Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Melodi Silvi] Garis Pemisah Cinta dan Benci

19 Maret 2018   07:25 Diperbarui: 19 Maret 2018   08:48 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
powerofpositivity.com

"Abis ini, kamu biasanya langsung demam atau muntah. Aku buatin Sarabba ya." tawar Albert seraya bangkit berdiri. Melangkah ke pantry tanpa menunggu jawaban Revan.

Sarabba, minuman hangat khas Makassar. Terbuat dari jahe, gula merah, kayu manis, dan merica bubuk. Revan menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum mengawasi punggung Albert yang makin menjauh. Anak itu sangat Indonesia, pikir mereka. Mengerti pula kelemahan sahabat-sahabatnya.

Sementara Albert membuatkan Sarabba, Calvin menyiapkan kamar untuk Silvi. Ia melakukannya sendiri tanpa dibantu asisten rumah tangga. Sebagai ayah yang baik, Calvin mau melakukannya. Anton dan Adica meletakkan barang-barang Calvin di kamar utama. Tak tahan diam berlama-lama, Revan menyusul Calvin.

"Biar kubantu." ujar Revan.

"Tidak usah. Kamu istirahat saja. Lagi pula, setelah ini aku mau langsung ke rumah duka." Calvin menolak.

Namun Revan tak suka dilarang. Tetap saja ia membantu Calvin. Mengganti seprai, membersihkan karpet, meluruskan lukisan dan pigura, dan merapikan koleksi boneka Silvi.

Setengah jam kemudian, Calvin bersiap meninggalkan rumah. Anton, Albert, dan Adica sudah pergi lebih dulu. Hanya Revan yang menemaninya.

Calvin membuka pintu Nissan X-Trailnya. Saat itu Revan berkata cemas.

"Calvin, hidungmu berdarah."

Benar saja. Darah segar menetes. Seraya menyeka hidungnya, Calvin menampik tawaran Revan untuk membawa mobilnya. Ia berkeras membawa mobilnya sendiri. Revan menyerah. Ia berdoa agar tak terjadi sesuatu yang buruk.

Dalam duka, Calvin menyetir mobilnya. Tetap penuh konsentrasi. Wajahnya jauh lebih pucat dari sebelumnya. Darah yang mengalir dari hidungnya telah berhenti. Ruas-ruas jalan masih dipadati kendaraan. Berulang kali Revan melempar pandang khawatir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun