Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta Kasih dan Kepedulian, Omong Kosong?

16 Juli 2022   09:00 Diperbarui: 16 Juli 2022   09:03 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengemis. Sumber: depositphotos.com

Suatu hari seorang saleh nampak tergesa-gesa mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya. Hari sudah tidak pagi lagi, dan ia harus segera tiba di rumah ibadah untuk menyiapkan segala keperluan hari itu, hari perayaan yang besar.

Di ujung gang ada seorang pengemis kurus, berambut panjang kumal tak terurus duduk bersandar pada dinding pagar rumah mewah milik pejabat publik yang terkenal di kota itu. Kebetulan ujung gang  langsung bertemu dengan jalan utama yang cukup ramai, sehingga ia harus berhati-hati ketika hendak berbelok ke jalur jalan raya utama ditengah kota itu. Hmmm..mengesalkan.

Merasa terganggu dengan keberadaan si pengemis, ia menekan klaksonnya kuat-kuat berharap si pengemis beranjak dan minggir, agar mobilnya bisa melintas dengan leluasa. Tapi yang terjadi justru diluar dugaannya, pengemis itu malah mendekat dan mengulurkan tangannya mohon pemberian. Wajah pengemis itu nampak layu, sepertinya ia kurang sehat, mengenakan baju lusuh yang lebih pantas disebut kain kotor, dan tentu aroma yang tidak sedap.

Orang saleh itu nampak kesal, pikirannya dipenuhi dengan berbagai suara yang menguatkan hatinya: untuk bersikap tegas. Tegas tidak memberi: sebab rejeki Tuhan yang mengatur, sebab setiap orang berhak untuk sukses mengapa memilih meminta-minta, sebab di kota ini ada peraturan daerah yang melarang warga memberikan uang untuk pengemis, dan bukankah setiap orang punya jalan nasibnya sendiri-sendiri.

Gerah dengan sikap si pengemis, ia membuka kaca mobil dan dengan suara keras bertenaga ia berkata, "Heh minggir! Jangan mengemis disini, ngganggu warga yang mau lewat!!". Melotot matanya memandang si pengemis dengan sinis.

Kecut hati si pengemis, mungkin ia kaget tak menyangka dibentak dan ditatap sinis. Sebenarnya ia sudah sering ditolak oleh para pengendara mobil, cukup dengan mengangkat tangan kanan sedikit ke jendela, meregangkan telapak tangan sebagai tanda berkata tidak. Ia sangat mengerti dan akan segera undur diri tanpa tawar hati. Nahas baginya, pagi ini beda, ia mundur dengan kecut dan tawar hati.

Tancap gas orang saleh itu melesat membelah jalanan kota, dan sampailah ia di rumah ibadah. Dengan sigap ia memarkirkan mobil di halaman luas, dan berlari kecil menuju pintu samping, jalan khusus bagi para pengurus tarekat. Namun tak disangka, persis di depan pintu kecil itu bersandar  sosok pengemis kurus berambut panjang kumal tak terurus yang tadi dijumpainya di ujung gang rumahnya.

Berdiri pengemis itu menghadang langkahnya persis di depan pintu, dan berkata, "Aku tidak membutuhkan kesalehanmu, yang kubutuhkan adalah cinta kasih dan kepedulianmu".

Sontak orang saleh itu tergagap, kalimat itu jelas dan membekas, seolah pesan lama yang sudah sebegitu sering didengarnya. Sepersekian detik pikirannya mengembara, dan ketika ia sadar, pengemis itu sudah tidak berada didepannya lagi.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun