Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Salahmu

24 Agustus 2017   06:12 Diperbarui: 24 Agustus 2017   12:13 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nada kecemasan tertangkap kuat dalam suaranya. Raut wajahnya menampakkan kecemasan pula. Wahyu memahami perasaan Nyonya Calisa.

"Bagaimana kondisi Calvin?" tanya Nyonya Calisa pelan.

"Sudah membaik. Sekarang dia tidur. Di bawah pengaruh obat." jawab Wahyu. Menggerakkan ponselnya, mengatur agar Nyonya Calisa dapat melihat ranjang tempat Tuan Calvin tertidur.

"Syukurlah. Dia pasti tertekan gegara hasil pemeriksaan yang terakhir." desah Nyonya Calisa.

"Aku akan menguatkannya. Tenang saja." janji Wahyu menenteramkan.

Sesaat hening. Nyonya Calisa mengusap mata dengan ujung hijabnya. Ia menyesal. Hanya bisa melihat Tuan Calvin dari kejauhan. Jarak ratusan kilometer memisahkan mereka.


"Seharusnya aku di sana...mendampinginya." Wanita itu terisak tertahan.

"Aku yang akan mendampinginya selama kamu di sana. Tenanglah, Calisa. Jalani umrah dengan khusyuk. Kalau kamu sedih terus, bagaimana mau beribadah?"

"Aku sudah janji pada diriku sendiri untuk tidak meninggalkannya selama dia sakit. Tapi sekarang aku meninggalkannya."

Entah mengapa, Wahyu merasa Nyonya Calisa menyalahkan dirinya sendiri. Menyesali kepergiannya ke tanah suci. Jeda sejenak saat ia mengambil nafas, lalu berkata.

"Bukan salahmu, Calisa. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Tujuanmu umrah untuk mendoakan Calvin, kan? Itu sudah benar."

"Saat dia sakit, aku tak ada di sana. Akulah yang paling mengerti kondisinya. Selama ini, aku yang merawatnya." ucap Nyonya Calisa putus asa.

"Biar aku yang mengambil alih tugasmu untuk sementara. Sampai kamu kembali, aku akan merawatnya."

Mata Nyonya Calisa membulat tak percaya. "Are you sure? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Perjalanan bisnismu? Kamu mau meninggalkannya begitu saja?"

"Tentu saja tidak, Calisa." Wahyu tertawa kecil.

"Urusan pekerjaan sudah kuserahkan pada tangan kananku di kantor. So, aku free. Aku bisa punya waktu buat bantu temanku yang tegar ini."

"Iya, Calvin memang tegar. Aku salut padanya."

"Kamu saja salut, apa lagi aku."

"Wahyu, thanks ya. Kamu mau bantu Calvin. Aku tidak akan pernah melupakannya."

"My pleasure..." Wahyu tersenyum tulus.

"Aku senang bisa bantu Calvin. Membantu Calvin sama saja membantumu."

"Kamu dan Reinhart sangat baik. Oh iya, apa kabar Rein?"

"Kabar Rein baik. Kemarin dia dapat nilai sepuluh dalam ulangan Matematika. Makin pintar dance dan modelingnya. Dia sering ajarin Clara dance lho."

Menyenangkan mendengar kabar orang-orang terkasih yang berada jauh. Nyonya Calisa tak sabar ingin segera kembali ke Indonesia.

"Salam buat Rein ya? Nanti kubawakan kurma, kismis, sajadah, dan tasbih. Mungkin dia suka."

"Jangan repot-repot, Calisa."

Akan tetapi, Nyonya Calisa tak merasa direpotkan. Ia bahagia saat memberi untuk orang lain. Sama seperti Tuan Calvin, Nyonya Calisa sangat royal.

"Kamu seperti Calvin. Royal dan penuh perhatian." puji Wahyu.

"Tidak juga. Calvin jauh lebih royal dariku. Kamu tahu? Dia sering berbagi untuk orang lain. Apa pun yang diberikannya pastilah yang terbaik. Aku jatuh hati pada kebaikannya."

Teringat Tuan Calvin membuat Nyonya Calisa kembali bersedih. Wahyu dapat melihatnya. Wanita mana yang tidak merasakan kesedihan saat pasangan hidupnya sakit parah?

"I know, Calisa. That's not easy..." kata Wahyu penuh empati.

"Aku tidak bisa berpura-pura lagi, Wahyu. Calvin memintaku untuk tidak membagi kesedihan pada orang lain. Cukup kami berdua yang merasakannya. Tapi..."

"I am here, Young Lady."

Kalimat itu terucap dengan nada lembut. Tulus dan meyakinkan. Nyonya Calisa terhenyak.

"Kamu tak perlu merasakannya sendirian,"

Wajah putih nan cantik itu dihiasi kesedihan dan rasa bersalah. Air mata menetes ke pipinya. Nyonya Calisa bergumam lirih.

"Aku telah melanggar janjiku pada Calvin."

"Tidak, Calisa. Kamu berhak mengungkapkan kesedihanmu. Kamu juga berhak memperoleh ketenangan dan penghiburan."

"Wahyu, aku tidak konsisten. Aku tidak seperti Calvin yang konsisten, sabar, dan setia. Andai saja aku bisa lebih tegar. Kamu tahu? Aku sulit mempercayai orang lain, sulit berbagi cerita pada orang lain. Dan aku sudah tidak percaya lagi padamu. Kau membuatku jijik dengan seks dan poligami itu. Dua hal yang paling kubenci dan kutakuti."

Wahyu lebih dari sekedar tahu. Ia memahami karakter Nyonya Calisa. Meski Tuan Calvin jauh lebih lama mengenal Nyonya Calisa dibandingkan dirinya.

Tetiba Tuan Calvin terbangun. Mungkin saja ia kesakitan. Cepat-cepat Wahyu mengakhiri video call. Ia tak ingin terjadi salah paham.

"Calvin, are you ok?" tanyanya, mendekat ke tepi ranjang.

"Aku ingin shalat Tahajud." pinta Tuan Calvin.

Benar saja. Sudah pukul tiga pagi. Waktunya shalat Tahajud. Waktu terbaik untuk berdoa dan membangun kedekatan dengan Illahi.

Tanpa kata, Wahyu menuntun Tuan Calvin bangun dari tempat tidur. Membantunya berwudhu. Waswas mengawasi Tuan Calvin yang tetap nekat melakukan shalat dalam posisi berdiri. Bagaimana jika ia terjatuh? Bagaimana bila ia drop di tengah-tengah shalatnya?

Sembunyi-sembunyi Wahyu melempar pandang penuh empati pada teman baiknya itu. Tak pernah terbayangkan olehnya jika Tuan Calvin ditinggalkan sendirian. Wajar Nyonya Calisa cemas.

Dalam kondisi sakit, Tuan Calvin memiliki semangat beribadah yang tinggi. Ibadah terus berlanjut meski tubuh digerogoti penyakit berbahaya. Sudut pandang yang sangat dikagumi Wahyu.

"Tidurlah lagi. Subuh masih lama." Wahyu menyarankan setelah Tuan Calvin menyelesaikan shalatnya.

"Tidak. Aku ingin menulis artikel." tolak Tuan Calvin.

Wahyu tak habis pikir. Tuan Calvin seakan mempunyai kekuatan dan kemampuan lebih untuk berbuat sesuatu sekali pun sedang sakit. Pria berparas oriental itu memang inspiratif. Nyonya Calisa pernah mengatakannya pada Wahyu. Sekarang Wahyu sepakat dengan Nyonya Calisa.

Diambilkannya laptop milik Tuan Calvin. Dipastikannya Tuan Calvin dapat menulis dengan nyaman. Agak sulit menulis dengan beberapa peralatan medis terpasang di sana-sini. Bukan Calvin Wan namanya jika menyerah begitu saja. Ia pasti bisa.

"Sebenarnya, apa tujuanmu one day one article di media jurnalisme warga itu?" selidik Wahyu.

"Berbagi dan belajar. Dengan menulis, banyak hal bisa dipelajari." sahut Tuan Calvin.

"Hebat...tapi jangan lupakan kesehatan. Banyak-banyak istirahat, okey? Kalau Ccalisa sudah pulang, kamu harus sehat. Sebentar lagi Calisa kan ulang tahun. Masa kamu sakit di hari ulang tahunnya?"

Tanpa perlu diingatkan, Tuan Calvin tahu sebentar lagi istrinya berulang tahun. Sembilan September adalah ulang tahun Nyonya Calisa. Tuan Calvin paham kebiasaan Nyonya Calisa di hari ulang tahunnya. Ia akan mengosongkan semua jadwal kegiatan dan melewatkan hari bertambahnya usia hanya dengan orang-orang yang dia inginkan kehadirannya di hari spesial itu. Kalau perlu, Nyonya Calisa akan menonaktifkan semua notifikasi di sosial medianya. Ia hanya mau chat atau berkomunikasi dengan orang-orang tertentu saja yang bisa dipercayainya. Itulah satu kebiasaan Nyonya Calisa dari tahun ke tahun. Nyonya Calisa lebih suka menutup diri dan aktivitas di hari ulang tahunnya. Hanya membatasi dengan orang-orang tertentu saja. Wanita berdarah Sunda-Belanda itu ingat hari lahir teman-temannya. Namun hanya sedikit orang yang tahu ulang tahunnya.

"Calisa minta apa padamu di hari ulang tahunnya?" tanya Wahyu.

"Dia memintaku menyanyikan lagu My Way."

"Wow...great. Makanya kamu harus cepat sembuh. Biar bisa penuhi permintaan Calisa di hari istimewanya."

"Apa dia meminta sesuatu padamu?" Tuan Calvin balik bertanya.

"Tidak. Dia tidak lagi sedekat dulu denganku. As you know, Calisa hanya akan melakukan hal itu pada mereka yang sudah dianggapnya dekat dan bisa dipercaya. Aku tidak masuk lagi dalam kategori itu di hatinya. Dan...ingat, Calisa tidak pernah main-main dengan ucapannya. Apa pun yang dia katakan...ingat itu."

Tuan Calvin senang mendengarnya. Ia tak perlu khawatir lagi pada bahaya permainan cinta di belakangnya. Ia tahu pasti siapa Nyonya Calisa. Dinda Calisa yang sekarang berbeda dengan dulu.

Wahyu adalah cinta pertama Nyonya Calisa. Itu semua tinggal kenangan. Kini, yang ada di hati Nyonya Calisa hanyalah Tuan Calvin.

"Kamu beruntung, Calvin. Calisa mencintaimu. Tahu tidak, kenapa Calisa berhenti mempercayai dan mencintaiku?" Wahyu melanjutkan kembali perkataannya.

"Kenapa?"

"Karena aku mengungkapkan sesuatu yang dibencinya: seks dan poligami. Bukankah Calisa benci dua hal itu? So, jangan salahgunakan cintanya."

"I see. Aku tidak pernah 'menyentuh' Calisa. Aku memahami keadaannya."

Meski tidak pernah 'menyentuh' Nyonya Calisa, Tuan Calvin bahagia dengan pernikahannya. Tujuan utama dari pernikahan adalah kebersamaan dan cinta. Bukan semata soal seks dan mendapatkan keturunan.

**      

Beberapa hari kemudian, Tuan Calvin keluar dari rumah sakit. Ia keluar lebih cepat. Semata karena rindu pada Clara dan Reinhart. Selama Tuan Calvin sakit, dua anak itu dijaga Nyonya Lola. Wahyu tak bisa menjaga mereka. Pasalnya ia fokus menemani Tuan Calvin di rumah sakit.

Kedua anak itu kesepian. Mereka sedih karena tak boleh menjenguk Tuan Calvin. Praktis mereka hanya bisa berdoa dan berharap Tuan Calvin cepat kembali.

Saling memberikan penghiburan, hanya itu yang bisa mereka lakukan. Clara dan Reinhart makin dekat saja. Berbagai kegiatan mereka lakukan bersama, kecuali bersekolah. Mereka bermain, belajar, makan, latihan modeling, dance, belajar piano, dan membaca buku bersama. Reinhart sangat pengertian. Ia sering membacakan buku untuk Clara. Sebaliknya, Clara mengajari Reinhart huruf Braille.

Dua hari lalu, salah satu teman sekelas Reinhart berulang tahun. Reinhart mengajak Clara ke pesta ulang tahun temannya. Alhasil, kini teman-teman Reinhart menjadi teman-teman Clara juga. Mereka senang bisa berteman dengan Clara.

Semua yang dilakukan Clara dan Reinhart diketahui Tuan Calvin. Ia tak pernah berhenti memperhatikan keduanya. Nyonya Lola aktif menceritakan tingkah Clara dan Reinhart selama Tuan Calvin tak ada.

Kini Tuan Calvin telah kembali. Clara dan Reinhart bahagia setelah Tuan Calvin kembali dari rumah sakit.

Sore itu, Reinhart bergegas menaiki sepeda balapnya. Ia berpamitan pada Clara, Wahyu, Nyonya Lola, dan Tuan Calvin. Tujuannya hanya satu: bermain basket. Janji telah dibuat dengan teman-temannya tadi pagi.

Reinhart sangat suka basket. Kalau sudah terlanjur asyik bermain basket, ia sering lupa waktu. Olahraga yang cocok untuknya. Mudah bagi Reinhart untuk memasukkan bola ke dalam ring dengan postur tubuhnya yang tinggi.

Sayangnya, permainan basket tak semulus biasanya. Beberapa kali Reinhart gagal menembakkan bola ke dalam ring. Anak dari tim lawan berbuat curang sampai-sampai membuat Reinhart jatuh. Ditambah lagi hujan deras. Memaksa mereka menghentikan permainan.

Dalam keadaan kacau, Reinhart pulang ke rumah. Ia mengayuh sepedanya pelan-pelan. Kakinya masih terasa sakit setelah terjatuh. Hujan mengguyur semakin deras. Petir menyambar berulang kali. Langit bertambah gelap, suasana sore itu berubah menakutkan.

Perjalanan yang ditempuhnya cukup jauh. Reinhart tipe anak yang nekat. Tantangan apa pun berani dihadapinya. Hujan petir bukanlah sesuatu yang ditakutinya.

Reinhart meletakkan sepedanya begitu saja di halaman depan. Berlari masuk ke dalam rumah dengan pakaian basah dan tubuh kedinginan. Tuan Calvin, Wahyu, Clara, dan Nyonya Lola menyambutnya dengan wajah cemas.

"Rein, sini Nak." panggil Wahyu.

Betapa herannya mereka. Bukannya menghampiri Wahyu, Reinhart justru mendekat ke arah Tuan Calvin. Ia terlihat begitu kedinginan dan kelelahan. Tuan Calvin memeluknya. Mengusap-usap kepalanya dengan Reinhart. Biar bagaimana pun, Reinhart tetaplah anak kecil. Butuh bersandar di saat rapuh, dan ia bisa memilih siapa yang layak dipercaya.

"Kenapa hujan-hujanan, Sayang? Hm?" bisik Tuan Calvin.

Tak menunggu jawaban, Tuan Calvin menggendong Reinhart. Memandikan anak itu. Memakaikannya baju hangat. Membuatkan susu coklat untuknya. Reinhart dekat sekali dengan Tuan Calvin. Ia nyaman bersama pria itu.

"Rein ada masalah? Coba cerita..." bujuk Tuan Calvin halus.

Reinhart masih saja diam. Menghabiskan susu coklatnya, perlahan ia menjawab.

"Teman Rein curang. Main basketnya kasar. Rein sampai jatuh."

Itu sebuah pengaduan. Ya, Reinhart mengadu dan berkeluh kesah pada Tuan Calvin. Seperti kebanyakan anak lain mengadu pada orang tuanya setelah kalah bermain.

Tuan Calvin mengelus kepala Reinhart. Memeluk pundaknya lembut. "Yang penting bukan Rein yang curang. Biarkan saja, Sayang. Jangan dibalas. Tetaplah bermain dengan jujur."

"Iya Pap...sorry, Om Calvin."

Mungkinkah ada maksud lain di balik ketidaksengajaan itu? Inginkah Reinhart memanggil Tuan Calvin dengan sebutan Papi?

"Dalam melakukan apa pun, kita harus jujur. Tidak boleh curang. Kecurangan itu tidak baik. Rein paham, kan?"

"Paham."

"Good."

Interaksi yang dekat dan penuh kehangatan. Dari celah pintu ruang santai di lantai atas, Wahyu lekat memperhatikannya. Nyonya Lola ada di sampingnya. Clara menarik lembut ujung gaun Nyonya Lola. Merajuk, ingin ikut masuk ke sana. Ia khawatir pada Reinhart. Namun Nyonya Lola melarangnya. Mereka  memberikan privasi bagi Reinhart dan Tuan Calvin.

Wahyu sedih melihatnya. Reinhart lebih dekat pada Tuan Calvin. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri.

"Semua salahku. Harusnya aku meluangkan lebih banyak waktu untuk Rein."

"Bukan salahmu, Wahyu. Kamu sibuk bekerja juga untuk Rein, kan? Rein dekat dengan Calvin karena Calvin punya lebih banyak waktu." Nyonya Lola menghiburnya.

Ya, Calvin punya lebih banyak waktu. Waktu sangatlah berharga. Tak bisa diputar ulang, direkayasa, apa lagi dikembalikan. Selama ini, Wahyu kehilangan waktu dengan Reinhart. Ia harus membayar mahal semuanya.

"Ayah selalu ada buat Clara," timpal Clara.

Refleks Wahyu berpaling menatap Clara. "Kamu pasti senang ya? Punya Ayah seperti Ayah Calvin?"

"Senang sekali. Ayah Calvin Wan adalah ayah terbaik di dunia."

Perkataan Clara menusuk hati Wahyu dengan rasa bersalah. Akankah Reinhart mau berkata setulus itu? Akankah Reinhart menganggap dirinya sebagai ayah terbaik di dunia?

**      

Dua hari berikutnya, Reinhart kembali sedih. Bukan karena permainan basket yang tidak jujur. Melainkan akibat melihat teman-temannya yang dijemput ibu mereka di sekolah.

Sebenarnya hal semacam itu sudah biasa. Namun tidak biasa bagi Reinhart. Ia kehilangan Maminya. Kemungkinan besar ia takkan bisa bertemu Maminya dalam waktu dekat. Reinhart sangat merindukan Marla. Sejak bercerai dengan Wahyu, Marla tak lagi tinggal serumah dengan Reinhart. Itu membuat Reinhart mengalami kehilangan besar.

Sepulang sekolah, anak lelaki berwajah tampan itu melempar tasnya di sofa. Bergegas naik ke lantai atas. Masuk ke kamar bermain Clara, lalu mengenyakkan tubuh di kursi depan piano.

Reinhart benar-benar sedih. Bayangan wajah Marla terlintas di benaknya.

"Mami...Mami dimana? Kenapa Mami harus pisah sama Papi?" lirih Reinhart.

Ditekannya tuts piano. Mulai memainkan lagu secara random. Perasaannya tak menentu. Dalam kasus perceraian, selalu saja anak yang jadi korban. Mereka kekurangan perhatian dan kasih sayang. Masa kecil terlewati dalam kesepian.

"Mami tega ninggalin Rein. Mami nggak sayang lagi sama Rein." Reinhart kembali bicara pada dirinya sendiri. Seakan tengah berdialog secara imajiner dengan Marla.

Keluarga yang berantakan adalah nasib buruk. Celakanya, Reinhart menjadi satu dari sekian banyak anak yang menjadi korban broken home.

Dengan kegalauan memuncak, Reinhart memainkan lagu yang diingatnya. Ini lagu favorit Wahyu dan Marla. Sewaktu akan berpisah, mereka pernah menyanyikan lagu ini.

Berat bebanku meninggalkanmu

Separuh nafas jiwaku sirna

Bukan salahmu

Apa dayaku

Mungkin benar cinta sejati

Tak berpihak pada kita

Kasihku sampai di sini kisah kita

Jangan tangisi keadaannya

Bukan karena kita berbeda

Dengarkan, dengarkan lagu

Lagu ini melodi rintihan hati ini

Kisah kita berakhir di Januari

Selamat tinggal kisah sejatiku

Oh pergilah

Kasihku sampai di sini kisah kita

Jangan tangisi keadaannya

Bukan karena kita berbeda

Dengarkan, dengarkan lagu

Lagu ini melodi rintihan hati ini

Kisah kita berakhir di Januari

Dengarkan, dengarkan lagu

Lagu ini melodi rintihan hati ini

Kisah kita berakhir

Berakhir, oh berakhir

Berakhir di Januari

Berakhir di Januari (Glenn Fredly-Januari).

Seingat Reinhart, Wahyu dan Marla berpisah di Bulan Januari. Rasanya sudah lama sekali. Sejak Januari itulah Reinhart tak bertemu lagi dengan Maminya.

Reinhart menyanyi dengan sedih dan penuh emosi. Perasaannya tercurah di lagu itu.

Tuan Calvin memperhatikan itu semua sejak tadi. Ya, ia memahami perasaan Reinhart. Namun ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin anak kecil menyanyikan lagu orang dewasa? Lagu tentang cinta dan patah hati. Reinhart belum sepantasnya mengenal lagu itu. Dari mana ia mempelajarinya? Benarkah semua anak kecil di zaman kekinian dewasa sebelum waktunya?

Suara tepuk tangan mengalihkan perhatian Reinhart. Ia berbalik, mendapati Tuan Calvin di sampingnya.

"Suara Rein bagus. Permainan pianonya juga," pujinya tulus. Ia berlutut untuk menyamakan posisi tubuhnya dengan Reinhart.

"Dari mana Rein belajar lagu itu?"

"Rein pernah dengar Mami sama Papi nyanyiin lagu itu. Sebelum Mami pergi."

Pastilah tak mudah bagi Reinhart untuk mengingatnya kembali. Kenangan buruk itu tak mungkin terlupakan.

"Rein kangen Mami?"

"Kangen banget. Mami udah lama pergi. Kenapa Mami harus pisah sama Papi? Apa karena Rein?"

Bayangan kesedihan menutupi wajah Reinhart. Reinhart yang tampan, pintar, dan baik. Ia lebih cocok menjadi anak Tuan Calvin.

Tak bisa melihat Reinhart bersedih, Tuan Calvin memeluknya. Membawa anak itu dalam rengkuhan hangatnya. Reinhart serasa menemukan kebahagiaan dan harapan baru. Dalam pelukan Tuan Calvin, ia tenang. Inilah yang dirindukannya: pelukan seorang ayah. Kasih sayang yang tulus dan utuh dari sosok ayah.

"Bukan salah Rein." kata Tuan Calvin lembut.

"Papi sama Mami harus pisah karena alsan lain. Yang jelas bukan karena Rein."

"Tapi kenapa harus pisah? Kenapa Mami nggak pernah datang buat Rein? Mami benci ya, sama Rein?" tanya Reinhart putus asa.

"Mami sayang sekali sama Rein. Itu pasti, Sayang. Mungkin Mami belum sempat ketemu Rein lagi. Kalau sudah saatnya, Rein pasti bisa ketemu Mami lagi."

Walau tak begitu mengenal Marla, Tuan Calvin percaya Marla wanita yang baik. Ia tak mungkin menyia-nyiakan Reinhart.

"Rein selalu berdoa buat Mami, kan?"

"Selalu..."

"Good boy,"

Tuan Calvin selalu ada. Hidupnya dihabiskan dengan kebaikan, altruistik, dan penuh kasih. Reinhart dapat merasakan tulusnya cinta kasih dari hati yang baik. Bagi Reinhart, Tuan Calvin adalah Papi keduanya.

"Om Calvin itu Papi kedua dalam hidup Rein..." ungkapnya, jujur dan tulus.

**     

Dampak fatal dari kasus perceraian adalah rusaknya psikologis anak. Perpisahan akan melukai hati anak-anak. Anak yang polos dan innocent, dipaksa menyaksikan perpisahan dan kesedihan. Semua kembali ke diri kita sendiri. Lebih mengutamakan ego atau perasaan buah hati?

Salam,

Hanya sekedar berbagi

Calvin Wan berbagi

Artikel itu terinspirasi dari kasus Reinhart. Tuan Calvin mempersembahkan tulisan kecil itu untuk Reinhart yang telah dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri.

Ia mengirim artikelnya ke e-mail Marla. Berharap hati Marla terketuk setelah membaca artikel itu. Sekarang masih pukul tiga pagi. Ia akan memposting artikelnya empat jam dari sekarang.

Tuan Calvin mengakui, Marla dan Wahyu cukup beruntung. Mereka bisa memiliki anak. Berbeda dengan dirinya yang divonis mandul. Terlebih Nyonya Calisa takut pada seks dan hal-hal semacam itu. Jika Tuan Calvin ada di posisi Marla, ia takkan pernah menyia-nyiakan Reinhart.

Diambilnya smartphone. Ingin menceritakan hal ini pada Nyonya Calisa. Video call dimulai.

"Calvin...hari ini kamu keluar dari rumah sakit ya?" sapa Nyonya Calisa. Seulas senyum tipis terlihat di sela gurat keletihan yang mendominasi wajahnya.

"Iya, Calisa." Sesaat Tuan Calvin mengurungkan niatnya. Ia melihat wajah istrinya sedikit pucat. Nampaknya ia kelelahan. Lebih dari itu, ada pancaran kesedihan di mata indahnya.

"Kamu belum tidur?" tanya Tuan Calvin lembut. Perbedaan waktu Indonesia-Arab Saudi selisih empat jam. Di sana masih pukul sebelas malam, sedangkan di Indonesia sudah pukul tiga pagi.

"Belum, Calvin. Aku tidak bisa tidur.

"Kenapa?"

"Ada sesuatu yang kupikirkan."

Nyonya Calisa terdiam sejenak. Tuan Calvin menunggu kelanjutannya dengan sabar.

"Ibunya Deva meninggal. Aku belum bisa ke rumahnya. Kabar itu baru kuterima tadi sore sebelum Maghrib. Aku merasa bersalah, Calvin. Dari cerita-ceritanya, Deva sangat kehilangan."

"I see. Datang saja begitu memungkinkan," Tuan Calvin menanggapi.

"Iya, aku akan datang. Well...bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu?"

Pertanyaan sulit. Nyonya Calisa sedang sedih. Ia sedih dan merasa bersalah di saat bersamaan. Tuan Calvin memutuskan untuk tidak menceritakan masalah Reinhart. Ia tak ingin menambah beban Nyonya Calisa.

"Sedih...kehilangan orang yang dicintai sangat menyakitkan."

"Kamu pernah mengalaminya, Sayang?"

"Pernah. Papaku meninggal, ketiga kakakku meninggal. Sahabatku meninggal. Tapi itu alami. Kematian itu wajar. Hanya entah kapan."

Nyonya Calisa merasa dirinya beruntung. Ia masih mempunyai keluarga yang lengkap. Meski belakangan ini hubungannya dengan keluarga merenggang. Lihat saja Tuan Calvin. Keluarganya tak lengkap seperti dulu. Ditambah lagi kehilangan sahabat.

"Iya, kita semua pada akhirnya akan meninggal. Apa yang kamu lakukan untuk bangkit dari kesedihan?" tanya Nyonya Calisa. Ia penasaran juga. Tuan Calvin bisa membuat orang lain bangkit dari titik terbawah. Pasti ia tahu caranya bila kesedihan menimpa dirinya sendiri. Membuat orang lain bangkit dari kesedihan saja bisa, mengapa mendorong diri sendiri untuk bangkit tidak bisa?

"Move on. Cari kesibukan." Tuan Calvin menjawab, simple dan apa adanya.

"Sayang, sepertinya kamu cepat mengatasinya ya?"

"Tidak terlalu cepat juga. Mau tidak mau kita harus bangkit. Harus move on."

"Proses move on pada tiap orang berbeda-beda."

Andai saja Tuan Calvin tahu. Sejak tadi, Nyonya Calisa tak puas-puas memandangi wajah tampannya. Amat rindu dan bersyukur bisa berbicara dan menatap pria pendamping hidupnya. Untuk kesekian kalinya, Tuan Calvin selalu ada. Ia datang tepat ketika Nyonya Calisa merasakan kerapuhan, kesedihan, dan penyesalan. Nyonya Calisa tidak perlu merasakannya sendirian. Tuan Calvin selalu ada.

"Tidur dulu sana. Jangan jadikan itu sebagai beban. Hidup itu penuh masalah. Yang kecil biarkan menjadi kecil." ujar Tuan Calvin lembut.

"Iya, Calvin. Aku coba tidur ya?"

Sejurus kemudian Nyonya Calisa bangkit dari ranjang. Membuka kopernya, lalu mengeluarkan sebuah boneka berbentuk katak. Salah satu dari koleksi boneka kesayangannya.

"Kamu bawa Kermit ke sana?" Tuan Calvin melirik boneka besar itu tak percaya. Kermit, nama pemberian Tuan Calvin pada boneka itu. Boneka-boneka milik Nyonya Calisa selalu diberi nama.

"Ya. Aku membawanya untuk mengingatmu. Kamu kan yang kasih nama?" Nyonya Calisa menjawab disertai seulas senyuman.

Ia naik kembali ke atas ranjang. Memeluk boneka Kermit dengan lembut.

"Calvin...nyanyikan lagu untukku." pinta Nyonya Calisa manja.

"Lagu apa, Sayang?" Mau tak mau Tuan Calvin tertawa melihat tingkah istri cantiknya.

"Lagu yang kita nyanyikan di pernikahan. Pernikahan kita...ingat kan?"

Tak butuh waktu lama. Tentu saja ia ingat. Tuan Calvin memainkan pianonya. Memulai dengan intro.

Mata Nyonya Calisa terpejam. Amat menikmati permainan piano suaminya. Bertahun-tahun lalu, Tuan Calvin pernah mengatakan sesuatu padanya.

"Jika aku jauh darimu...dan kamu merindukanku, ingatlah kalau aku selalu ada. Aku selalu ada di dekatmu. Memperhatikanmu, menyayangimu, mempedulikanmu, dan mencintaimu."

Masih terekam jelas kata-kata itu di benaknya. Tuan Calvin selalu ada untuk Nyonya Calisa, di saat sedih dan bahagia. Memeluk jiwanya dengan cinta. Tuan Calvin mampu membuat Nyonya Calisa mendengarkan dirinya. Melunakkan hati Nyonya Calisa dengan kelembutannya.

If you love me like you tell me

Please be careful with my heart

You can take it just don't break it

Or my world will fall apart

You are my first romance

And I'm willing to take a chance

That 'till life is through

I'll still be loving you

I will be true to you

Just a promise from you will do

From the very start

Please be careful with my heart

I love you and you know I do

There'll be no one else for me

Promise I'll be always true

For the world and all to see

Love has heard some lies softly spoken

And I have had my heart badly broken

I've been burned and I've been hurt before

So I know just how you feel

Trust my love is real for you

I'll be gentle with your heart

I'll caress it like the morning dew

I'll be right beside you forever

I won't let our world fall apart

From the very start

I'll be careful with your heart

You are my first (and you are my last) romance

I've learned from the past

That 'till life is through

I'll still be loving you

I will be true (I will be true) to you

Just a promise from you will do (only to you)

From the very start

From the very start

From the very start

Please be careful with my heart (Christian Bautista ft Sarah Geronimo-Please Be Careful With My Heart).

Ingin rasanya Nyonya Calisa memeluk Tuan Calvin saat itu juga. Bersandar padanya, merasakan wangi Hugo Boss yang sangat khas itu, dan berterima kasih padanya. Berterima kasih untuk semuanya.

"Calvin Wan...please be careful with my heart."

**      

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun