Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Lead by Example Jika Anda Ingin Terjadi Perubahan

31 Januari 2021   16:57 Diperbarui: 19 Februari 2021   16:03 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: thriveglobal.in)

Anda tidak bisa mengajarkan budaya. Anda harus menghidupkannya, mengalami, membagi, dan menunjukkannya. #Brent Harris

Untuk menjadi perusahaan yang kuat dan mampu bertahan lama maka diperlukan Budaya Perusahaan yang tepat. Biasanya pendiri perusahaan merumuskan Budaya Perusahaan  sebagai  saripati atas perenungan mendalam  berbagai pengalaman jatuh bangun memimpin perusahaan dan visi ke depan yang dihidupinya. 

Budaya perusahaan tercermin dalam cara kerja, itu sebabnya sebagian orang menyebutnya sebagai budaya kerja, selain itu budaya perusahaan juga dikenal sebagai budaya organisasi. Perusahaan memerlukan nilai-nilai yang menjadi kompas atau arah pedoman dalam menjalankan operasional kesehariannya. 

Lihatlah perusahaan yang telah berusia lebih dari 100 tahun, tentunya mereka memiliki serangkaian nilai-nilai yang tersusun menjadi praktik cara hidup dan cara kerja setiap karyawan di dalamnya sehingga menjadi sebuah budaya yang permanen di dalam perusahaan tersebut.

Baca: Perusahaan nasional yang berusia diatas 100 tahun


Budaya kerja atau budaya perusahaan yang terus dihidupi (baca: diyakini dan dilakukan terus-terus) akan menjadi ruh yang menghidupkan perusahaan dalam waktu lama, bahkan sangat lama. Tentu ini adalah harapan founding father dari perusahaan tersebut dan semua karyawan yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan yang dirintisnya dari kecil. 

Maka menjadi refleksi menarik ketika kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah tempat kerja saya sudah memiliki Budaya Perusahaan?". Dan mencoba untuk menemukan petunjuk arah yang lebih jelas dalam sebuah pemikiran, "Dalam bentuk apa Budaya Perusahaan itu dinyatakan?"

Baca: Sorak Pramuniaga Cerminan Budaya Perusahaan

Peran individu-individu yang berada di dalam perusahaan menjadi sangat vital untuk memastikan  budaya perusahaan terimplementasi dengan baik. Sekali lagi budaya perusahaan tersusun dari serangkaian nilai-nilai yang diyakini oleh perusahaan, sedangkan setiap individu tentu juga memiliki nilai-nilai pribadi yang diperolehnya dari pendidikan, pengalaman hidup, agama, atau dari kultur keluarga. 

Oleh karena itu dalam konteks perusahaan, setiap karyawan baik level eksekutif maupun level operasional harus menyesuaikan tata nilai pribadinya ke dalam budaya perusahaan tersebut.

Mari cermati ilustrasi sebuah budaya pada perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi pengiriman barang. Budaya dalam perusahaan ini tersusun dari beberapa nilai, yang salah satunya tertuang dalam kalimat "Delivery On Time" atau Mengirim Barang Pelanggan Tepat Waktu. 

Eksekutif perusahaan memutuskan memajang tulisan DOT alias Delivery On Time dan nilai-nilai lain dari budaya perusahaan ini di beberapa titik strategis di lingkungan perusahaan, termasuk pada kendaraan distribusi barang yang menjadi sarana vital dalam operasional perusahaan ini. 

Keberanian memproklamirkan DOT pada kendaraan distribusi barang adalah hal yang sangat bagus untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan, dan tentu saja masyarakat umum yang menjadi pangsa pasar perusahaan ini. Semua orang pasti senang dengan layanan pengiriman barang tepat waktu.

Namun masalah mulai muncul ketika dalam evaluasi bulanan, eksekutif perusahaan menemukan laporan komplain yang besarnya adalah 1% dari total layanan pengiriman yang dilakukan. 

Untuk diketahui saja bahwa perusahaan menetapkan jumlah komplain pelanggan tidak boleh lebih dari 0,5% per bulan. Artinya ketika pada  bulan yang telah lewat ada 1000 layanan pengiriman barang maka jika terjadi komplain angkanya tidak boleh melebihi 5, faktanya yang terjadi adalah ada 10 komplain alias 1% dari  1000 layanan pengiriman barang yang telah dilakukan. 

Dari data yang ditelaah atas 10 komplain tersebut, ditemukan 1 komplain dikarenakan kemasan yang cacat saat diterima pelanggan, dan  9 komplain karena barang diterima melebihi range waktu yang dijanjikan kepada pelanggan. 

Komplain karena kemasan cacat adalah penting, namun komplain karena keterlambatan barang adalah sebuah aib bagi perusahaan karena sangat bertentangan dengan nilai DOT yang mereka gaungkan kepada konsumen dan masyarakat luas.

Eksekutif perusahaan yaitu Manajer Operasional dan Manajer HRD segera bertindak cepat dengan melakukan penyelidikan pada bagian pengiriman. Ternyata diketahui dalam periode bulan tersebut ada 9 driver atau pengemudi kendaraan pengiriman barang yang selalu datang terlambat ke kantor.

Kendaraan yang semestinya bisa mulai bergerak mendistribusikan barang pada jam 7 pagi, bergeser menjadi jam 9 atau jam 10 pagi sesuai kedatangan para driver tersebut. 

Dampaknya dipastikan driver akan kehilangan waktu, selain terjadi keterlambatan pengiriman barang kepada konsumen, driver akan terburu-buru dalam mengemudikan kendaraan saat proses pengiriman yang menimbulkan potensi kecelakaan pada dirinya dan kru, bahkan pada orang lain sesama pengguna jalan. 

Rentetan berikutnya adalah urusan dengan berbagai pihak yang terkait, tentu saja urusan ini menimbulkan jam hilang semakin banyak yang mengurangi efisiensi dan produktivitas kerja. Sebuah efek domino yang negatif dan tidak diinginkan.

Usut punya usut diketemukan akar masalah yang membuat para driver ini terlambat masuk kerja, dan itu adalah sebuah kesengajaan yang bersumber dari kekecewaan terhadap Supervisor mereka. 

Dalam penyelidikan lebih lanjut Manajer HRD mendapatkan fakta bahwa dari rekaman mesin presensi, pada bulan yang sama dan bulan sebelumnya Supervisor seringkali terlambat masuk kerja. Hal tersebut menimbulkan demotivasi para driver yang merasa sebagai ujung tombak operasional namun tidak mendapatkan dukungan dan motivasi dari Supervisor. Para driver menganggap bahwa Supervisor tidak menjadi bagian dari tim kerja, atau sebagai pemimpin tim kerja sebagaimana yang mereka harapkan.

Mendapati fakta ini kedua eksektutif perusahaan yaitu Manajer HRD dan Manajer Operasional berkolaborasi untuk merancang program coaching for performance bagi  supervisor dan para driver. Manajer HRD menangani Supervisor, sedangkan Manajer Operasional menangani para driver. 

Pada intinya kemudian disepakati bahwa Supervisor akan berusaha meniadakan jam hilang karena keterlambatan masuk kerja dengan cara memperbaiki manajemen waktu pribadinya, sedangkan para driver akan memperbaiki efisiensi jam kerjanya dengan cara tidak pernah datang terlambat lagi, dan membangun sikap mental positif bahwa kerja adalah ibadah sehingga tidak mudah menjadi kecewa dan turun performa ketika mendapati konflik atau hal-hal yang tidak sesuai dengan idealismenya. 

Manajer HRD akan melakukan pemantauan dalam 3 bulan kedepan untuk memastikan efektifitas  program coaching ini. Sedangkan Manajer Operasional memutuskan untuk berkantor bersama Supervisor di  plant warehouse selama satu bulan ke depan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari tim ini, ia berada ditengah-tengah mereka, dan menunjukkan perilaku-perilaku produktif  sesuai nilai-nilai budaya perusahaan seperti disiplin waktu; tidak pernah terlambat datang, open mind; pikiran yang terbuka untuk berdiskusi dengan sesama karyawan dalam rangka menemukan solusi,  serta akuntabel; transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ilustrasi di atas bisa saja terjadi di perusahaan anda, baik itu perusahaan jasa ataupun produk, pada bagian yang sama ataupun bagian berbeda, yang pada intinya adalah terjadi penyimpangan praktik budaya kerja oleh karyawan yang tidak sesuai dengan budaya perusahaan yang ditetapkan. 

Langkah penting yang diambil oleh Manajer Operasional adalah salah satu contoh upaya mengembalikan budaya perusahaan dan nilai-nilai yang menyusunnya terimplementasi kembali di departemen yang dipimpinnya. Jika anda menginginkan perubahan budaya kerja maka perubahan itu harus dimulai dari diri anda; katakan perubahan yang anda inginkan, lakukan praktik-praktik sebagai contoh nyata, dan bagikan sebagai testimoni  kepada semua anggota organisasi yang anda pimpin.

Adalah kisah inspiratif seorang Dave Neeleman pendiri maskapai penerbangan Jet Blue di New York Amerika Serikat disadur dari tulisan Mac Anderson; Ketika kami telah memasang seatbelt sebelum lepas landas, Neeleman berdiri dan memperkenalkan dirinya, "Hai saya Dave Neeleman, CEO dari Jet Blue. Saya di sini untuk melayani anda hari ini dan saya tidak sabar untuk bertemu dengan anda semua sebelum kita mendarat". 

Ketika ia menawarkan snack dan minum, ia berhenti untuk mengobrol dengan setiap orang. Ketika ia mendatangi saya, saya katakan bahwa untuk langsung bisa bertemu dan melayani pelanggan adalah sebuah ide yang hebat. Saya bertanya seberapa sering ia melakukan hal ini, dugaan saya adalah sekali atau dua kali dalam setahun, tetapi ternyata ia berkata, "Tidak terlalu sering. Saya melakukannya sekali dalam sebulan".

Penuh rasa ingin tahu, saya mengamatinya berinteraksi dengan penumpang lain. Pada beberapa kesempatan dia menulis catatan dan mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi masukan penumpang. 

Ketika beberapa kali ia tidak bisa menjawab pertanyaan, ia terlihat mengambil kartu nama dan berkata, "Seseorang akan menghubungi anda dalam 24 jam ke depan". Bahkan di akhir penerbangan, Neeleman memakai celemek biru dan memimpin pengumpulan sampah dari kantung tempat duduk.  

Apa yang dilakukan Neeleman adalah cara untuk meyakinkan setiap anggota maskapai bahwa ia berada di dalam tim kerja mereka, sebagian bagian dari mereka. Dan lebih dari itu yang terutama bagi setiap karyawan maskapai Jet Blue adalah pemimpin mereka bersedia menunjukkan kata-katanya dalam tindakan nyata untuk melayani pelanggan.

Dave Neelemen CEO maskapai jetBlue (sumber: thepointsguy.com)
Dave Neelemen CEO maskapai jetBlue (sumber: thepointsguy.com)
Untuk mengubah budaya kerja di perusahaan manapun, orang-orang di level atas, para eksekutif, sampai dengan para pemimpin operasional di lapangan harus menunjukkannya. Karena kata-kata tanpa tindakan tidak akan berarti apa-apa. 

Baca juga perspektif keteladanan pemimpin pada artikel: Membingkai Ulang Makna Idiom  "Usul Mikul"

Albert Schweitzer, seorang tokoh humanis besar, ketika ditanya apakah memimpin dengan memberikan contoh merupakan kualitas terpenting dalam kepemimpinan, ia berpikir sejenak lalu menjawab:

"Bukan, itu bukan salah satu hal terpenting. Hanya itu yang terpenting."

***

Referensi:
Change is Good..You Go First, by Mac Anderson & Tom Feltenstein.
Human Capital Artchitect, by Rene Adrianus & Amelia Hirawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun