Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kelopak Bunga yang Belum Mekar (2)

12 Desember 2017   06:17 Diperbarui: 12 Desember 2017   07:36 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Firasatnya tak enak. Ada mata yang tersembunyi di dalam hati, namun ia tak gunakan. Mata itu hampir sama seperti milik kakak iparnya. Pria itu mendesah tak kentara. Mencengkeram setir mobilnya erat.

Di depan pintu tol, ia berpikir sejenak. Mempertimbangkan sesuatu. Haruskah ia datang ke rumah kakaknya? Memastikan sang kakak diperlakukan dengan baik, memastikan sang kakak bahagia di malam pernikahannya. 

Diliriknya jam tangan. Lewat tengah malam. Etiskah datang ke sana? Tapi ini kakaknya, kakak yang sangat istimewa. Istimewa karena keadaannya. Meski sang kakak tak ingin dikatakan berbeda hanya karena kondisinya.

"Jangan sebut aku istimewa, Adica. Aku tidak ingin menjadi tenar hanya karena sakit kanker darah."

Masih terekam jelas ucapan sang kakak beberapa waktu lalu. Kakaknya tak senang dibeda-bedakan. Ia tak mau diistimewakan hanya karena menjadi penyintas Leukemia.

Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus datang. Dimana tanggung jawabnya sebagai adik dan dokter pribadi? Nissan Terrano itu meluncur cepat di jalan tol. 100 km/jam. Menembus ruas jalan tol yang begitu sepi. Horor, satu kesan yang tercipta. Malam-malam begini, siapa yang mau berkendara di jalan bebas hambatan macam ini?

**      

"Calvin, mengapa bisa begini?"

Dua pria dewasa, kakak-beradik yang saling pengertian, kini bertatapan. Sang kakak, yang jauh lebih tampan, menundukkan wajah. Sementara sang adik sibuk mengeluarkan peralatan kedokterannya. Raut wajahnya begitu cemas.

"Dimana Rossie?" tanya Adica tajam.

"Di kamarnya. Tolong jangan salahkan dia, Adica." pinta Calvin, satu tangannya meremas tissue penuh noda darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun