Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dapatkah Menebus Rasa Bersalah?

31 Oktober 2017   05:58 Diperbarui: 31 Oktober 2017   06:00 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali, dua kali, tiga kali. Ia mencoba meraih gelas di atas meja. Tak berhasil. Jari-jarinya terasa sulit digerakkan. Sungguh sebuah kebodohan. Seorang pengidap osteosarkoma stadium lanjut, dengan tangan yang nyaris lumpuh, mencoba menjangkau benda yang sulit diambilnya.

Namun ia terus memaksakan diri. Ia tidak boleh menyusahkan orang lain. Meski di luar sana ribuan karyawan, sekretaris, dan keluarganya siap membantu, namun pria tampan itu bertekad melakukannya sendiri. Jangan sampai menyusahkan orang lain, begitu pikirnya.

Sekali lagi ia mencoba. Sementara kedua tangannya terasa semakin sakit. Kali ini ujung jari telunjuknya telah mendarat di tepi gelas. Sebentar lagi berhasil. Ia pasti bisa. Sekuat tenaga ia menggerakkan tangannya. Meraih gelas berisi air putih dan tablet obat dengan sisa-sisa kekuatannya.

Sebelum berhasil, rasa sakit itu hadir. Pria tampan berkulit putih dan bermata sipit itu kesakitan, sungguh sakit. Kanker stadium lanjut merenggut habis kesehatannya.

Ya Allah, cobaan hidup pria baik hati ini seakan tak pernah usai. Sejak kecil, ia divonis menderita Disleksia. Suatu gangguan berbahasa yang membuatnya kesulitan membaca, menulis, dan berbicara. Tiap kali ia menulis, membaca, dan berbicara, kata-katanya selalu tertukar dan terbalik. Sebaliknya, ketika ia menghitung angka atau memecahkan soal Matematika yang rumit, ia tak pernah kesulitan. Penyakit Disleksia membuat pria tampan dengan perpaduan wajah oriental dan Kaukasia yang menawan itu dianggap difabel dan tak berguna oleh keluarganya. Ibunya, yang notabene seorang model sekaligus fashion editor di sebuah majalah mode ternama, malu mempunyai anak seperti dia. Sang ibu berkeras menyekolahkannya ke sekolah luar biasa. Namun dicegah sang ayah. Alhasil ia bersekolah di sekolah umum seperti adik-adiknya.

Disleksia membuat hidupnya menderita. Ia di-bully teman-temannya, ditolak keluarganya, dan diremehkan gurunya. Tak tahan di sekolah biasa, ia memutuskan homeschooling. Enam tahun lamanya homeschooling dijalani. Setelahnya, ia kembali menjalani pendidikan di sekolah biasa. Lagi-lagi kasus bullying bertubi-tubi yang dihadapinya.

Segi positifnya, ia tumbuh menjadi pria tangguh. Keterbatasan ditaklukkannya. Sudah banyak contoh penderita Disleksia yang pintar dan sukses. Calvin Wan layak menjadi salah satu contohnya. Akhirnya, ia berhasil menaklukkan keterbatasan itu. Semester 5 sudah menjadi asisten dosen. Menjadi pemain skateboard ternama. Memulai bisnis cafe dengan usahanya sendiri tanpa sedikit pun bantuan orang tua. Umur 20 tahun ia sudah menjadi pebisnis hebat, memiliki rumah pribadi dan penghasilan besar. Padahal Calvin berbisnis sambil kuliah dan menjadi asisten dosen. Itulah sebabnya pada usia 20 tahun ia nekat melakukan perbuatan mulia: menjadi ayah angkat. Ia mengadopsi anak dari sepupu jauhnya sendiri. Proses single parent adoption dilakukan. Mudah, mengingat sepupu jauhnya dan anak yang dilahirkannya tinggal di luar negeri. Sepupunya itu meninggal tak lama setelah melahirkan bayinya. Ayah si bayi tak bertanggung jawab dan melarikan diri. Alhasil, peran seorang ayah diambil alih oleh Calvin Wan, si pengidap Disleksia yang sukses dengan studi dan bisnisnya.

Calvin membawa bayi lelaki yang tampan itu ke rumahnya. Dirawatnya dengan penuh kasih sayang. Segera saja anak itu diberi nama: Jabar Nur Goldy Calvin. Nama yang indah. Terdapat selipan asmaul husna dan bahasa Arab di dalamnya. Calvin sendiri yang memilih nama itu. Bangga menyelipkan namanya sendiri di belakang nama anak angkatnya.

Di usia yang masih belia, Calvin telaten melakoni peran hidupnya: mahasiswa, pebisnis, asisten dosen, sekaligus ayah. Ia mampu membagi waktu. Prioritasnya adalah Goldy, anak tunggalnya. Tahun berikutnya, Calvin berhasil lulus dengan predikat cum laude. Kini ia bisa fokus berbisnis, bermain skateboard, sambil mengurus anaknya.

Cobaan kembali datang menghampiri. Belum lama berbahagia dengan kelulusan dan kesuksesannya, Calvin kembali jatuh sakit. Bukan lagi Disleksia yang merampas kebahagiaannya. Melainkan kanker tulang. Kepedihan hidup nampaknya enggan berdamai dengan Calvin.

Lima tahun lamanya Calvin berjuang melawan kanker. Ia tak melupakan tugasnya sebagai ayah. Bisnis cafe tetap dijalankannya. Begitu pula perusahaan milik keluarga yang kelak akan jatuh ke tangannya. Hanya saja, Calvin telah berhenti main skateboard. Justru ia punya cara lain untuk melawan Disleksia dan Osteosarkomanya: menjadi blogger. Ya, Calvin Wan adalah seorang blogger terkenal di sebuah media citizen journalism. Media itu berada di bawah naungan grup penerbitan dan pers ternama di Indonesia. Calvin terkenal sebagai blogger tampan yang konsisten menulis. One day one article, itulah targetnya. Sakit di tubuhnya ia lawan dengan menulis. Puluhan blogger lain berhubungan baik dengannya, ribuan pembaca mengaguminya. Tapi mereka tak pernah tahu, bila Calvin Wan yang mereka kagumi ternyata penderita Disleksia dan surviver kanker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun