customer servicenya kurang ramah. Mungkin bisa digantikan dengan orang yang lebih ramah dan murah senyum."

"Pindahkan saja customer servicenya ke bagian gudang, ganti dengan orang baru. Masa melayani penitipan barang dan membantu membungkus barang belanjaan tidak ada ramah-ramahnya sama sekali?"

Senyum tipis menghiasi wajah tampannya. Ternyata kotak ini masih ada gunanya juga. Pengaduan di medsos yes, via kotak saran yes. Bagi konsumen yang tidak memakai medsos-kebanyakan gen X atau baby bummer yang cenderung gaptek-masih bisa punya akes untuk melancarkan komplain atas pelayanan supermarket yang kurang memuaskan. Kurang apa jaringan supermarket satu ini? Pelayanan berbelanja maksimal, pelayanan untuk pengaduan pun diakomodir. Tak heran bila pengunjungnya loyal dan tak mau berpaling ke kompetitor.

Selesai membaca beberapa pengaduan dengan gaya tulisan khas tulisan orang tua, Calvin berganti pakaian. Kini ia tak jauh berbeda dengan para karyawan lainnya. Orang yang tak kenal baik jaringan supermarket ini akan mengiranya karyawan biasa. Nyatanya, Calvin Wan memang ingin dikenal sebagai orang biasa.

Mulailah ia berhadapan dengan konsumen. Berdiri di meja kasir, mengoperasikan mesin cash register dengan cekatan. Konsumen pertama yang dilayaninya seorang gadis berbaju ketat dengan rambut dikepang. Gadis itu berulang kali mengedip nakal padanya. Ia sengaja berlama-lama saat memberikan uang untuk membayar barang belanjaannya. Menatap genit ke arah Calvin, si gadis berkata.

"Cakep-cakep kok jadi kasir. Mendingan jadi pacarku. Boleh minta WA kan? Atau...IG nya aja boleh kan?"

Mendengar itu, Calvin hanya tersenyum. Tak menjawab pertanyaan si gadis genit. Kesal pertanyaannya tidak dijawab, si gadis mengentakkan kakinya.

"Jawab dong! Apa susahnya sih? Jangan belagu ya, kamu sih ganteng. Tapi kan cuma kasir!"

Lama sekali ia tak mau mundur dari meja kasir. Sikapnya membuat jengkel para pengunjung yang antre di belakang. Seorang ibu paruh baya dengan rambut beruban malah berpindah ke meja kasir di lajur sebelah kanan. Tak tahan antre berlama-lama dan menyaksikan kelakuan sok centil kids zaman now yang menggoda laki-laki tampan.

Beberapa karyawan dan SPG yang kebetulan lewat, mendelik mendengarnya. Gemas melihat kelakuan kids zaman now satu itu. Andai saja ia tahu siapa Calvin.

Dari belakang, seseorang memeluknya. Pelukan hangat diikuti wangi Escada The Moon Sparkel. Refleks Calvin berpaling. Seorang wanita cantik berambut pirang dan bermata biru memeluknya mesra. Tanpa ragu mendaratkan ciuman mesra di pipinya. Mata biru si wanita begitu membara saat menatap si gadis genit berbaju ketat. Mengisyaratkannya tanpa kata untuk berhenti menggoda Calvin. Dia milikku, begitu makna yang tertangkap di dalam mata biru yang menawan itu.

Tatapannya menggetarkan. Membekukan hati dan jantung. Wanita itu cantik sekali. Bahkan Calvin dan si gadis genit mengakuinya dalam hati. Segera saja si gadis genit kabur setelah meletakkan uangnya. Lupa dengan uang kembaliannya. Beberapa karyawan sembunyi-sembunyi bersorak di balik rak makanan. Senang bos kesayangan mereka terbebas dari gangguan konsumen tak tahu malu.

Calvin menoleh ke samping. Maksud hati ingin berterima kasih pada perempuan berambut pirang dan bermata biru yang menolongnya, walau ia tak kenal siapa dia. Tapi...

"Dor! Ketipu!"

Gawat, ternyata yang tadi memeluknya wanita jadi-jadian! Penyamaran terbuka. Sepasang tangan menghapus riasan make up di wajah, melepas dress berwarna biru, memperlihatkan jas berwarna dark blue di bagian dalam. Si penyamar tertawa, dan memukul punggung Calvin dengan penuh kemenangan. Calvin terbelalak kaget melihatnya. Pria yang menyamar menjadi wanita untuk melindunginya tak lain adalah Revan.

"Mana mungkin kubiarkan sahabatku digoda orang sembarangan? Aku rela menyamar menjadi wanita untuk melindungimu. Finally, berhasil kan? Bahkan aku tak perlu bicara untuk membuatnya pergi."

Revan masih saja tertawa. Puas sekali atas penyamarannya. Tak kalah puasnya melihat kekagetan di wajah Calvin.

"Pantas saja aku merasa tak asing. Tak banyak orang bermata biru dan berambut pirang di negeri kita. Tahunya kamu...kok kamu ada di sini sih? Nggak ke kampus?" selidik Calvin.

"Aku ambil cuti. Nggak apa-apalah, Rektor juga manusia. Punya rasa punya hati...ups, itu kan lirik lagu."

"Kalau ada mahasiswamu tahu, bisa bahaya. Tidak baik untuk reputasimu, Revan. Kamu harus belajar dewasa. Jadilah pemimpin yang dewasa."

Senyum Revan sedikit memudar. "Iya, sorry...tadi aku hanya ingin menjaga sahabatku ini. That's all."

Tak lama, Revan pamit pada Calvin. Ia putuskan kembali ke kampus setelah memastikan sahabatnya baik-baik saja. Menatap punggung sahabatnya yang kian menjauh, Calvin rasanya ingin tertawa karena kejadian beberapa saat lalu. Revan Tendean memang tampan, sangat tampan. Itu karena campuran tiga ras dalam tubuhnya: Minahasa, Portugis, Turki. Sebagai pria, Revan sangat tampan. Tapi, ternyata Revan cantik sekali saat menyamar menjadi wanita.

Setengah jam berikutnya, Calvin berhadapan dengan seorang wanita berusia sekitar 35 tahun berpakaian lusuh. Ia ditemani anak lelakinya, kelihatannya umurnya 6-7 tahun. Barang belanjaannya hanya sedikit. Sabun, detergen, dan minyak goreng. Berulang kali si wanita mengeluh panjang, resah membuka-buka dompetnya.

"Supermarket ini hanya untuk orang kaya." desisnya.

"Mendingan saya belanja di toko depan gang rumah saya. Kapok deh saya belanja di sini. Uang buat seminggu bisa habis."

Diam dan tetap melempar senyum menawan, hanya itu yang dilakukan si kasir palsu. Pria tampan berdarah Tionghoa itu dalam hati malah kasihan pada anak si wanita. Malangnya punya ibu yang hobi mengeluh. Sementara itu, si anak lelaki melirik batang-batang coklat yang tersusun rapi di meja kasir. Coklat di meja kasir, salah satu taktik yang sedang diujicobakan beberapa bulan terakhir di semua gerai supermarket milik Calvin.

Mata anak itu melirik tak henti. Ia memungut satu batang coklat, lalu menciumnya. Mengelus-elus bungkusnya penuh kerinduan.

"Ibu, aku mau coklat." rajuknya tiba-tiba, mengagetkan ibunya.

Si ibu melotot galak. Lalu membentak anaknya dengan marah.

"Nggak boleh! Ibu nggak punya uang lagi! Kan tadi udah janji, kamu nggak minta dibelikan apa-apa!"

"Yah Ibu...ayo dong. Beliin aku coklat. Aku mau coklat itu."

Terus memohon, lama-lama ibunya kasihan juga. Calvin menatap mereka berdua tanpa kata. Mendadak ia teringat Silvi. Andai saja Silvi yang meminta hal seperti itu, ia akan langsung memenuhinya tanpa perlu berdebat. Rindunya pada Silvi membuncah teramat kuat.

Si wanita membuka lagi dompetnya. Berusaha mencari-cari uang, namun tak ada. Menyadari kesulitan konsumennya, Calvin tak tinggal diam. Diambilnya lima batang coklat dari rak, diserahkannya pada anak lelaki itu.

"Jangan...jangan, tidak usah. Saya tidak punya uang untuk membayarnya." tolak si wanita, nadanya gusar.

"Tidak perlu bayar. Saya berikan gratis buat anak Ibu," balas Calvin ramah.

Mata si anak lelaki berbinar bahagia. Ia mengucap terima kasih pada Calvin, kemudian mengantongi coklat pemberiannya. Si wanita nampak kurang enak, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Baru saja ia menghina supermarket ini. Namun kenyataan menghantamnya kuat. Kebaikan mematahkan prasangka.Jam demi jam berlalu. Calvin lebih banyak melayani konsumen dibandingkan mengurung diri di ruang kerjanya yang mewah. Dua jam melayani konsumen, Calvin dikagetkan dengan kedatangan anak perempuan berseragam putih biru dan berambut panjang. Sepatunya berlubang di beberapa tempat. Tas ranselnya rusak dan tak layak pakai. Rambutnya acak-acakan. Dengan penampilan seperti itu, wajar bila sekuriti menaruh curiga. Diduganya si anak perempuan ingin mencuri.

Pelan-pelan anak perempuan itu melangkah ke counter roti. Tangannya gemetar hebat saat mengambil dua bungkus roti berlapis krim dan keju. Sejurus kemudian ia berjalan ke meja kasir. Meja kasir di lajur kiri, tepat melangkah ke tangan yang tepat.

Calvin menerima dua bungkus roti itu. Mengoperasikan mesin cash register. Melihat selembar uang yang diulurkan si anak perempuan berpenampilan menyedihkan.

"Maaf, Adik...uangnya tidak cukup." kata Calvin lembut.

Wajah anak itu memucat. Tubuhnya lesu seketika. Ia mengusap peluh dan air mata yang membasahi wajahnya. Sesuatu yang lembut menyentuh hati Calvin. Ia berjalan memutari meja kasir, lalu berdiri tepat di samping kiri anak perempuan itu. Membungkukkan tubuh semampainya, menatap lebih jelas wajah sedih si anak perempuan.

"Kamu sangat butuh roti ini?" tanyanya, nada suaranya kian lembut.

Anak itu mengangguk kuat-kuat. Bibirnya bergetar.

"Ibu saya sakit parah...Ibu ingin roti ini. Saya hanya sendirian merawat Ibu. Makanya tadi saya langsung ke sini. Tapi ternyata...uangnya nggak cukup."

Hati Calvin trenyuh. Pria kelahiran 9 Desember itu tak tega. Tangis si anak perempuan pecah. Calvin memeluknya. Biar bagaimana pun, ia masih seorang ayah. Ayah yang dibenci anaknya.

"Roti ini buat kamu, Nak. Gratis..." ujar Calvin lirih.

Perlahan anak perempuan itu melepas pelukannya. Menatap Calvin tak percaya.

"Serius ini buat saya?" Ia memastikan.

"Iya. Dan...tunggu sebentar."

Calvin setengah berlari mengambil kotak seukuran kardus tempat penyimpan air mineral. Diisinya kotak itu dengan beberapa bungkus roti, sekaleng besar susu, beberapa botol minyak goreng, lima bungkus mie instant, buah-buahan segar, ikan kaleng, tas sekolah, kotak pensil penuh berisi alat-alat tulis yang semuanya baru, dan satu plastik sayuran.

"Ini buat kamu dan ibumu. Semoga ibumu cepat sembuh," ucapnya seraya memberikan kotak itu ke tangan si gadis malang.

Ia berterima kasih berkali-kali. Tak tahu bagaimana harus membalas kebaikan si pengusaha tampan. Calvin sungguh berhati malaikat. Tak heran bila Gloria dulu menjulukinya Malaikat Tampan Bermata Sipit. Si malaikat tampan bermata sipit mengantarnya keluar supermarket. Memastikannya pergi dengan selamat.

**         

Menjelang Maghrib, Calvin baru selesai dengan penyamarannya. Ia mengemudikan mobil dengan perasaan bahagia. Bahagia telah menolong orang lain, walau kebaikannya diprotes dan dianggap berlebihan oleh manager supermarket. Bila Calvin berbuat begitu terus, bisa-bisa supermarketnya merugi. Begitu kata managernya. Terlalu banyak orang miskin, atau orang yang pura-pura miskin.

"Laa haula wala quwata illa billah..." Calvin terus berzikir dan bershalawat di dalam hati. Menyetir mobil sambil berzikir dan bershalawat, kebiasaan lamanya. Apa kurangnya Calvin Wan? Tampan, kaya, saleh pula. Muslim berdarah keturunan yang dermawan dan penyayang.

Ia tiba di rumahnya tepat saat kumandang azan Maghrib. Maghrib tiba, hari berganti. Hari dalam penanggalan Hijriyah. Mengecek smartphonenya, Calvin teringat sesuatu. Ini malam Nisfu Sya'ban. Malam penuh ampunan. Tak boleh disia-siakan.

Baru saja menaiki anak tangga marmer penghubung teras dan halaman, tatapannya tertumbuk ke rumah seberang. Rumah Syifa. Lampu-lampunya menyala. Pertanda kehadiran penghuninya di dalam. Sebelum fokus beribadah, ada satu hal lagi yang mesti dilakukannya.

Buru-buru dia masuk ke dalam rumah. Meminta asisten rumah tangganya menyiapkan makanan. Diantarkannya makanan ke rumah Syifa. Meski ia tahu di rumah itu pun ada asisten rumah tangga dan supir pribadi yang selalu siap melayani, ini adalah bentuk kasih sayang. Bentuk kasih sayang bagi wanita dan anak-anak perempuan yang ditinggalkan pria yang mereka cinta.

"Terima kasih, Calvin. Kau selalu ingat kami." kata Syifa tulus.

"Sama-sama. Kamu dari mana, Syifa? Kelihatannya baru pulang dari bepergian ya?" tebak Calvin.

"Dari San Diego Hills. Rindu suamiku."

Kini Syifa telah banyak berubah. Dengan atau tanpa suaminya, Syifa berusaha menjadi istri salehah. Walau dulunya pernah terjerumus ke jalan yang salah sebagai istri palsu, ia sudah insyaf.

Si kembar Julia-Calisa dan Rossie berlari-lari menuruni tangga. Berebutan memeluk Calvin. Rossie duduk di pangkuannya. Dengan lembut dan penuh kasih, Calvin menyuapi ketiga anak cantik itu. Memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.

**        

This worldly life has an end

And it's then the real life begins

A world where we live forever

This beautiful worldly life has an end

It's just a bridge that must to be crossed

To a life that will go on forever (Maher Zain-This Worldly Life).

**       

Malam ini begitu hening. Malam pertengahan Sya'ban yang indah dan damai. Di saat inilah Calvin bermunajah pada Rabbnya. Mengharap kasih dan ampunanNya.

Ia bersujud, menghadapkan wajah tampannya ke bawah. Mencari ketenangan dan rengkuhan tanganNya. Bulan Sya'ban sering kali terlupakan. Umat lebih fokus pada Rajab dan Ramadhan. Namun, Calvin selalu mengingatnya. Sama seperti bulan-bulan lainnya, di bulan ini ia banyak beribadah. Banyak beramal.

Malam ini, Calvin memperbanyak shalat sunnah. Sejak pagi hingga malam, ia tebarkan banyak kebaikan. Berbagi untuk banyak orang. Kini, saatnya ia penuhi kekayaan rohaninya sendiri. Shalat dan zikir menjadi ibadah yang sangat pribadi. Bersifat individu, hanya antara diri pribadi dan Allah.

Muslim Non-Pribumi dan blogger super tampan itu membaca Surah Yasin sebanyak tiga kali. Bacaan pertama diniatkan untuk memperoleh umur panjang, bacaan kedua untuk mendapatkan banyak rizki, dan bacaan ketiga untuk memohon ampunan. Calvin membaca ayat-ayat itu dengan penuh cinta dan kasih. Suara bassnya yang empuk begitu lembut dan merdu. Bacaan Al-qurannya sempurna tanpa cela. Tak satu pun tajwidnya yang keliru.

Selesai membaca Yasin, Calvin larut dalam komunikasi transendentalnya pada Illahi. Amat berharap dirinya punya kesempatan bertemu lagi dengan bulan mulia. Memohon kesembuhan, umur panjang, dan kembalinya Silvi. Ia tak lagi mengharapkan pendamping hidup. Dinda dan Syifa, cukup sudah dua wanita itu saja yang menghiasi lembar-lembar cerita cintanya. Toh dia tahu diri. Calvin tak cukup sehat untuk menikah dan memiliki keturunan. Pria mandul pembawa penyakit, begitu ia pernah dimaki seorang pria kompetitor bisnisnya.

Di malam mulia ini, Allah turun untuk mengampuni hamba-hambaNya yang ingin bertobat. Allah memberikan syafaatnya secara penuh. Nisfu Sya'ban, saat ampunan dan syafaat tercurah sempurna. Lirih, Calvin berdoa.

"ALLAAHUMMA YAA DZAL MANNI WALAA YUMANNU 'ALAIKA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, YAA DZATH THAULI WALIN'AAM, LAA ILAAHA ILLAA ANTA, DHAHRUL LAAJIIN, WA JAARUL MUSTAJIIRIIN, WA AMAANUL KHAA IFIIN, ALLAAHUMMA IN KUNTA KATABTA NII 'INDAKA FII UMMIL KITAABI SYAQIYYAN AW MAHRUUMAN AW MATHRUUDAN AW MUQTARRAN 'ALAYYA FIR RIZQI, FAMHULLAA HUMMA BI FADLLIKA SYAQAAWATII WA HIRMAANII WA THARDII WAQ TITAARI RIZQII WA ATS-BITNII INDAKA FII UMMIL KITAABI SA'IIDAN MARZUUQAN MUWAFFAQALLIL KHAIRAAT. FA INNAKA QULTA WA QAULUKAL HAQQU FII KITAABIKAL MUNAZZALI 'ALAA NABIYYIKAL MURSALI, YAMHUL LAAHUMAA YASYAA U WA YUTSBITU WA 'INDAHUU UMMUL KITAAB. ILAAHII BITTAJALLIL AA'DHAMI FII LAILATIN NISHFI MIN SYAHRI SYA'BAANIL MUKARRAMIL LATII YUFRAQU FIIHAA KULLU AMRIN HAKIIM WA YUBRAM, ISHRIF 'ANNII MINAL BALAA I MAA A'LAMU WA MAA LAA A'LAM WA ANTA 'ALLAAMUL GHUYUUBI BIRAHMATIKA YAA ARHAMAR RAHIMIIN."

Tes.

Setetes darah segar terjatuh dari hidungnya. Tepat ketika Calvin menyelesaikan doa itu. Calvin terbatuk. Lebih banyak lagi noda darah terjatuh. Mengapa harus dirinya yang dititipi penyakit seberat ini?

**        

Paris van Java, 30 April 2018

 Tulisan cantik dari Young Lady cantik, Muslim cantik bermata biru. Untuk pengingat Malam Nisfu Sya'ban.

**         

https://www.youtube.com/watch?v=ioyNekJxdX8

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun