Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (10)

15 Desember 2017   05:50 Diperbarui: 15 Desember 2017   05:58 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah berkata begitu, Clara berjalan pergi. Meninggalkan Adica dalam ketidakrelaan dan tanda tanya.

Berjalan cepat kembali ke dalam rumah, Clara menghampiri Calvin dan Silvi. Duduk di antara mereka. Ekspresi wajahnya tetaplah dingin seperti semula.

"One day one article ya?" tebak Clara, melirik laptop di samping kanannya.

"Yups. As you see." balas Calvin singkat.

"That's good. Boleh aku baca?" Clara menggeser posisi tubuhnya, lebih dekat pada Calvin.

Kini bukan bibir yang digigit Silvi. Tapi bagian dalam pipinya. Sakit, sungguh sakit melihat Clara berdekatan dengan Calvin. Pria tampan itu pun tak keberatan atau jengah dengan adanya Clara di sampingnya. Mereka duduk begitu dekat, begitu dekat, begitu dekat. Berkali-kali, dalam gerakan impulsif yang cantik, Clara dan Calvin berpegangan tangan. Elegan sekali, seolah tak sengaja. Namun ada kesan yang terlihat jelas di baliknya.

Silvi menahan air matanya. Sementara sakit di lambungnya makin terasa. Wajah cantiknya memucat, hampir sama pucatnya dengan wajah Calvin. Sakit di lambungnya belum apa-apa dibandingkan sakit di hatinya.

Gadis itu menundukkan wajah, berdoa dalam hati. Minta dikuatkan Illahi. Perlahan ia beranjak bangkit. Calvin dan Clara terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kepergian seorang gadis kesepian pasti akan luput dari perhatian. Baiklah, saatnya pergi.

Melangkah pelan mengitari rumah besar itu menuju pintu depan, air mata Silvi berjatuhan. Calvin benar-benar tidak bisa memahami. Sudah jelas. Pria itu tak pernah tulus padanya, tak pernah menganggap keberadaan dirinya, tak pernah menginginkan kehadirannya. Air mata Silvi jatuh lagi. Membasahi pipinya, mengalir ke wajahnya. Silvi yang cantik hanya mampu mengeluarkan air matanya sendirian.

Tinggal beberapa meter lagi dari pintu utama. Tangan Silvi terulur. Siap membuka pintu besar berpernis mengilap itu. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, sampai akhirnya terdengar derap langkah berlari di belakangnya.

**      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun