Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (2)

4 November 2017   06:05 Diperbarui: 4 November 2017   06:52 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayah, tunggu Angel ya? Angel nggak mau Ayah sedih sendirian..."

Gadis kecil tujuh tahun itu tersenyum lembut. Membelai halus kedua tangan Calvin. Tangan Angel yang mungil terasa begitu hangat.

"Iya, Sayang. Ayah tunggu." ujar Calvin lembut.

"Angel nggak akan lama. Begitu latihannya selesai, Angel langsung pulang."

Mata bening itu menerbitkan sejuta janji untuk segera kembali. Angel melingkarkan lengannya, memeluk Ayahnya manja. Ia pun nampak enggan untuk pergi. Namun latihan hari ini wajib untuk persiapan pentas minggu depan. Ia terpaksa harus pergi.

Calvin menatap lekat sepasang mata bening milik putri semata wayangnya. Sama seperti Angel, hatinya serasa berat untuk berpisah. Bahkan lebih berat dari biasanya. Sisi lain hatinya menghiburnya, Angel pergi takkan lama. Hanya satu setengah jam. Setelah itu, ia akan kembali.

Pelan, Angel melepas pelukannya. Mencium pipi Calvin. Calvin membalas ciumannya.

"Mau Ayah antar?" tawarnya.

"Nggak usah. Gedung latihannya kan dekat rumah. Cuma dua blok. Angel bisa sendiri." tolak gadis kecil itu berani.

"Tapi Sayang...bagaimana kalau Ayah antar saja? Ayah khawatir Angel kenapa-napa."

"Ayah di rumah aja ya? Nanti demamnya tambah parah. Angel bisa sendiri kok."

Calvin menyerah. Sebenarnya tak tega membiarkan putrinya pergi sendirian. Namun Angel sudah melarangnya. Mungkin ini yang terbaik. Angel bisa belajar mandiri dan bertanggung jawab. Tapi dia masih terlalu kecil, Calvin tidak tega.

"Bye, Ayah. See you."

Dengan kata-kata itu, Angel berlari kecil keluar rumah. Menuruni anak-anak tangga marmer pemisah teras dan halaman. Lincah membuka gerbang utama, lalu bergegas menyusuri kompleks perumahan elite itu. Calvin menatap nanar kepergian Angel. Hatinya masih tak tega. Haruskah ia mengikuti Angel dari belakang? Mengawasinya diam-diam? Tidakkah Angel akan marah bila tahu Ayahnya mengikutinya?

Akhirnya ia memutuskan tetap di rumah. Menunggu Angel pulang. Percaya padanya. Anak kecil berhak mendapat kepercayaan. Dari sanalah mereka belajar bertanggung jawab.

Sabtu pagi yang suram. Mendung tebal menyelimuti langit. Calvin kian resah. Bagaimana bila Angel kehujanan nanti? Bagaimana bila terjadi sesuatu padanya?

Semua ini gegara demam yang datang pada saat yang tidak tepat. Andai saja Calvin tidak sakit di hari ulang tahun kematian Mamanya, mungkin ia bisa mengantar Angel latihan. Tiga hari kemarin, Calvin tidak ke kantor. Hanya beristirahat dan mempersiapkan acara perayaan ulang tahun kematian almarhum Mamanya. Rencananya, acara itu akan berlangsung nanti malam.

Tanggal kematian Mamanya menjadi hari terberat dalam hidup Calvin. Tiap kali tanggal itu tiba, Calvin selalu bersedih. Larut dalam kenangan. Ia menikmati kedukaan di hari kematian sang Mama. Tenggelam dalam kenangan dan kesedihan. Cukup hari itu saja. Di hari lain, Calvin bisa tegar. Namun di hari itu, tanggal 9 Desember, ia selalu saja tenggelam dalam duka.

Angel tahu itu. Dekat dengan Calvin membuat Angel sangat memahaminya. Angel pun sadar, tanggal kematian Grandmanya sama dengan hari ulang tahun Ayahnya. Ironis sekali.

Setiap tahun, Angel selalu tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghibur Ayahnya. Menemaninya, memeluknya, membiarkan saja sang ayah menumpahkan kesedihan. Angel takkan menyela, menahan, melarang, atau mencegah. Cukup menjadi pendengar dan tempat bersandar. Kesedihan bukanlah sesuatu yang bisa dilarang. Ada kalanya seseorang harus menghadapi kesedihan. Tanpa menghargai kesedihan, bagaimana mungkin bisa menghargai kebahagiaan?

Bayangkan. Anak sekecil itu sudah berpikiran bijak dan dewasa. Angel menjadi dewasa karena keadaan. Hidup hanya bersama ayah, anak hasil single parent adoption, dan kenyataan bahwa Ayahnya mengalami pukulan berat, membuat Angel lebih pengertian dibanding anak-anak seusianya. Tak hanya pada Calvin ia bersikap sangat pengertian. Ia pun sangat mengerti keadaan teman-temannya. Sabar, penyayang, lembut, dan penuh perhatian. Itulah Angel Nurafifah Calvin.

Mengalihkan diri dari lamanya penantian, Calvin membuka kado dari Angel. Tadi pagi seusai shalat Subuh Angel memberikannya. Disertai ucapan selamat ulang tahun dan kecupan hangat. Jelas Angel sendiri yang membungkus kadonya. Kado cantik berpita itu ia buka. Ternyata isinya kotak musik. Begitu dibuka, terdengar irama Fur Elise. Calvin tak bisa menahan senyum. Angel selalu ingat kesukaan Ayahnya.

Ia tak sabar menunggu Angel kembali. Ingin berterima kasih, mengungkapkan betapa sayangnya ia pada Angel. Menit demi menit berlalu lambat. Satu setengah jam serasa satu setengah tahun.

Mendung yang menutup separuh langit berubah menjadi hujan. Kian lama, hujan kian lebat. Disusul gelegar guruh dan cahaya kilat. Kali ini Calvin tak bisa tinggal diam. Ia harus menjemput Angel.

Cepat-cepat diraihnya kunci mobil. Baru saja membuka pintu depan, ia disambut kehadiran seseorang. Seorang anak lelaki berparas tampan yang berlari-lari menaiki anak tangga marmer. Anak lelaki itu berwajah perpaduan Kaukasoid dan Mongoloid. Kulitnya putih bersih, sama seperti Angel. Ia anak kecil yang sangat tampan. Sedetik saja Calvin langsung mengenalinya. Anak kecil nan tampan itu putra seorang expatriat. Kebetulan ayah anak itu rekan bisnis Calvin. Darah campuran Jerman-Skotlandia dari ayahnya, darah Jawa dari almarhumah ibunya. Tak heran anak itu begitu tampan.

"Albert? Ada apa? Sini Sayang, sini..." Calvin mengulurkan tangan, lembut meraih tangan anak itu. Albert teman baik Angel di sekolah. Sesama anggota teater dan choir. Mereka berteman baik karena satu kesamaan: hidup tanpa ibu.

Tanpa kata, Albert menyambut uluran tangan Calvin. Mengajaknya keluar rumah. Begitu menginjakkan kaki di luar gerbang rumahnya, apa yang dilihatnya sungguh mengejutkan. Hatinya menolak menerima itu. Tepat di depannya, ya, di depan matanya sendiri, ia melihat tubuh Angel penuh luka. Darah berceceran, luka terlihat di sekujur tubuhnya. Sebuah mobil hitam berhenti di dekat tubuh cantik yang terluka parah itu.

Si pemilik mobil hitam turun dengan wajah pias. Memohon maaf berkali-kali. Calvin tak mendengarkan. Permohonan maaf sudah tak berarti lagi. Yang ada di pikirannya hanyalah keselamatan Angel.

Ironis, benar-benar ironis. Kecelakaan itu terjadi di depan rumahnya sendiri. Di kompleks perumahan elite ini, dengan keamanan super ini, masih terjadi kecelakaan mobil. Mengapa harus Angel? Anak cantik, anak baik dan lemah lembut itu, harus menjadi korban.

Segera saja Calvin membawa Angel ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia berdoa. Memohon keselamatan bagi putri cantiknya. Calvin yang biasanya sabar dan hati-hati saat mengemudi, kini mulai ngebut. Nekat menyetir dengan kecepatan tinggi. Prioritasnya adalah keselamatan Angel.

Secepat apa pun Calvin melarikan mobilnya menuju rumah sakit, takdir Allah tak bisa dilawan. Angel meninggal. Nyawanya tak tertolong. Dokter sudah mencoba segala cara untuk menyelamatkan nyawanya. Sayangnya, kuasa Allah jauh lebih besar. Angel dipanggil ke pangkuan Illahi tepat tanggal 9 Desember.

Hati Calvin hancur. Sempurna hancur. Kematian Angel adalah klimaks kesedihannya. Kesedihan terbesar dalam hidupnya. Malaikat kecilnya telah pergi. Pergi dan tak akan kembali.

Sejak saat itu, Calvin membenci hari ulang tahunnya. Membenci Hari Sabtu, membenci hujan, dan membenci mobil berwarna hitam. Semua mobilnya yang berwarna hitam ia jual. Ia ganti dengan mobil warna lain, meski dari merk dan tipe yang sama. Adica dan Tuan Erlambang tak memprotes. Sebagai bentuk empati, mereka pun tak lagi memakai mobil hitam. Menggantinya dengan mobil warna lain.

Calvin selalu demam dan sakit di Hari Sabtu. Tiap Hari Sabtu tiba, ia pastilah tersiksa. Terkenang Angel dan menyesali kepergiannya. Bila kebanyakan orang menyukai Hari Sabtu, Calvin justru membencinya.

**         

Senada cinta bersemi di antara kita

Menyandang anggunnya peranan jiwa asmara

Terlanjur untuk terhenti

Di jalan yang telah tertempuh sejak kini

Sehidup semati

Kian lama kian pasrah kurasakan jua

Janji yang terucap tak mungkin terhapus saja

Walau rintangan berjuta

Walau cobaan memaksa

Diriku terjerat dipeluk asmara

Bersama dirimu terbebas dari nestapa

Dalam wangi bunga cita cinta dan bahagia

Walau rintangan berjuta

Walau cobaan memaksa

Diriku terbuai batas asmara

Kian lama kian pasrah kurasakan jua

Janji yang terucap tak mungkin terhapus saja

Walau rintangan berjuta

Walau cobaan memaksa

Diriku terjebak di batas asmara

Terlambat untuk berdusta terlambatlah sudah

Menempuh sanubari tak semudah kusangka

Yakin akan cintamu yakinkan segalanya

Perlahan dan pasti daku kan melangkah menuju damai jiwa

Senada cinta bersemi di antara kita

Menyandang anggunnya peranan jiwa asmara

Terlanjur untuk terhenti

Di jalan yang tertempuh sejak kini

Sehidup semati

Terlambat untuk berdusta terlambatlah sudah

Menempuh sanubari tak semudah kusangka

Yakin akan cintamu yakinkan segalanya

Perlahan dan pasti daku kan melangkah menuju damai jiwa (Rossa-Sakura).

**     

Clara terhenyak. Kisah pilu itu menyentuh lubuk terdalam hatinya. Ini Hari Sabtu, Calvin menceritakannya dengan menahankan segala duka dan rasa sakit.

Ruang konseling no. 2 senyap. Satu jam sudah mereka di sini. Saling memperkenalkan diri, bercerita, dan mengungkapkan permasalahan yang ada. Bersedia menjalani terapi penyembuhan psikologis pun sudah merupakan kemajuan untuk Calvin. Terlebih dia akan diterapi psikolog secantik Clara.

"I see..." ujar Clara akhirnya. Menatap klien barunya itu lembut. Tatapan lembut dari sepasang mata yang terbiasa memancarkan sorot dingin dan angkuh. Apakah keangkuhan yang membekukan hati telah mencair?

"Kamu pasti sangat mencintai Angel. Iya kan, Calvin?"

"Tak usah tanyakan lagi, Clara. Aku sangat mencintai putriku. Dia putri kandungku, sama sekali tak pernah kuanggap dia sebagai anak angkat. Angel adalah belahan hatiku. Karena Angel, aku bersedia menjadi ayah angkat dan tidak menikah selamanya."

Calvin mengucapkannya dengan penuh kesungguhan. Hati Clara trenyuh mendengarnya. Luar biasa sekali kliennya ini. Ia tulus, penuh kasih, dan berpeluang besar menjadi ayah yang sangat baik. Seperti inilah pria idaman yang sesungguhnya dicari-cari para wanita.

Sesaat Clara terkejut dengan pikirannya sendiri. Pria idaman? Apa-apaan dirinya ini? Profesional, bisik hati kecilnya. Calvin hanyalah klien. Kakak dari kekasihnya. Toh ia sudah punya Adica. Kurang apa Adica Wirawan?

"Okey, aku mengerti. Bolehkah aku memberi satu tugas untukmu sebelum mengakhiri sesi konseling pertama kita?" tanya Clara lembut.

"Of course. Tugas apa itu?" tanya Calvin.

"Mudah saja. Ini sesuai passionmu. Sebelum memulai terapi ini, aku sudah mencari tahu banyak hal tentangmu. Apa yang kudapat sungguh mengesankan. Calvin Wan yang terkenal, blogger tampan dan konsisten. One day one article setiap hari. So, tugasmu adalah..."

"Dari mana kamu tahu kalau aku ini blogger? Apa dari Addica?" sela Calvin.

"Bukan, bukan dari Adica. Aku tahu sendiri. Aku memantaumu setiap hari, Calvin. Tulisan terbarumu tentang investasi reksa dana, kan?"

Clara tersenyum penuh kemenangan. Kali ini Calvin mempercayainya. Langkah kecil telah berhasil.

"Menulis adalah terapi jiwa. Tugasmu adalah, tulislah semua kenanganmu bersama Angel. Bawa tulisanmu saat konseling sesi kedua minggu depan."

Kedua alis Calvin terangkat. Ia memang terbiasa menulis artikel tiap hari. Nama Calvin Wan justru dikenal karena keberhasilannya one day one article. Tapi ia tak biasa menuliskan kesedihan dan permasalahan pribadinya.

"Haruskah aku mempostingnya juga? Aku tidak ingin kesedihanku di-share ke media," kata Calvin ragu.

"Tidak. Kamu tidak perlu mempostingnya di media citizen journalism itu. Cukup aku yang membacanya. Okey?"

Kelegaan terpancar di wajah tampan Calvin. Setidaknya, tulisannya tentang Angel takkan menjadi jejak digital. Clara saja yang akan membacanya.

"Baiklah aku mau. Terima kasih, Clara. Bercerita membuatku merasa lebih baik."

"Sama-sama, Calvin."

Apa pula ini? Clara bisa tersenyum dan bicara selembut itu pada Calvin. Bukankah dulu Clara memusuhinya? Selalu mencurigai Calvin dan membencinya? Telah lunturkah kecurigaan dan kebencian di hati gadis cantik itu?

Tanpa sengaja, Calvin dan Clara bertatapan. Desir halus merayapi hati mereka. Hati Calvin berdesir. Di saat yang sama, hati Clara berdesir pula. Aliran darah mereka bertambah cepat. Calvin dan Clara merasakan degup jantung mereka kian cepat, seakan ingin melompat dari tubuh mereka. Sensasi apa ini? Hanya sekadar bertatapan sudah begini.

Calvin Wan dan Clara Carolina. Dua manusia yang awalnya jauh, kini saling mendekat. Mendekatkan raga dan hati mereka.

"Aku yakin kamu akan sembuh, Calvin." Clara menutup sesi konseling pertamanya dengan sebuah kalimat motivasi. Kalimat yang menyejukkan jiwa.

Yakin? Clara yakin dirinya akan sembuh? Entah mengapa, Calvin pun meyakininya. Di dekat Clara, beban kesedihannya sedikit berkurang. Seakan ada tangan lembut yang memindahkan sebagian beban itu dari hatinya.

Clara yang cantik dan Calvin yang tampan. Tak mungkinkah cinta bersemi di antara mereka? Bila cinta bersemi, akan ada hati yang tersakiti. Baik Clara maupun Clara tak dapat berdusta dengan perasaan mereka sendiri. Terlambat untuk berdusta dan mengingkari perasaan.

**       

 "Berapa yang kamu butuhkan?" tanya Clara datar.

"Dua juta..." jawab Intan, ragu bercampur malu.

Clara mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Meletakkannya di meja. Mengisyaratkan Intan untuk mengambilnya.

"Pakailah. Kalau kurang, katakan padaku. Aku akan memberikannya lagi. Yang penting, pernikahanmu berjalan lancar."

Intan mengambilnya dengan penuh terima kasih. Ditatapnya mata sepupunya lekat-lekat. Biarpun angkuh dan dingin, Clara memiliki hati yang baik.

"Kamu yakin dengan pernikahanmu? Tinggal satu bulan lagi...kamu siap dengan konsekuensinya? To the point saja ya, kurasa kamu dan calon suamimu belum siap untuk menikah. Kondisi finansial kalian belum cukup." tukasClara terus terang.

Mendengar pendapat Clara, Intan menarik napas panjang. Dalam hati membenarkannya. Namun ia sudah terlanjur membulatkan tekad. Apa pun yang terjadi, ia harus menikah bulan depan.

"Clara, aku memang tidak sesukses kamu. Keluargaku juga tidak sekaya keluargamu. Tapi, aku menikah karena cinta. Aku sudah siap menikah karena cinta." Intan menjelaskan.

"Apa cinta saja cukup? Kupikir, menikah tidak hanya soal cinta. Cobalah realistis. Untuk pernikahanmu saja, kamu dan keluargamu harus berhutang pada banyak orang. Itu untuk resepsi pernikahannya, bagaimana untuk hidup selanjutnya?"

Clara seumuran dengan Intan. Namun Clara jauh lebih sukses dengan kariernya. Sedangkan Intan belum mendapat pekerjaan tetap. Hanya pegawai kontrak biasa. Berbanding jauh dengan Clara yang sukses dan cantik. Namun dalam segi asmara, Intan jauh lebih sukses. Benar bahwa kebahagiaan di satu titik akan mengurangi kebahagiaan di titik lainnya. Kebahagiaan tidak bisa didapatkan seutuhnya dalam setiap aspek kehidupan.

"Gampang kamu bicara begitu, Clara. Kamu kan punya Adica. Pria kaya, pengusaha terkenal. Kalau kamu jadi istrinya, bukan hanya cinta yang terpenuhi. Tapi..."

"Stop. Jangan bawa-bawa Adica. Lagi pula, aku dan Adica belum berencana menikah. Aku membicarakanmu, bukan Adica." potong Clara.

"Oh baiklah baiklah. Aku memang tidak seperti dirimu. Ini pilihanku. Aku dan calon suamiku yang menanggung konsekuensi dari pilihan kami."

Perkataan diplomatis. Clara menyesap lemon tea-nya, lalu berkata.

"Ya sudah, itu pilihan. Sebagai sepupumu, aku hanya bisa mendukung dan membantu. Keputusan tetap di tanganmu."

"Trims Clara. Btw, kamu sendiri bagaimana? Baik-baik saja dengan Adica, kan? Katanya, kakaknya Adica jadi klien kamu ya? Hebat kamu, Clara. Bergaul sama orang-orang top dan kelas atas terus. Bukannya kakaknya Adica itu mantan penyanyi cilik? Sekarang setelah dewasa, dia jadi pengusaha dan blogger. Siapa namanya? Kevin...Delvin..."

"Calvin Wan."

"Nah itu dia. Cieee...sampai ingat nama panjangnya. Kamu suka, ya?"

Mendengar itu, Clara terdiam. Ya, ia selalu ingat nama Calvin. Bahkan tak bisa melupakannya. Empati Clara begitu dalam. Tak pernah ia menyimpan perasaan empati sebesar ini pada kliennya.

Semestinya, mudah saja bagi Clara untuk menghapus sosok Calvin dari benaknya. Namun ia tak bisa. Justru Calvin selalu ada di pikirannya. Ia berempati, tak bisa melihat Calvin menanggung kesedihan dan beban psikologisnya. Ini bukan Clara yang biasanya. Mengapa Clara menjadi selembut dan semelankolis itu tiap kali mengingat Calvin Wan? Ada apa dengan Clara?

**       

Dengan hati-hati Clara membuka pintu mobilnya. Mengambil beberapa barang dari tempat duduk belakang. Sekotak coklat, dua paperbag berisi baju, seikat sayuran, dan sekeranjang wortel. Sejurus kemudian dilangkahkannya kaki memasuki rumah. Begitu tiba di depan tangga, ia berseru memanggil seseorang.

"Silvi Sayang...turun dong. Sini, Princess."

Beberapa saat kemudian, seorang gadis bermata biru turun dari lantai atas. Melangkah menghampiri Clara, raut wajahnya penuh tanda tanya.

"Coba aku bawa apa? Taraaa...ini coklat buat kamu! Dan ini? Baju-baju buat pesta pernikahannya Intan. Bagus kan?" Clara tersenyum lebar, memperlihatkan barang-barang bawaannya.

Silvi tersenyum senang. Adik semata wayang Clara itu melihat baju-baju yang dibelikan Clara. Semuanya bagus, elegan, dan mahal.

"Wow, thanks Clara. Dan coklatnya? Ini persis sama seperti pemberian Mama tadi pagi." Silvi berucap kegirangan, menerima sekotak coklat dan beberapa potong pakaian itu.

"You're wellcome. Oh, Mama beliin kamu coklat juga ya? Asyik dong."

Lihatlah, pada adiknya Clara bisa tersenyum selembut dan setulus itu. Sikapnya tak lagi dingin. Begitulah Clara. Dingin, angkuh, namun baik dan penuh perhatian pada orang-orang yang dicintainya. Wanita Aries kelahiran 16 April yang keras di luar, tetapi lembut di dalam. Wajah oriental, kulit putih, dan rambut sepundak yang terawat rapi membuatnya makin menawan. Kecantikan dari luar diimbangi dengan kecantikan dari dalam.

Setelahnya Clara meminta Silvi mencoba baju-bbajunya. Clara juga mencoba baju untuknya sendiri. Sesaat mereka berdua sibuk mencoba semua baju, bergaya di depan cermin, dan memperlihatkan senyum terindah mereka.

"Pretty..." gumam Clara puas.

"Silvi, nanti kita akan lebih cantik dari pengantin wanita di pesta pernikahan."

"Iya! Betul banget! Yes yes, itu yang kuinginkan!" Silvi berseru antusias, bertoast dengan kakaknya.

Kakak-beradik itu tertawa puas, lalu kembali berganti pakaian. Clara dan Silvi, hobi tebar pesona dimana-mana. Kenyataannya, mereka memang charming. Tanpa perlu tebar pesona pun, keduanya sudah membuat banyak orang tertarik pada mereka. Nampaknya, niatan Clara akan menjadi kenyataan. Dirinya dan Silvi akan lebih cantik dari Intan di pesta pernikahan nanti.

Puas mencoba semua baju, Clara dan Silvi pergi ke halaman belakang. Memberi makan hamster dan kelinci peliharaan Clara. Kelinci cantik yang dipeliharanya begitu menurut saat Clara memberinya wortel. Sementara Silvi lebih senang memberi makan hamster-hamster yang imut. Mereka lebih menggemaskan.

"Tadi ada telepon buatmu, Clara." Silvi angkat bicara di tengah keasyikan memberi makan hamster.

"Dari siapa?"

"Telepon pertama dari Calvin Wan, telepon kedua dari Adica. Kamu lagi dekat sama Calvin Wan ya? Blogger tampan yang terkenal karena konsistensinya itu?"

Ada nada menyelidik dalam suara Silvi. Sesaat Clara menghentikan gerakan tangannya. Wortel yang ia pegang jatuh ke rumput.

"Tidak juga. Calvin Wan hanya klienku," sahut Clara.

"Are you sure? Kok aku merasa lain ya? Ada yang beda..."

Lupakah Clara kalau Silvi juga seorang blogger? Sama seperti Calvin, ia konsisten one day one article. Lupa pulakah dia bahwa adik cantiknya ini memiliki mata hati? Jangan sampai menipu Silvi. Percuma, ia akan tahu jika dirinya ditipu.

"Sure. Calvin hanya klien. Kenapa memangnya? Atau...jangan-jangan kamu yang suka sama Calvin."

"Suka sama Calvin? Nggak kok...siapa yang suka?" Silvi menunduk, wajahnya merona merah. Clara tertawa kecil. Mencubit gemas pipi adiknya. Menyentil dagu lancipnya.

"Bukannya kamu lebih dulu kenal dengan Calvin dibanding aku? Katanya, kamu sudah dianggap adik sama dia. Iya, kan?"

Silvi tak menjawab. Kembali sibuk memberi makan Hamlet dan Laluna, dua hamster peliharaan yang dinamai Clara dengan nama-nama seperti itu.

"Menurutku, Calvin baik. Meski awalnya aku curiga padanya. Tapi setelah mengenal dan menyelidiki lebih jauh, ternyata Calvin oke juga. Charming malah. Untuk yang satu ini, kamu tidak bisa membantahnya." Clara mengungkapkan penilaiannya.

"Iya. Calvin memang charming. Tapi...ah sudahlah. Aku akan lebih senang kalau kamu bersama Calvin dibanding dengan Adica."

Setelah berkata begitu, Silvi buru-buru pergi. Disambuti tatapan heran Clara. Sikap Silvi aneh sekali. Mengapa ia cepat-cepat pergi? Tidakkah Silvi sedang mengingkari perasaannya sendiri? Apakah Silvi tak suka bila dirinya berdekatan dengan Calvin? Berbagai tanda tanya berkejaran di benak Clara.

**       

Rossa - Sakura

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun